Pria bertubuh tegap berkulit langsat itu terlihat santai mengenakan baju batik warna krem kombinasi celana dan sepatu hitam. Pembawannya senantiasa ramah dengan lawan bicaranya.

         Sesekali senyum menghiasi bibir pria yang sisiran rambutnya model ke samping cukup rapi. Kerutan di dahi pria ini seolah menggambarkan bahwa ia sudah banyak makan "asam-garam" kehidupan dan profesi, yaknu wartawan, dosen kemudian pejabat di birokrasi.

          Prof Drs I Ketut Widnya, MA, M.Phil Ph. D (52) ini adalah pria kelahiran Banjar Ponjok, Keluruhan Serangan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, 10 Juni 1960. Ia adalah guru besar Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar.

         Suami dari Ni Made Suci, asal Peliatan, perkampungan seniman Ubud, itu sering tampil sebagai pembicara dalam seminar tingkat  nasional dan internasional. Kesuksesannya tidak serta merta datang, namun harus ditapaki dari bawah dengan berkerja keras dan perjuangan.

         Ayah dua putra dan seorang putri, masing-masing Putu Govinda Prasada, Radharani Prasada dan Nyoman Krisna itu setamat dari Sekolah Pendidikan Guru Agama Hindu Negeri (SPGAHN) Denpasar tahun 1983 melanjutkan ke Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, sekaligus bekerja sebagai "kuli tinta".

         "Sejak kuliah semester I saya bekerja sebagai wartawan Karya Bhakti, koran lokal di Bali yang digagas Gubernur Bali saat itu Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) bersama teman saya Dr I Ketut Sumadi, yang kini  Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar," tutur Widnya mengenang pengalamannya 30 tahun yang silam.

         Pengalaman sebagai wartawan yang digelutinya selama enam tahun, termasuk pernah menjabat redaktur Koran Karya Bhakti itu memberikan warna dalam menjalani kehidupan pria yang pernah mendapat kepercayaan sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAHN) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini.

         Prof Widnya yang kini dipercaya menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Hindu Kementerian Agama menggantikan pejabat sebelumnya Prof Dr Yudha Triguna itu mengakui, pengalaman wartawan memberikan keterampilan tambahan dalam menekuni studi Agama Hindu.

         Begitu menyelesaikan pendidikan S-1 di IHDN Denpasar ia mendapat kesempatan mengabdikan diri menjadi staf Dirjen Bimas Hindu di Kementerian Agama RI di Jakarta mulai tahun 1988 selama lima tahun hingga 1993.

         Sosok pria berpenampilan sederhana itu lima tahun kemudian (1993) mendapat kepercayaan sebagai pembina Hindu pada Kanwil Kementerian Agama di Kalimantan Barat selama enam tahun (1993-1998).

         Meskipun tidak lagi menyandang profesi sebagai wartawan, namun Prof Widnya tetap menggeluti kesenangannya menulis, terbukti berhasil merampungkan belasan karya buku dan karya tulis.

    
                               Studi ke India
         Widnya yang pernah menjabat Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar itu melanjutkan pendidikan program pascasarjana (S-2) di University Of Delhi, India (2000-2001), kemudian langsung menyelesaikan studi program doktor (S-3) di perguruan tinggi yang sama tahun 2006.

         Setelah menyelesaikan pendidikan program doktor itu kembali ke almamaternya yakni IHDN Denpasar sebagai dosen hingga dipercaya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram, NTB, selama empat tahun periode 2009-2013.

         Setelah menyelesaikan tugas di Mataram kembali ke IHDN Denpasar menjabat sebagai Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar yang hanya beberapa bulan saja.

         Sejak akhir Oktober 2014 dipercaya sebagai Dirjen Bimas Hindu Kemterian Agama RI menggantikan pejabat sebelumnya Prof Ida Bagus Yudha Triguna.

         Profesi wartawan yang melekat pada dirinya itu, secara tidak langsung memberikan dorongan untuk menghasilkan karya tulis yang dimuat di berbagai jurnal perguruan tinggi dan menghasilkan puluhan karya buku.

         Dari belasan karya bukunya itu antara lain berjudul "Konkritisasi Rad Van Kertha di Indonesia" (2000), "Evolation of Siwa Budha Cult in Indonesia" (2006), "Advent of Buddhism in Indonesia" (2007), "Filsafat Tantra dan Sakta" (2007) serta "Sejarah masuknya Agama Hindu dan Budha ke Indonesia" (2008).

         Selain itu juga menghasilkan puluhan karya tulis yang dibawakan dalam kegiatan seminar di tingkal lokal Bali, nasional maupun internasional disamping artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah yang diterbitkan sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.

    
                            Solusi atasi kemelut
         Prof Widnya ketika menjabat Ketua STAHN Mataram (2009-2013) pernah menilai, buku berjudul "Tuhan di Sarang Narkoba, Weda di Ruang Tamu" karya Dr Ketut Sumadi yang dinilai mampu memberi petunjuk atau solusi dalam mengatasi kemelut kehidupan modern dewasa ini.

         Buku itu mampu memberikan petunjuk kepada orang tua dalam lingkungan keluarga, dosen, mahasiswa di perguruan tinggi dan petunjuk kepada mereka yang dalam kedudukan sebagai pengambil kebijakan di pemerintahan dan lembaga-lembaga swasta lainnya.

         Petunjuk tentang moralitas keagamaan, sudah jamak disampaikan  berbagai pihak ke tengah-tengah gelanggang kehidupan, disamping melalui berbagai media, termasuk buku-buku keagamaan.

         Petunjuk moralitas agama yang dikemas dalam buku karya Ketut Sumadi itu dinilai sangat langka.

         Hal itu berkat penulisnya memahami keluasan dan kedalaman isi kitab Suci Weda, yang tidak mungkin menghadirkannya sekaligus kepada umat Hindu.

         Menurut Prof Widnya, Ketut Sumadi yang  mengutip beberapa sloka Weda dan menampilkannya dalam konteks ruang dan waktu, khususnya dalam "medan pertemuan" antara modernitas yang diwakili oleh dunia pariwisata dengan nilai-niai tradisional yang dijiwai moralitas agama di Pulau Dewata.

         Dengan cara seperti itu, moralitas keagamaan yang turun dari langit, menemukan ruang dan waktu yang tepat sehingga benar-benar membumi dalam dinamika kehidupan sosial.

         Dengan demikian, katanya, sangat menarik dicermati bahwa nilai tradisional yang dijiwai moralitas agama tidak hanya memberi pencerahan jiwa, namun sekaligus menjadi strategi kebudayaan bagi Bali untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti.

         Oleh sebab itu buku karya alumnus program magister Kajian Budaya Universitas Udayana itu dinilainya sangat penting untuk dibaca masyarakat luas dari berbagai latar belakang dengan harapan semua pihak sadar dalam menjaga dan melestarikan Bali.

Pewarta : Oleh I Ketut Sutika
Editor :
Copyright © ANTARA 2024