Jakarta  (Antara News) - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya ingin mengatur sanksi bagi partai politik yang terbukti menyelewengkan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

        "Sanksi bagi partai politik harus tegas, kalau melanggar undang-undang bisa dibubarkan (partai itu), karena kan rekrutmen calon pemimpin daerah dan pemimpin bangsa melalui parpol.  Jadi, UU Parpol ke depan memang harus diperbaharui," kata Mendagri di Jakarta, Selasa.

        Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menurut Tjahjo, belum mengatur mengenai ketegasan sanksi bagi partai yang menyalahgunakan dana bantuan Negara untuk kegiatan politiknya.

        Dalam usulan revisi UU tersebut, Mendagri juga berwacana untuk meningkatkan dana operasional untuk partai dari APBN sebesar Rp1 triliun untuk satu parpol setiap tahunnya.

        "Perlu adanya wacana Pemerintah dalam jangka panjang untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi guna meningkatkan transparansi dan demokrasi dengan membiayai satu parpol misalnya maksimal Rp1 triliun," kata Mendagri.

        Dana bantuan tersebut dimaksudkan agar partai dapat benar-benar menjalankan fungsi kaderisasi, selain juga agar terhindar dari mencari pemasukan ilegal bagi partai.

        "Sebagian masyarakat sekarang menuding negatif bahwa partai politik dan anggota partai di lembaga legislatif 'bermain' dengan anggaran rakyat, yakni APBN dan APBD," tambahnya.

        Terkait wacana tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar nominal tersebut dihitung lebih rinci lagi supaya jumlah yang diterima sesuai dengan perolehan suara parpol terkait.

        "Saya kira itu harus dihitung, nanti kalau dipukul rata dapat Rp1 triliun semua, ya semuanya mau bikin partai saja jadinya," kata Wapres di Jakarta, Selasa.

        Penghitungan tersebut bisa saja didasarkan pada jumlah pemilih atau perolehan kursi seperti yang diatur saat ini dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yakni Rp108  per suara.

         "Kalau Rp1 triliun itu mungkin saja (penghitungannya) seperti dulu (UU Nomor 2 Tahun 2008), berdasarkan pemilihnya jadi bukan dipukul rata.  Memang ada aturannya sejak dulu," ujarnya.

Pewarta : Fransiska Ninditya
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2024