Kendari (Antara News) - Gubernur Sulawesi Tenggara, H Nur Alam mengatakan, jabatan sekertaris daerah (Sekda) yang mempunyai tugas membantu kepala daerah/kota untuk bekerja dengan baik dan tidak melakukan pelanggaran apalagi menghianati para bupati maupun wali kota.
"Tetapi jangan juga seorang sekertaris daerah, apa yang dibilang dan diinginkan oleh bupati/ wali kotanya langsung diikuti, yang mungkin saja dapat mencelakakan dirinya," ujar gubernur Sultra saat memimpin rapat Koordinasi-evaluasi dan pengendalian triwulan I sekertaris daerah kabupaten/kota se-Sultra di Kendari, Jumat.
Ia mengatakan, sekda sebagai pejabat struktural tertinggi di daerahnya harus mampu bekerja secara profesional dengan tidak seenaknya menjadikan jabatannya itu melampau tugas dan wewenangnya dari bupati/wali kota.
Undang-Undang 23/2014 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal 91 yang menyebutkan bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas selain mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota, juga melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada diwilayahnya.
"Ini artinya bahwa, Sekda sebagai `panglima` tertinggi yang membawahi seluruh pegawai dan karyawan di daerahnya harus kritis dan cermat untuk melakaukan tugas sesuai yang diamanhkan Undang-Undang terutama menyangkut rancangan peraturan daerah yang mana wewenang yang harus dijalankan dan yang tidak boleh dilakukan.
Nur Alam mengatakan, dengan peraturan perundang-undangan dimaksud kewenang, para bupati/wali kota termasuk sekda, seakan-akan tidak memahami penjabaran dari UU 23/2014 itu yang seolah-olah apa yang dinginkan dan diputuskan di daerahnya itu tidak harus tahu oleh gubernur.
"Kalau sistim kekuasaan masing-masing bupati/wali kota itu didasarkan atas keinginannya sendiri, maka saya kuatir ada 50 persen kepala daerah di Sultra bisa masuk perangkat dan `langser` sebelum masa tugasnya berakhir karena hanya persoalan kewenangan yang membuat perda itu bertentangan antara Pemprov dan pemkab/Pemkot," ujaranya.
Sementara kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat mempunyai wewenang membatalkan sebuah perda maupun peraturan bupati/wali kota bila dianggap bertentangan. Dilain pihak juga memberikan pengharagaan atau sanksi kepada buppati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan pemerintrah di daerah.
Oleh karena itu kata gubernur, koordinasi dan konsultasi antara bupati, wali kota dan sekda harus memenuhi semua ketentuan yang ada demi tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab.
Gubernur saat memberi pencerahan kepada para Sekda dan dan sejumlah instansi teknis lainnya terkait UU 23/2014 itu, tanpa didampingi wakil gubernur maupun Sekda provinsi dengan harapan agar para sekda kabupaten/kota benar-benar memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat struktural tertinggi di daerahnya.
Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah, sehingga setiap mengambil keputusan harus diketahui oleh bupati/wali kota.
"Tetapi jangan juga seorang sekertaris daerah, apa yang dibilang dan diinginkan oleh bupati/ wali kotanya langsung diikuti, yang mungkin saja dapat mencelakakan dirinya," ujar gubernur Sultra saat memimpin rapat Koordinasi-evaluasi dan pengendalian triwulan I sekertaris daerah kabupaten/kota se-Sultra di Kendari, Jumat.
Ia mengatakan, sekda sebagai pejabat struktural tertinggi di daerahnya harus mampu bekerja secara profesional dengan tidak seenaknya menjadikan jabatannya itu melampau tugas dan wewenangnya dari bupati/wali kota.
Undang-Undang 23/2014 tentang pemerintahan daerah, dimana pasal 91 yang menyebutkan bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mempunyai tugas selain mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di daerah kabupaten/kota, juga melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota yang ada diwilayahnya.
"Ini artinya bahwa, Sekda sebagai `panglima` tertinggi yang membawahi seluruh pegawai dan karyawan di daerahnya harus kritis dan cermat untuk melakaukan tugas sesuai yang diamanhkan Undang-Undang terutama menyangkut rancangan peraturan daerah yang mana wewenang yang harus dijalankan dan yang tidak boleh dilakukan.
Nur Alam mengatakan, dengan peraturan perundang-undangan dimaksud kewenang, para bupati/wali kota termasuk sekda, seakan-akan tidak memahami penjabaran dari UU 23/2014 itu yang seolah-olah apa yang dinginkan dan diputuskan di daerahnya itu tidak harus tahu oleh gubernur.
"Kalau sistim kekuasaan masing-masing bupati/wali kota itu didasarkan atas keinginannya sendiri, maka saya kuatir ada 50 persen kepala daerah di Sultra bisa masuk perangkat dan `langser` sebelum masa tugasnya berakhir karena hanya persoalan kewenangan yang membuat perda itu bertentangan antara Pemprov dan pemkab/Pemkot," ujaranya.
Sementara kewenangan gubernur selaku wakil pemerintah pusat mempunyai wewenang membatalkan sebuah perda maupun peraturan bupati/wali kota bila dianggap bertentangan. Dilain pihak juga memberikan pengharagaan atau sanksi kepada buppati/wali kota terkait dengan penyelenggaraan pemerintrah di daerah.
Oleh karena itu kata gubernur, koordinasi dan konsultasi antara bupati, wali kota dan sekda harus memenuhi semua ketentuan yang ada demi tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggung jawab.
Gubernur saat memberi pencerahan kepada para Sekda dan dan sejumlah instansi teknis lainnya terkait UU 23/2014 itu, tanpa didampingi wakil gubernur maupun Sekda provinsi dengan harapan agar para sekda kabupaten/kota benar-benar memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat struktural tertinggi di daerahnya.
Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah, sehingga setiap mengambil keputusan harus diketahui oleh bupati/wali kota.