Makassar  (Antara News) - Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengaturan dan pengawasan perbankan menggantikan posisi Bank Indonesia (BI), tidak serta-merta terbentuk, namun melalui suatu proses yang cukup panjang hingga barulah diresmikan pada 31 Desember 2013.

        Pendirian OJK sendiri setidaknya dilatarbelakangi oleh tiga faktor yakni perkembangan sistem keuangan dengan mencermati kondisi di lapangan bahwa terjadi konglomerasi bisnis, adanya produk hibrid alias turunan dan aturan arbitrase.

        Sementara faktor kedua dengan melihat permasalahan di sektor keuangan yang berkaitan dengan "moral hazard", perlindungan konsumen dan koordinasi lintas sektoral. Sedang faktor ketiga lebih pada semangat amanat Undang-Undang Bank Indonesia untuk membentuk lembaga pengawasan sektor jasa keuangan.

         Hal tersebut dikemukakan Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK Endang Kussulandari pada sosialisasi peran OJK pada pekan pertama September 2014 di Makassar.

         Berangkat dari tiga pertimbangan tersebut, maka dipandang  perlu melakukan penataan kembali lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan pada industri jasa keuangan.

        Akhirnya pada 22 November 2011, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK pun disahkan, namun saat itu masih dalam masa transisi sehingga pengawasan pasar modal dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) masih berada di tangan Bapepam-LK yang kemudian berada di BI, hingga  akhirnya sepenuhnya dilimpahkan ke OJK pada 31 Desember 2013.

        Dengan pelimpahan kewenangan tersebut, OJK selaku lembaga baru mulai membenahi diri untuk menjalankan amanah UU OJK dengan wewenang pengawasan terhadap perbankan, pasar modal dan IKNB yang bergerak dalam bidang usaha perasuransian, dana pensiun, pembiayaan dan LJK lainnya.

        "Fungsi dan tugas OJK adalah sebagai regulator dan pengawas lembaga jasa keuangan yang terintegrasi dan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan perlindungan konsumen," kata Endang.

         Khusus untuk perlindungan konsumen, lanjut dia, OJK memiliki tiga peranan penting yakni pencegahan kerugian, pelayanan pengaduan konsumen dan pembelaan hukum. Dalam melakukan pencegahan, OJK dituntut berperan aktif memberikan edukasi kepada masyarakat tentang produk jasa keuangan.

        Selain itu, meminta lembaga jasa keuangan menghentikan kegiatannya apabila berpotensi merugikan masyarakat, serta melakukan tindakan lain yang dianggap perlu untuk melindungi masyarakat atau konsumen.

        Sementara dalam memberikan pelayanan pengaduan konsumen, OJK melalui 35 kantor cabang yang tersebar di Indonesia menyiapkan perangkat dan mekanisme pelayanan pengaduan konsumen yang menjadi korban pelaku lembaga jasa keuangan.

        Termasuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku lembaga jasa keuangan.  Untuk melengkapi perjuangan melindungi konsumen, OJK juga memberikan bantuan pembelaan hukum dengan memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan.

        "Bahkan dapat mengajukan gugatan untuk memperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan, serta untuk memperoleh ganti kerugian pada konsumen atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan," ujarnya.

        Sementara dari laporan pengaduan konsumen pada sejumlah kantor OJK di Kawasan Timur Indonesia (KTI), kemudian dilakukan pendalaman akhir akhirnya disimpulkan bahwa sepanjang Januari - Agustus 2014 terdapat 64 kasus tindak pidana perbankan.

        Menurut Endang, dari kasus tersebut umumnya terkait dengan persoalan kredit. Khusus kasus yang terindikasi merupakan tindak pidana perbankan di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua)  tercatat 24 kasus dan dari jumlah kasus itu 15 kasus diantaranya memiliki "locus delicti" atau tempat kejadian perkara di Sulawesi Selatan (Sulsel).

        Untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi konsumen atau lembaga jasa keuangan di daerah, maka peran kantor-kantor OJK di daerah harus dapat dioptimalkan. Salah satu upaya itu dengan membentuk "Financial Customer Care"(FCC) yang pertama kali diluncurkan di Jakarta, kemudian menyusul di kantor OJK di Makassar.

    
                          Layanan Konsumen
   Dalam menjemput peran kantor OJK di daerah, maka Kantor OJK Regional 6 Wilayah Sulampua pada medio Juli 2014 meresmikan FCC untuk memberikan perlindungan sekaligus mengedukasi konsumen.

        "layanan konsumen ini selain untuk menerima pengaduan, juga memberikan informasi yang dibutuhkan konsumen. Sementara yang betul-betul perlu mendapatkan penanganan hukum, juga kami fasilitasi," kata Kepala OJK Regional 6 Wilayah Sulampua Adnan Djuanda.

        Menurut dia, penyediaan layanan konsumen itu merupakan salah satu peran kantor OJK di daerah yakni melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat pengguna jasa keuangan di daerah.  
   Sementara peran lainnya adalah melaksanakan fungsi pengawasan, perizinan dan pengenaan sanksi terhadap perbankan dan industri keuangan non bank di daerah. Termasuk mewujudkan sistem keuangan di daerah, sehingga dapat tumbuh berkelanjutan dan stabil guna mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.

        "Peran OJK terhadap pemerintah daerah adalah memberikan pertimbangan atau nasehat terait industri jasa keuangan (bank dan non bank) dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah," kata Adnan.

        Bentuk lain dalam melindungi konsumen, imbuh Humas OJK Regional 6 wilayah Sulampua Sabarudin, adalah menyosialisasikan bahwa produk financial harus mencantumkan cap halal dan OJK untuk melindungi konsumen.

        Hal itu mulai berlaku 6 Agustus 2014, sementara perjanjian antara lembaga keuangan dengan konsumen dibawah tanggal tersebut, masih menggunakan peraturan lama. Misalnya lembaga asuransi yang menawarkan produknya, maka brosurnya itu harus memiliki cap halal dan OJK.

        "Pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) kini dalam menjual produknya atau berpromosi diisyarakatkan untuk jujur, jelas dan tidak menyesatkan konsumen," kata Sabarudin.

        Hal itu untuk mengantisipasi konsumen yang cenderung mendapatkan masalah di lapangan, karena tidak mendapatkan informasi yang jelas. Sebagai gambaran, promosi dan layanan kartu kredit kepada konsumen, selain harus memenuhi persyaratan peraturan baru yang sesuai UU Nomor 21 Tahun 2011, juga harus menjelaskan cara menghitung bunga kepada calon nasabah.

        Semua bentuk layanan itu merupakan upaya OJK untuk melindungi konsumen, sekaligus menjadi kiprah OJK sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan pasca kewenangan itu beralih dari BI.

        Tentu saja, sejuta harapan dari pengguna jasa keuangan digantungkan pada OJK, agar masyarakat tidak tertipu dengan produk keuangan yang menjebak seperti kasus investasi bodong, asuransi fiktif, produk yang menyerupai Multi Level Marketing (MLM), koperasi simpan pinjam yang menawarkan bunga tinggi dan sebagainya.

        Meski diakui, untuk menjalankan peranan OJK tidaklah mudah dengan segala keterbatasan yang dimiliki lembaga pengawasan yang baru memasuki usia setahun. Salah satu yang menjadi tantangan  OJK adalah keterbatasan SDM, khususnya tenaga penyidik untuk membantu OJK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Pewarta : Oleh Suriani Mappong
Editor : Abdul Azis Senong
Copyright © ANTARA 2024