Palu (Antara News) - Provinsi Sulawesi Tengah hingga kini baru mengekspor sebanyak 200 ton kakao ke Singapura dan Malaysia atau nilai ekspornya rendah, kata pejabat setempat.
"Perolehan devisa dari komoditas kakao hanya sebesar 200 dolar AS," kata Abdul Muin, kepala seksi ekspor Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Sulteng di Palu, Jumat.
Ia mengatakan selama bertahun-tahun Sulteng mengekspor kakao, baru pada 2014 ini realisasi ekspor sangat kecil.
Padahal, Sulteng merupakan salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia.
Pada priode Januari-Mei 2013 realisasi ekspor kakao Sulteng tercatat 8.000 ton dengan perolehan devisa sebesar sekitar 17 juta dolar AS.
Menurut dia, turunnya volume eskpor kakao Sulteng dikarenakan produksi petani pada panen kali ini merosot tajam dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Memang hasil panen petani rata-rata menurun drastis diduga akibat serangan hama dan juga dampak dari kondisi cuaca ekstrem.
Padahal, katanya harga kakao di pasaran internasional maupun dalam negeri terbilang cukup tinggi.
Saat ini harga kakao di tingkat pengumpul di Kota Palu berkisar Rp33 ribu sampai Rp35 ribu per kilogram. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, harga kakao saat ini merupakan tertinggi selama ini.
Tetapi sayang di saat harga kakao membaik, produksi petani merosot.
Hanny, seorang pengumpul kakao membenarkan petani yang menjual hasil panen kurang. Selain itu, sudah paling banyak kalau satu petani menjual kakao satu karung (isi 50kg).
Produksi kakao pada musim panen kali ini sangat kurang. Banyak tanaman kakao di Sulteng, termasuk di Kabupaten Sigi terserang hama dan juga tidak berbuah.
Selain hama, kata Hanny, juga pengaruh saat tanaman kakao mulai berbunga sangat ekstrem sehingga buah kakao gugur dari batang dan rantingnya.
Dia juga mengaku harga kakao yang berlaku di pasaran saat ini merupakan tertinggi selama ini.
"Perolehan devisa dari komoditas kakao hanya sebesar 200 dolar AS," kata Abdul Muin, kepala seksi ekspor Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Sulteng di Palu, Jumat.
Ia mengatakan selama bertahun-tahun Sulteng mengekspor kakao, baru pada 2014 ini realisasi ekspor sangat kecil.
Padahal, Sulteng merupakan salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia.
Pada priode Januari-Mei 2013 realisasi ekspor kakao Sulteng tercatat 8.000 ton dengan perolehan devisa sebesar sekitar 17 juta dolar AS.
Menurut dia, turunnya volume eskpor kakao Sulteng dikarenakan produksi petani pada panen kali ini merosot tajam dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Memang hasil panen petani rata-rata menurun drastis diduga akibat serangan hama dan juga dampak dari kondisi cuaca ekstrem.
Padahal, katanya harga kakao di pasaran internasional maupun dalam negeri terbilang cukup tinggi.
Saat ini harga kakao di tingkat pengumpul di Kota Palu berkisar Rp33 ribu sampai Rp35 ribu per kilogram. Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, harga kakao saat ini merupakan tertinggi selama ini.
Tetapi sayang di saat harga kakao membaik, produksi petani merosot.
Hanny, seorang pengumpul kakao membenarkan petani yang menjual hasil panen kurang. Selain itu, sudah paling banyak kalau satu petani menjual kakao satu karung (isi 50kg).
Produksi kakao pada musim panen kali ini sangat kurang. Banyak tanaman kakao di Sulteng, termasuk di Kabupaten Sigi terserang hama dan juga tidak berbuah.
Selain hama, kata Hanny, juga pengaruh saat tanaman kakao mulai berbunga sangat ekstrem sehingga buah kakao gugur dari batang dan rantingnya.
Dia juga mengaku harga kakao yang berlaku di pasaran saat ini merupakan tertinggi selama ini.