Padang (Antara News) - Direktur LBH Pers Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Roni Syaputra menyebutkan bahwa kekerasan yang terjadi pada wartawan masih menjadi permasalahan utama pada 2014.
Kekerasan pada wartawan itu juga malah menjadi topik utama dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun LBH Pers Padang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dilaksanakan di Padang, Jumat.
Menurut dia, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang ideal menurut amanat undang-undang ternyata masih jauh dari harapan.
Kondisi ini terbukti dari meningkatnya jumlah angka kekerasan pada wartawan setiap tahunnya, tambahnya.
Pihaknya mencatat, peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2012 dan 2013, dimana kasus kekerasan pada tahun 2012 sebanyak 20 kasus dan tahun 2013 menjadi 39 kasus. Sedangkan untuk tahun 2014, dirinya menyebut terjadi peningkatan sebanyak 15 kasus, sebutnya.
Ia menjelaskan peningkatan angka kekerasan pada wartawan saat melakukan peliputan didasari pada banyaknya kasus yang tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum tahun 2012 dan 2013.
Andaikata ada pelaporan, tindak lanjut oleh aparat juga sangat minim. "Seperti prediksi kami 2012 lalu, setiap tahun berjalan, kasus-kasus pers akan meningkat tajam," ungkapnya.
Lebih lanjut, pihaknya menemukan sebuah pola kasus menarik selama tahun 2014, dimana ternyata tahun politik juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan kasus kebebasan pers di Sumatera.
"Kami menemukan pola kasus yang menarik di 2014 ini. Ternyata kasus kekerasan meningkat pada bulan politik, April dan Oktober 2014. Data statistik perbulan menunjukan, terjadi 13 kasus kekerasan terhadap pers April 2014.
Seperti diketahui, April bulan politik, bertepatan dengan Pemilihan Legislatif (Pileg), sementara Oktober 2014, ketika Indonesia menggelar pesta demokrasi pemilihan presiden, 8 kasus terjadi, ujarnya.
Dua bulan inilah yang kami nyatakan sebagai puncak tertinggi kasus kekerasan terhadap pers," tambahnya.
Kalau dicermati peningkatan kasus pada bulan politik, mengindikasikan fungsi kontrol pers terhadap jalannya politik berjalan cukup baik, katanya.
Namun sayangnya, fungsi kontrol pers malah berujung pada tindakan-tindakan di luar hukum. Sekaligus, dapat disebut, pada bulan politik, banyak aturan hukum yang ditabrak. Termasuk Undang-undang Pers yang telah memberikan jaminan bagi wartawan untuk menjalankan kerja-kerja jurnalistik, sebutnya.
"Banyak faktor yang menjadi pendorong, liberalisasi media, pertumbuhan media tanpa sensor yang tidak diimbangi dengan aturan perlindungan bagi jurnalis," tambah Ketua Aji Padang, Yuafriza.
Faktor pendorong kekerasan pada wartawan lainnya, adalah rendahnya pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat tentang hak jurnalis. Yang pasti, penegakan hukum juga rendah, tambahnya.
Bahkan, katanya, berbicara internal pun, sebetulnya pers punya masalah. Perkembangan media tidak dibarengi peningkatan kapasitas wartawan kesetiaan media mulai bergeser.
Pers yang harusnya meletakkan kesetiaan pada kepentingan rakyat, sekarang malah terkotak-kotak. Kesetiaan media tidak lagi diletakkan pada kepentingan publik, ujarnya.
Kondisi inilah yang menjadi cerminan belum idealnya kebebasan pers sebagaimana amanat UU nomor 40/1999 tentang Pers. Runtuhnya rezim orde baru, dan berganti ke era reformasi ternyata belum mampu membawa perubahan yang signifikan pada kebebasan pers. Bahkan, dalam Reportes Without Borders 2014, Indonesia masuk daftar negara yang belum menjamin kebebasan pers, katanya.
Menurut dia, dari 160 negara, Indonesia berada pada urutan 132 dan masuk dalam kategori difficult situation (negara dalam kondisi yang sulit).
Penyampaian catatan akhir LBH Pers dan Aji Padang ini disampaikan, berbarengan dengan pemutaran Film Senyap karya Joshua Oppenheimer yang berdurasi sekitar satu setengah jam.
Hadir unsur NGO, Jurnalis, Organisasi Mahasiswa, Pers Mahasiswa, Budayawan dan kalangan lainnya yang berlangsung hingga malam.
Kekerasan pada wartawan itu juga malah menjadi topik utama dalam Diskusi Catatan Akhir Tahun LBH Pers Padang dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dilaksanakan di Padang, Jumat.
Menurut dia, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang ideal menurut amanat undang-undang ternyata masih jauh dari harapan.
Kondisi ini terbukti dari meningkatnya jumlah angka kekerasan pada wartawan setiap tahunnya, tambahnya.
Pihaknya mencatat, peningkatan signifikan terjadi sejak tahun 2012 dan 2013, dimana kasus kekerasan pada tahun 2012 sebanyak 20 kasus dan tahun 2013 menjadi 39 kasus. Sedangkan untuk tahun 2014, dirinya menyebut terjadi peningkatan sebanyak 15 kasus, sebutnya.
Ia menjelaskan peningkatan angka kekerasan pada wartawan saat melakukan peliputan didasari pada banyaknya kasus yang tidak dilaporkan ke aparat penegak hukum tahun 2012 dan 2013.
Andaikata ada pelaporan, tindak lanjut oleh aparat juga sangat minim. "Seperti prediksi kami 2012 lalu, setiap tahun berjalan, kasus-kasus pers akan meningkat tajam," ungkapnya.
Lebih lanjut, pihaknya menemukan sebuah pola kasus menarik selama tahun 2014, dimana ternyata tahun politik juga sangat berpengaruh terhadap peningkatan kasus kebebasan pers di Sumatera.
"Kami menemukan pola kasus yang menarik di 2014 ini. Ternyata kasus kekerasan meningkat pada bulan politik, April dan Oktober 2014. Data statistik perbulan menunjukan, terjadi 13 kasus kekerasan terhadap pers April 2014.
Seperti diketahui, April bulan politik, bertepatan dengan Pemilihan Legislatif (Pileg), sementara Oktober 2014, ketika Indonesia menggelar pesta demokrasi pemilihan presiden, 8 kasus terjadi, ujarnya.
Dua bulan inilah yang kami nyatakan sebagai puncak tertinggi kasus kekerasan terhadap pers," tambahnya.
Kalau dicermati peningkatan kasus pada bulan politik, mengindikasikan fungsi kontrol pers terhadap jalannya politik berjalan cukup baik, katanya.
Namun sayangnya, fungsi kontrol pers malah berujung pada tindakan-tindakan di luar hukum. Sekaligus, dapat disebut, pada bulan politik, banyak aturan hukum yang ditabrak. Termasuk Undang-undang Pers yang telah memberikan jaminan bagi wartawan untuk menjalankan kerja-kerja jurnalistik, sebutnya.
"Banyak faktor yang menjadi pendorong, liberalisasi media, pertumbuhan media tanpa sensor yang tidak diimbangi dengan aturan perlindungan bagi jurnalis," tambah Ketua Aji Padang, Yuafriza.
Faktor pendorong kekerasan pada wartawan lainnya, adalah rendahnya pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat tentang hak jurnalis. Yang pasti, penegakan hukum juga rendah, tambahnya.
Bahkan, katanya, berbicara internal pun, sebetulnya pers punya masalah. Perkembangan media tidak dibarengi peningkatan kapasitas wartawan kesetiaan media mulai bergeser.
Pers yang harusnya meletakkan kesetiaan pada kepentingan rakyat, sekarang malah terkotak-kotak. Kesetiaan media tidak lagi diletakkan pada kepentingan publik, ujarnya.
Kondisi inilah yang menjadi cerminan belum idealnya kebebasan pers sebagaimana amanat UU nomor 40/1999 tentang Pers. Runtuhnya rezim orde baru, dan berganti ke era reformasi ternyata belum mampu membawa perubahan yang signifikan pada kebebasan pers. Bahkan, dalam Reportes Without Borders 2014, Indonesia masuk daftar negara yang belum menjamin kebebasan pers, katanya.
Menurut dia, dari 160 negara, Indonesia berada pada urutan 132 dan masuk dalam kategori difficult situation (negara dalam kondisi yang sulit).
Penyampaian catatan akhir LBH Pers dan Aji Padang ini disampaikan, berbarengan dengan pemutaran Film Senyap karya Joshua Oppenheimer yang berdurasi sekitar satu setengah jam.
Hadir unsur NGO, Jurnalis, Organisasi Mahasiswa, Pers Mahasiswa, Budayawan dan kalangan lainnya yang berlangsung hingga malam.