Jakarta (Antara News) - Pada pertemuan umat Buddha pada acara Sinkrinisasi Data Pusat dan Daerah di Wisma Wiladatika Cibubur, Jakarta, belum lama ini, mengemuka persoalan pemilikan rumah ibadah.

          Kelenteng atau wihara yang di berbagai daerah biasa digunakan sebagai tempat ibadah umat Buddha diklaim oleh umat lainnya: Khong Hucu dan Tao sebagai tempat ibadah mereka juga.

          Tao dan Khong Hucu di berbagai tempat melaksanakan ritualnya di wihara atau kelenteng. Di berbagai daerah ada pula rumah ibadah Wihara Tri Dharma. Artinya, rumah ibadah umat Buddha juga ada agama-agama Tao, Khong Hucu dan Buddha biasa melaksanakan ibadah di tempat yang sama.

          Sebelum reformasi, wihara atau pun kelenteng tidak pernah dipersoalkan agama-agama mana sebagai pemiliknya. Di rumah ibadah itu pemeluk agama Buddha, Tao, dan Khong Hucu dapat melaksanakan ritual dengan baik.
          Pemilikan rumah ibadah ketiga agama tersebut kini menjadi penting. Selain sebagai identitas bagi pemeluk agama bersangkutan juga untuk dapat melaksanakan ritual bagi komunitas agama tersebut. Identitas kini makin penting. Pasalnya, pada era reformasi ini, keinginan kuat untuk membangun kualitas kehidupan beragama bukan semata pada upaya pencapaian kebahagiaan, melainkan ada yang lebih penting, yaitu terkait dengan tertibnya administrasi kependudukan.

          Muaranya, memang, negara dengan otoritas yang dimilikinya diharapkan mampu membangun sinergitas antarpemeluk agama untuk menciptakan kerukunan dalam masyarakat yang majemuk.

          Oleh karena itu, siapa sejatinya pemilik sah rumah ibadah wihara atau kelenteng yang dikenal publik selama ini sebagai tempat ibadah etnis Tionghoa. Kalau wihara disebut sebagai rumah ibadah umat Khong Hucu, tidak mustahil umat Buddha melancarkan protes. Kalau ada kelenteng sebagai rumah ibadah umat Khong Hucu, umat Tao dan Buddha pun masih keberatan.

          Kelenteng dan wihara, di mata umat Buddha dan Tao di Tanah Air sejatinya tak memiliki perbedaan khas yang terlalu mencolok. Rupang atau patung-patungnya pun sepintas nyaris sama. Kadang di dalam kelenteng dan wihara ditempatkan patung dari ketiga agama bersangkutan.

           Lebih tragis lagi, seperti di kota Singkawang, umat Khong Hucu yang pada setiap tahun merayakan Capgome dengan segala pernak-perniknya itu, identitas pada kartu tanda penduduk (KTP) adalah sebagai pemeluk Buddha.

           Di kota seribu kelenteng itu, meski reformasi sudah bergulir dan kebebasan menentukan jati diri tidak ada lagi tekanan, kemauan untuk mengubah identitas di KTP masih rendah. Pemerintah pun tidak dapat melakukan pemaksaan bagi umat Buddha di kota amoy itu yang berujung semrautnya data kependudukan. Terlebih, hal ini menyangkut wiayah privasi bagi setiap individu.

          Berawal dari saling klaim kepemilikan rumah ibadah, kemudian disusul identitas pemeluk agama yang tidak sinkron dengan kehadiran rumah ibadah, membawa konsekuensi pada sulitnya mengidentifikasi  agama-agama dan rumah ibadah. Oleh karena itu, jika ada pihak yang ingin mendapatkan data akurat tentang pemeluk agama-agama dan rumah ibadah, tidak dapat disajikan dengan baik. Mengapa demikian dan seterusnya, yang dijawab bahwa data keagamaan bersifat dinamis.

          Di berbagai laman, termasuk Wikipedia, pun dijelaskan bahwa yang dimaksud wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Klenteng adalah rumah ibadah penganut taoisme maupun konfuciusisme. Akan tetapi, di Indonesia, karena orang yang ke wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, menjadi agak sulit untuk dibedakan karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfuciusisme. Salah satu contohnya adalah Wihara Kalyana Mitta yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta Barat.

           Memang, Kementerian Agama (Kemenag) pun sampai saat ini masih kesulitan mengidentifikasi rumah ibadah bagi setiap pemeluk agama.

                                                 Rumah Ibadah Lain

     Hal serupa juga terjadi pada agama-agama lainnya, terutama untuk kepentingan pendataan. Dalam Islam saja, misalnya. Jika ada pihak yang bertanya pada pemeluk agama Islam, apa perbedaan masjid dengan embel-embel kata "jami", "agung", "raya", dan sebagainya, penjelasannya membutuhkan waktu yang panjang. Pemilikan masjid pun kadang menjadi persoalan, khususnya terkait dengan masjid yang dikelola oleh Ahmadiyah. Di masjid ini, tentu untuk menjadi imam tidak boleh pihak umat Islam lain selain pengelolanya dari komunitas mereka sendiri.

         Seperti dimaklumi, masjid selain sebagai rumah ibadah dan menjadi identitas umat Islam di suatu kota lazimnya dapat digunakan oleh seluruh umat Islam. Berbeda dengan masjid yang dibangun Ahmadiyah, lebih banyak digunakan untuk komunitasnya sendiri. Kalaupun ada umat Islam lainnya shalat di tempat ibadah itu, dia tidak bisa menjadi imam bagi seluruh umat yang hadir di masjid bersangkutan.

          Kini "pertarungan" umat untuk mendapat pengakuan jati diri terus berlangsung. Tidak terbatas pada agama besar, seperti Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan belakangan Khong Hucu yang ingin memiliki Dirjen Bimasnya di Kemenag. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa pembenahan data keagamaan makin dirasakan penting. Sayangnya, wilayah agama akan menjadi sensitif jika dibicarakan terbuka. Diskusi untuk menyamakan persepsi melalui berbagai forum dengan melibatkan majelis agama, tokoh agama dan masyarakat membutuhkan proses dan waktu yang lama.

          Tatkala diskusi sudah mencapai kata sepakat, upaya sosialisasi ke tingkat akar rumput tak serta merta membuahkan hasil. Pasti menimbulkan sikap pro dan kontra. Terlebih lagi, jika tokoh yang dilibatkan dalam suatu diskusi untuk mengambil keputusan tidak mencerminkan representasi atau sebagai wakil dari komunitas bersangkutan.

           Majelis Ulama Indonesia (MUI) saja fatwanya kadang menimbulkan pro dan kontra karena otoritasnya dipertanyakan. Pasalnya, organisasi kemasyarakatan (Ormas) lainnya sama kedudukannya dengan MUI.

                                              Kerukunan
     Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB)--yang digadang-gadang harus gol tahun ini dan segera dapat dijadikan UU--ternyata berbuah nihil. Rancangan Undang-Undang tentang PUB tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) karena pada akhir April lalu belum juga rampung. Padahal, jajaran Kemenag, dengan semangatnya, di berbagai kesempatan menggelar pertemuan mencari masukan dan dukungan dari kalangan tokoh agama, cendekiawan, majelis-majelis agama untuk bersama-sama merumuskan draf RUU PUB.

          Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di berbagai kesempatan terus menerus menjelaskan ke berbagai pihak, tokoh agama-agama tentang pentingnya UU PUB bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini.

          Komisi VIII DPR RI mengaku belum menerima dan melihat draf  RUU PUB dari Kemenag. Menurut Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa, draf itu memang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh Kemenag.

          Rancangan Undang-Undang tentang PUB itu sebenarnya bukan prioritas utama Prolegnas. Selain itu, permasalahan ini juga belum pernah dibahas Komisi VIII secara khusus. Yang menjadi penyebabnya adalah RUU PUB itu merupakan insiatif pemerintah, dalam hal ini Kemenag.

          Rancangan Undang-Undang tentang PUB masih belum jelas. Apakah RUU itu juga mengesahkan agama-agama baru? Mengingat ada beberapa kelompok-kelompok kecil masyarakat yang ingin keyakinannya dilegalkan.

          "Dahulu kan hanya dua agama yang diakui di Indonesia, yakni Islam dan Kristen. Lalu, disusul oleh agama-agama lainnya dan yang terakhir adalah agama Kong Hucu yang diakui sebagai agama resmi pada zaman Gus Dur," kata Ketua MUI Bali Taufiq As'ad Taufiq saat berbicara dalam diskusi yang digelar Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PKB PII) di Denpasar, belum lama ini.

          Harapan banyak pihak RUU ini dapat bersinergi dengan UU lainnya. Misalnya, UU Pendidikan nasional yang berkenaan dengan hak siswa dalam menerima pendidikan agama, mengenakan atribut Muslim di sekolah, dan memiliki kaitan kuat dengan UU Perkawinan. Harus juga dijelaskan dalam UU itu bahwa perkawinan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan syariat agamanya.

           Rancangan Undang-Undang tentang PUB harus berkolerasi pula dengan UU Kependudukan. Masyarakat Indonesia bisa mencantumkan agamanya di kolom agama KTP. Jadi, seperti dikemukakan Sekretaris Pengurus Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, RUU PUB harus memiliki korelasi dengan sejumlah UU pemerintah agar bisa diterima dengan baik oleh umat beragama di Indonesia nantinya.

           Untuk itulah, dalam rangka penyusunan penyempurnaan draf RUU PUB, seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) di Tanah Air perlu memberikan kontribusi sehingga ketika diberlakukan UU tersebut bukan menjadi sebuah dokumen macan kertas.

Pewarta : Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor :
Copyright © ANTARA 2024