Jakarta (Antara News) - Udara dingin yang bisa mencapai minus tujuh pada pagi hari di Davos, Swiss, tidak menyurutkan lebih dari 1.000 CEO perusahaan besar dari berbagai belahan dunia mengikuti pertemuan tahunan World Economic Forum, 21--24 Januari 2015.

          Ajang tahunan WEF menjadi penting bagi mereka dalam mengambil keputusan bisnis ke depan karena dalam forum itu dibahas berbagai tren, tantangan, dan solusi, serta peluang pada tahun ini.

          Pada tahun 2015, organisasi yang didirikan profesor di bidang bisnis dari Universitas Jenewa, Swiss, Klaus Schwab itu mengambil tema besar diskusi "The New Global Context" yang tidak hanya membahas masalah ekonomi, tetapi juga politik, sosial, lingkungan, dan teknologi.

          Namun, sejak awal, Klaus Schwab menegaskan bahwa pertemuan tahunan yang tidak hanya dihadiri CEO, tetapi juga akademisi, tokoh politik, pemerintahan, lembaga swadaya masyarakat, dan jurnalis itu. Pertemuan itu bukan hanya untuk menginventaris masalah, melainkan juga mencari solusi.

          "Kami datang di sini untuk menangani berbagai tantangan regional dan domestik," katanya pada pembukaan forum tersebut.

          Ia berharap, dari interaksi para pemimpin perusahaan, tokoh, akademisi, LSM, dan jurnalis itu akan menghasilkan salah satunya kesepakatan dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif berkelanjutan di tengah tantangan global yang makin berat.

          Tantangan tersebut, antara lain berasal dari harga minyak mentah dunia yang cenderung menurun dan krisis di sejumlah negara yang belum berakhir sehingga memengaruhi perubahan bisnis dan pertumbuhan ekonomi global.

          Dalam diskusi awal terkait dengan ekonomi makro terungkap bahwa negara berkembang akan mendapat tantangan besar untuk menjaga  pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

          Hal itu terkait dengan perlambatan ekonomi global, pemulihan ekonomi Amerika Serikat, krisis di Eropa yang bisa muncul sewaktu-waktu, penurunan harga minyak dunia, serta perlambatan laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang selama ini menjadi motor penggerak pertumbuhan global.

          Pada diskusi dengan pembicara, antara lain  Co-founder and Managing Director the Carlyle Group David M. Rubenstein, Deputy Managing Director International Monetary Fund (IMF) Min Zhu, CEO SOHO China Zhang Xin, Vice-Chairman GE Hong Kong SAR John Rice, dan ekonom asal Jerman  Axel Weber itu juga terkemuka tantangan lain di bidang ekonomi berupa risiko penggelembungan aset di beberapa beberapa negara, inflasi tak terkendali, kegagalan mekanisme sistem keuangan, dan krisis ekonomi pada sebagian negara utama di dunia.

          Dari semua itu yang paling mengkhawatirkan adalah penurunan harga minyak mentah yang menyentuh angka di bawah 50 dolar AS per barel, serta keengganan AS memangkas produksi shale oil, yang bakal memengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.

          Salah satu negara yang diperkirakan akan "terpukul" oleh tantangan global yang masih berat itu adalah Rusia. Perekonomian negeri Beruang Merah itu diperkirakan tumbuh di bawah proyeksi 4,8 persen pada tahun ini.

        
                                                Domestik
          Lalu, bagaimana dampak ekonomi global tersebut terhadap Indonesia?

          Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil yang juga hadir pada WEF tampak tidak khawatir dengan hal tersebut. Dia yakin kekuatan ekonomi domestik masih besar untuk menghadapi tantangan global yang bakal menghadang.

          Apalagi, dia menilai pembicaraan mengenai Indonesia sangat positif di forum dunia itu. Pada sejumlah diskusi banyak pembicara yang mengapresiasi berbagai kebijakan pemerintah, terutama di bidang reformasi birokrasi dan perbaikan iklim investasi.

          "Saya melihat pesan Presiden RI Joko Widodo tentang perbaikan iklim investasi di Indonesia sudah tersebar luas di sini (WEF)," ujar Sofyan.

          Oleh karena itu, dia tidak ragu investasi asing ke Indonesia bakal terus mengalir. Apalagi, sejumlah negara maju melonggarkan likuiditas mereka.

          Sofyan justru mengkhawatirkan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok karena negeri Tirai Bambu itu merupakan salah satu tujuan utama ekspor komoditas Indonesia.

          Pada tahun 2013, misalnya, ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 22,6 miliar dolar AS dan pada bulan Januari--Oktober 2014 nilai ekspor telah mencapai 14,6 miliar dolar AS.

          Sofyan mengakui ada kecenderungan ekspor Indonesia menurun, tidak hanya karena perlambatan ekonomi Tiongkok, tetapi juga akibat pemerintah melarang ekspor bahan tambang dalam keadaan mentah (primer). Selama ini, ekspor Indonesia ke Tiongkok didominasi produk bahan primer, termasuk tambang dan perkebunan.

          Namun, jangka menengah dan panjang, dia yakin dengan pelarangan ekspor bahan mentah, nilai ekspor Indonesia akan meningkat karena harga komoditas bakal naik setelah diolah terlebih dahulu di dalam negeri.

          Hal senada dikemukakan Menteri Perdagangan (Mendag) Rachmat Gobel yang juga hadir di WEF. Dia menilai tantangan global yang makin berat merupakan peluang untuk menunjukkan kekuatan ekonomi dan pasar domestik.

          "Pasar domestik kita yang besar adalah insentif dan bisa dimanfaatkan lebih maksimal di tengah tantangan global saat ini," katanya di sela pertemuan bilateral dengan sejumlah negara di Davos.

          Untuk itu, dia akan mengoptimalkan semua perangkat yang ada di Kementerian Perdagangan untuk melindungi pasar dalam negeri, mendorong investasi, dan mendukung penguatan industri nasional.

          Kendati demikian, Rachmat menegaskan bahwa pihaknya juga akan terus mencari peluang-peluang baru untuk menggenjot ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi guna memenuhi target penaikan ekspor tiga kali lipat dalam lima tahun ke depan.

    
                             Strategi
          Untuk itu, meski baru tiga bulan sejak pelantikan menjadi Menteri Perdagangan, dia langsung memanggil para pejabat perwakilan  perdagangan di luar negeri--yang terdiri atas 24 atase perdagangan, 19 pejabat Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC), konsul perdagangan di Hong Kong, dan kantor dagang dan ekonomi di Taiwan--guna membuat strategi ekspansi pasar ekspor.

          "Pejabat perwakilan perdagangan di luar negeri harus berperan aktif dan inovatif meningkatkan ekspor di negara akreditasi masing-masing," ujar Rachmat yang juga mantan anggota Komite Inovasi Nasional (KIN) itu.

          Keseriusan itu juga terlihat ketika dia meminta secara khusus Atase Perdagangan Indonesia di Jenewa, Swiss, Nugraheni Prasetya Hastuti untuk mencari peluang baru ekspor produk manufaktur.

          "Tolong cari peluang-peluang lain untuk meningkatkan ekspor kita ke Swiss," pintanya ketika berada di Bandara Zurich sebelum kembali ke Tanah Air pascamenghadiri pertemuan WEF di Davos, beberapa waktu lalu.

          Permintaan Rachmat itu terkait dengan strategi jangka menengah Kementerian Perdagangan untuk mengubah struktur komoditas ekspor. Selama ini ekspor nonmigas Indonesia didominasi produk primer (bahan mentah) yang mencapai 63 persen, sedangkan produk manufaktur hanya 37 persen.

          Ke depan struktur itu akan diubah menjadi 65 persen produk manufaktur dan 35 persen produk primer. "Untuk mencapai target itu, saya akan berkoordinasi dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Industri, Teknologi, dan Riset itu.

          Sejauh ini, pihaknya telah menginventarisasi 60 produk untuk mendukung perubahan struktur ekspor tersebut, antara lain berupa produk jasa, produk kreatif, produk kulit, elektronik, tekstil, kimia, kayu, dan mebel, serta produk logam yang permintaannya masih tinggi di dunia, di samping mampu menyerap tenaga kerja yang besar.

          Perubahan itu juga  sejalan dengan prediksi Bank Dunia dalam  "Commodity Price Forecast" yang menyebutkan indeks harga komoditas enegi akan turun dari 123,2 pada tahun 2015 menjadi 121,9 pada tahun 2019, sedangkan indeks harga produk manufaktur naik dari 109 pada tahun 2015 menjadi 115,4 pada tahun 2019.

          Oleh karena itu, dia mengajak seluruh kekuatan, terutama di jajaran Kementerian Perdagangan (Kemendag), untuk bekerja lebih keras dan tangkas, bahkan kalau perlu melewati rintangan yang berbahaya sekalipun agar target 300 persen kenaikan ekspor bisa tercapai.

          "Seperti suatu ungkapan dalam bahasa Itali yang pernah dipopulerkan Bung Karno, 'vivere pericoloso', yang berarti hiduplah secara berbahaya. Kemendag bercita-cita besar meningkatkan daya saing hingga dapat melipatgandakan ekspor nonmigas selama 2015--2019," ujarnya.

Pewarta : Oleh Risbiani Fardaniah
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024