Banda Aceh  (Antara News) - Pada tanggal 26 Desember 2014, ribuan warga larut dalam renungan mengenang tragedi tsunami 10 tahun lalu yang menyebabkan kurang lebih 200.000 nyawa melayang di sejumlah daerah pesisir pantai di Provinsi Aceh.

         Bersamaan kegiatan renungan 10 tahun tsunami di Banda Aceh itu, ribuan warga seperti di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen dan Aceh Timur sedang dirundung kesedihan karena baru melewati bencana banjir yang merendam rumah-rumah mereka.

         Banjir bandang di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe di punghujung 2014 itu disebutkan terparah dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Di Aceh Utara, ketinggian air yang merendam permukiman penduduk sekitar 1--2 meter, dan menyebabkan hampir 100 ribu warga mengungsi.

         Data menunjukkan dalam satu tahun terakhir, Aceh telah dihantam oleh 70 kali bencana alam, terdiri atas sebanyak 21 kali tanah longsor, 13 kali kekeringan, dan 36 kali banjir.

          Pengamat lingkungan Aceh T.M. Zulfikar mengatakan bahwa bencana tersebut diperburuk dengan proyek pembangunan yang tidak berkelanjutan. Akibatnya adalah dampak buruk terhadap kemanusiaan, ekologi, dan ekonomi, serta bantuan senilai miliaran dolar dan investasi pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami menjadi sia-sia.

          Menurut dia, pembangunan yang tidak berkelanjutan di Aceh mengindikasikan bahwa provinsi itu tidak memiliki kematangan perencanaan dan kebijakan terkait dengan sumberdaya alam dan pengelolaan risiko bencana yang menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.

          Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad Nur mengatakan bahwa terjadi berbagai bencana ekologi di Aceh karena berbagai kebijakan yang dilahirkan kerap tidak prolingkungan, mulai dari sektor kehutanan, pertambangan, hingga pembangunan mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan Aceh makin rawan.

          Ia menilai meski MoU Reducing Emission From deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) Aceh, salah satu kebijakan yang digadang-gadangkan untuk penyelamatan hutan Aceh, justru kontradiksi dengan pelepasan kawasan hutan Aceh melalui SK Menhut Nomor 941 Tahun 2013.

         Walhi juga mencatat di sektor perkebunan, terdapat sebanyak 236 izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan BPN di Aceh sejak 1989--2010 dengan luas 20.821 hektare di areal hutan lindung yang beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit di 11 kabupaten/kota.

          Dalam sektor pertambangan, terdapat sebanyak 136 konsesi pertambangan berbagai komoditas di 15 kabupaten dan kota, di antaranya terdapat 52 perusahaan aktif. Namun, 28 di antaranya tercatat habis izin berlaku pada tahun 2014.

          Kemudian, sebanyak 15 HGU di antaranya yang menggunakan kawasan hutan lindung (HL), dan delapan menggunakan kawasan ekosistem leuser (KEL) sebagai lahan eksplorasi maupun operasi. Dari sebanyak 136 konsesi, hanya satu yang memiliki surat izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.

         Muhammad Nur juga menjelaskan, untuk persoalan di sektor kehutanan, yaitu pembukaan lahan perkebunan di beberapa kawasan di Aceh dengan memperoleh izin dari bupati tanpa rekomendasi gubernur, bahkan beberapa perusahaan beroperasi walaupun belum memiliki izin.

         Persoalan lingkungan lain yang dapat memicu bencana ekologi di Aceh lain, yaitu pembangunan jalan yang memakai kawasan hutan lindung serta tercatat 20 hektare hutan lindung rusak parah akibat penambangan batu giok di Gunung Singgah Mata, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

         "Hal itu terjadi karena disebabkan penggunaan alat berat untuk mengambil batu giok hingga merusak sumber air dan alur sungai di kaki Gunung Singgah Mata dan reklamasi rawa trumon," kata Direktur eksekutif Walhi Aceh.

          Walhi juga mencatat sepanjang 2014 terjadi sebanyak 28 kasus konflik antara manusia dan gajah. Konflik tersebut diperkirakan terus meningkat setiap tahun. "Itu terjadi karena jalur tempat tinggalnya diganggu," kata Muhammad Nur.

           Disiebutkan, total kawasan habitat satwa yang diganggu sebanyak 780.409,31 hektare. Walhi Aceh juga mencatat bencana ekologi Aceh tersebar di 12 kabupaten/kota dengan catatan: banjir sebanyak 31 kasus, longsor 15 kasus, kebakaran hutan 20 kasus, abrasi sembilan kasus dan erosi tujuh kasus.

           "Total kerugian sekitar Rp122.716 miliar. Investasi yang diberikan atas eksploitasi sumber daya alam tidak sebanding dengan kerugian yang diderita akibat bencana alam," katanya.

           Menurut dia, pengelolaan sumber daya alam yang baik dapat diwujudkan dengan dukungan berbagai pihak pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, LSM, akademisi, hingga masyarakat umum. Pemerintah memegang kendali penting terkait dengan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam di Aceh.

          Selain itu, katanya dinas/badan terkait harusnya menyediakan layanan informasi yang baik untuk proses akses data. Sebagai contoh, dalam menghimpun data sektor perkebunan, Walhi Aceh pernah mengalami sengketa informasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

    
Wilayah Pesisir
      
     Selain itu, M. Nur mengatakan hal penting lain, yaitu terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir, Aceh ternyata hingga kini belum memiliki produk hukum khusus yang mengatur masalah tersebut.

           "Padahal, seharusnya bencana tsunami mengajarkan Aceh untuk lebih siap siaga di sektor tata kelola pesisir sehingga dapat terbebas dari potensi bencana. Renungan 10 tahun tsunami harusnya tidak sekadar seremonial, tetapi juga refleksi menyeluruh terkait dengan kesiapan regulasi Aceh yang mengatur tata kelola kawasan pesisir dan peta kebencanaan di sektor tersebut," katanya.

           Lain lagi di sektor pertambangan, moratorium izin usaha pertambangan dan mineral logam dan batu bara juga baru disusun, yaitu melalui Instruksi Gubernur Aceh Nomor 11/INSTR/2014.

           Terkait dengan potret buram pengelolaan sumber daya alam Aceh, Walhi bersama 16 organisasi masyarakat sipil telah memberikan "Kertas Posisi CSO terhadap Kinerja Pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan Zaini-Muzakkir selama 2,5 tahun terakhir".

           Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan legislatif memberikan komitmen untuk menjalankan kebijakan dengan mempertimbangkan partisipasi aktif elemen sipil guna tercapainya kebijakan yang selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan di Aceh.

           Berbagai kasus ekologi itu menyebabkan perubahan iklim yang sangat besar ditandai dengan meningkatnya suhu rata-rata cuaca di Aceh yang berdampak gagal panen dan musim tak menentu," kata Muhammad Nur.

           Akibatnya, juga dapat terlihat pada musim hujan yang  terus-menerus dalam tiga bulan terakhir, dan itu bisa dikatakan "tsunami" kecil bagi masyarakat Aceh.

          Bencana ekologi seperti banjir dan longsor terus menghantui sebagian besar wilayah Aceh sehingga menghambat aktivitas dan menyebabkan kerugian dirasakan langsung oleh masyarakat.

           Oleh karena itu, Muhammad Nur berharap pemerintah serius dan memahami kesepahaman konsep terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

           Selain itu, diperlukan juga evaluasi pelaksanaan aktivitas pengelolaan sumber daya alam agar terciptanya keseimbangan ekosistem dan untuk menghindari bencana yang sekarang menjadi peristiwa langganan di wilayah Aceh.

            Sementara itu, khusus untuk kawasan ekosistem leuser (KEL), Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mendesak pemerintah meninjau semua perizinan, baik sektor perkebunan, pertambangan, maupun kehutanan yang terdapat di KEL.

            "Banyak izin perkebunan, pertambangan, maupun kehutanan di Aceh telah mengubah fungsi ekologi hutan di KEL. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah meninjau ulang semua perizinan di KEL," kata staf Divisi Investigasi dan Publikasi ICW Lais Abid.

            Indonesia Corruption Watch, kata dia, melihat ada bahaya korupsi yang mengancam kelestarian KEL. Korupsi tersebut berupa penyalahgunaan izin hingga ada perusahaan yang membuka hutan di KEL tanpa izin.

             Akibat korupsi tersebut, lanjut dia, hampir di seluruh kabupaten/kota yang wilayahnya masuk KEL mengalami bencana ekologi berupa banjir dan longsor yang telah menelan banyak korban manusia maupun harta.

            "Bencana-bencana ini akibat pemberian izin kepada perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan di dalam KEL. Perusahaan-perusahaan merusak hutan dan mengubah jenis tanaman sehingga mengurangi jenis resapan air," kata dia.

            Indonesia Corruption Watch, kata dia, beberapa waktu lalu juga sudah melaporkan sebuah perusahaan perkebunan dan mantan petinggi Aceh ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena melakukan penebangan dan memberi izin penebangan di dalam KEL.

             "Kami belum bisa menyebutkan perusahaannya dan nama mantan petinggi Aceh tersebut karena laporannya masih dalam proses di KPK. Akibat perbuatan keduanya, negara terindikasi dirugikan Rp53,4 miliar," katanya.

             Terkait dengan kasus yang dilaporkan tersebut, kata dia, ICW mendesak penegak hukum menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

            "Jika nanti ada perusahaan yang dipidana melakukan tindakan perusakan hutan, hukumannya wajib memulihkan kawasan hutan yang pernah mereka tebangi," kata Lais Abid.

            Sebagai upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan, masyarakat juga seharusnya terus membangun kekuatan kolektif melalui pendidikan dan paham tentang adaptasi dan mitigasi dalam mereduksi kemungkinan bencana pada masa depan.

           Persoalan lingkungan hidup itu diperlukan komitmen dan keseriusan dari berbagai pihak sehingga Aceh bisa terhindar dari bencana yang dapat menimbulkan duka mendalam bagi masyarakat, seperti banjir dan tanah longsor serta tsunami yang dialami 10 tahun lalu.

Pewarta : oleh Azhari
Editor :
Copyright © ANTARA 2024