Jakarta (Antara News) - Akhirnya negara ini akan memiliki presiden dan wakil presiden yang baru untuk menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.
Meskipun menjelang pengumuman Komisi Pemilihan Umum terjadi hal yang mengejutkan dan menyesakkan dada setelah munculnya pernyataan kontroversial calon presiden Prabowo Subianto.
Prabowo yang merupakan letnan jenderal TNI purnawirawan menyatakan penarikan diri dari proses pemilihan presiden karena menganggap telah banyak terjadi kecurangan atau ketidakberesan secara masif atau besar-besaran dan terstruktur dalam tahapan pemilihan umum yang seharusnya berlangsung jujur dan adil.
Dalam pengumuman mengejutkan itu, Prabowo tidak didampingi calon wakil presiden Hatta Rajasa.
Mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus(Kopassus) TNI Angkatan Darat itu berusaha menyajikan berbagai data untuk memperlihatkan adanya kecurangan dalam Pilpres 2014 itu.
Akibat pengumuman mendadak itu, maka para saksi dari tim sukses Prabowo langsung meninggalkan atau melakukan" walk out" dari sidang KPU yang langsung dipimpin Ketua KPU Husni Kamil.
Setelah lahirnya keadaan yang tidak disangka-sangka itu maka kemudian muncul berbagai pernyataan baik yang bersifat mempertanyakan baik atau buruknya sikap Prabowo itu maupun yang mendukungnya.
Ketua Pengurus Besar organisasi Islam terkemuka Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf, misalnya mempertanyakan manfaat dari keputusan kontroversial itu.
"Prabowo kehilangan kesempatan untuk mengajukan keberatan secara formal. Saya tidak tahu langkah-langkah berikutnya setelah keputusan penarikan diri itu," kata Slamet Effendy Yusuf.
Sementara itu, dari Joko Widodo yang merupakan gubernur nonaktif Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta muncul pernyataan yang sebaliknya tentang tuduhan adanya kecurangan.
"Ini adalah pemilihan yang sangat terbuka karena bisa dilihat oleh para relawan dan organisasi apa pun juga," kata Joko Widodo yang bersama calon wakil presiden Mohammad Jusuf Kalla akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 untuk bertugas hingga tahun 2019.
Karena Prabowo dan Hatta Rajasa telah menyatakan penarikan diri dari Pilpres 2014 ini, maka secara otomatis mereka tidak bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga bisa dipastikan perjalanan politik Jokowi menuju Istana kepresidenan akan mulus 100 persen karena praktis tidak akan bisa muncul keberatan secara formal.
Namun akibat langkah Prabowo ini, maka bisa timbul berbagai pertanyaan.
Pertanyaan yang bias muncul antara lain misalnya adalah kalau Jokowi-Jusuf Kalla mengajak satu atau beberapa pengikut Prabowo untuk ikut duduk dalam pemerintahan selama lima tahun mendatang, maka apakah tawaran itu secara otomatis harus ditolak ataukah diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Pertanyaan seperti itu tentu sangat layak muncul karena perbedaan perolehan suara kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden itu relatif sangat tipis.
Selain itu, Jokowi dan Jusuf Kalla tentu sangat berharap pemerintahan mereka selama lima tahun mendatang tidak akan banyak atau sama sekali tidak akan diganggu oleh kelompok "lawan" mereka yakni Prabowo-Hatta Rajasa karena betapapun juga pasangan yang kalah ini memiliki banyak tokoh yang bisa menjadi penyeimbang dalam pemerintahan di masa mendatang.
Kecurangan Masif
Salah satu faktor yang mengakibatkan Prabowo mundur dari proses Pilpres ini adalah munculnya kecurangan secara besar-besaran atau masif dan terstruktur di berbagai tempat pemungutan suara alias TPS.
Ada pemilih yang bisa mencoblos beberapa kali, dan ada juga di satu tps , Prabowo-Hatta Rajasa sama sekali tidak mendapat satu suara pun. Kemudian ada tudingan keberpihakan aparat negara.
Kalau tuduhan demi tuduhan itu harus dibuktikan maka pertanyaan yang dapat muncul adalah apakah mungkin Mahkamah Konstitusi, misalnya, melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa adanya permintaan resmi dari pasangan dengan nomor satu yang telah menyatakan penarikan diri dari proses Pilpres ini.
Selain itu, karena kini Jokowi dan Jusuf Kalla sudah bisa dipastikan menjadi pemenang yang berjalan "melenggang kangkung" maka apakah pasangan ini menjadi "pemain tunggal" dalam pemerintahan lima tahun mendatang itu? Karena Prabowo sudah menarik diri maka pertanyaan berikutnya adalah apakah kelompok "oposisi" ini sama sekali tidak berhak mengajukan keberatan apa pun juga terhadap pemerintahan baru yang akan segera mulai berjalan?
Contoh yang paling mudah adalah karena pemerintahan SBY harus sudah mengajukan RPP RAPBN tahun 2015 kepada pada 16 Agustus kepada DPR yang lama sedangkan DPR yang baru sudah harus menyetujui untuk disahkannya UU.
APBN yang baru oleh Jokowi maka apakah secara otomatis kelompok "oposisi" yang dipimpin Prabowo sama sekali tidak berhak mengajukan usul, keberatan atau apa pun juga istilahnya?
Sementara itu, contoh lainnya adalah karena Indonesia pada setiap akhir tahun selalu mengikuti atau menghadiri pertemuan ekonomi Asia-Pacific Economic Cooperation alias APEC seperti kelanjutan rencana pelaksanaan pasar bebas di kawasan Asia dan Pasifik, maka apakah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bisa atau boleh menutup rapat "kuping" mereka terhadap masukan dari Prabowo dan anak buahnya?.
Belum lagi tentang "setumpuk" persoalan di dalam negeri sendiri. mulai dari bidang ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan.
Karena itu, sekalipun Prabowo dan jajarannya sudah menarik diri dari proses Pilpres 2014, tentu tidak ada salahnya jika pemerintahan yang baru itu bisa membuktikan bahwa tidak terjadi kecurangan secara masif sdan terstruktur eperti yang dituduhkan lawan politiknya.
Mungkin benar ada kecurangan atau ketidakberesan di berbagai daerah atau TPS, tapi Jokowi seharusnya bisa melawan tudingan itu dengan membuktikan bahwa sama sekali tidak ada rekayasa yang direncanakan secara nasional atau terpusat.
Kenapa pembuktian itu perlu dan harus dilakukan? Wakil presiden mendatang adalah orang yang sama sekali bukan baru dalam pemerintahan karena Jusuf Kalla sebelumnya sudah pernah menjadi wakil presiden dan juga pernah menjadi menteri koordinator kesejahteraan rakyat dan dia adalah orang yang relatif namanya relatif bersih dari tudingan pernah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN.
Sementara itu, Joko Widodo yang bisa dibilang baru pertama kalinya akan muncul dalam pemerintahan nasional juga harus bisa membuktikan bahwa dirinya memang pantas menjadi presiden walaupun hingga akhir tahun 2012 masih baru pada taraf wali kota di Solo.
Karena KPU sudah mensahkan pencalonan pasangan Jokowi-Kalla untuk mengucapkan sumpah pada 20 Oktober mendatang, maka tentu ada setumpuk harapan terhadap presiden dan wakil presiden yang anyar itu.
Selama masa kampanye lalu, rasanya bangsa ini boleh dibilang "terpecah-belah" ke dalam dua kelompok sehingga kini telah tiba saatnya untuk kembali merekatkan kembali silaturahim, persaudaraan agar kehidupan menjadi normal senormal-normalnya.
Para pemimpin di tataran nasional, provinsi, kota atau kabupaten hingga kecamatan dan desa boleh saja bersitegang leher" tapi orang awam jangan bermusuhan hanya gara-gara pemimpin idola yang menunjukkan muka masam di antara mereka.
Kehidupan jutaan orang kecil yang sudah dipusingkan oleh masalah pendapatan yang sangat minim, sulitnya mencari sekolah atau pekerjaan jangan ditambahi lagi dengan persoalan politik para pemimpin mereka.
Kurun waktu lima tahun mendatang harus diisi oleh kerja keras presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla dengan dukungan atau bantuan secara langsung atau tidak langsung dari Prabowo-Hatta Rajasa sehingga kehidupan lebih dari 100 juta rakyat benar-benar bisa tenang lagi.
Meskipun menjelang pengumuman Komisi Pemilihan Umum terjadi hal yang mengejutkan dan menyesakkan dada setelah munculnya pernyataan kontroversial calon presiden Prabowo Subianto.
Prabowo yang merupakan letnan jenderal TNI purnawirawan menyatakan penarikan diri dari proses pemilihan presiden karena menganggap telah banyak terjadi kecurangan atau ketidakberesan secara masif atau besar-besaran dan terstruktur dalam tahapan pemilihan umum yang seharusnya berlangsung jujur dan adil.
Dalam pengumuman mengejutkan itu, Prabowo tidak didampingi calon wakil presiden Hatta Rajasa.
Mantan komandan jenderal Komando Pasukan Khusus(Kopassus) TNI Angkatan Darat itu berusaha menyajikan berbagai data untuk memperlihatkan adanya kecurangan dalam Pilpres 2014 itu.
Akibat pengumuman mendadak itu, maka para saksi dari tim sukses Prabowo langsung meninggalkan atau melakukan" walk out" dari sidang KPU yang langsung dipimpin Ketua KPU Husni Kamil.
Setelah lahirnya keadaan yang tidak disangka-sangka itu maka kemudian muncul berbagai pernyataan baik yang bersifat mempertanyakan baik atau buruknya sikap Prabowo itu maupun yang mendukungnya.
Ketua Pengurus Besar organisasi Islam terkemuka Nahdlatul Ulama Slamet Effendy Yusuf, misalnya mempertanyakan manfaat dari keputusan kontroversial itu.
"Prabowo kehilangan kesempatan untuk mengajukan keberatan secara formal. Saya tidak tahu langkah-langkah berikutnya setelah keputusan penarikan diri itu," kata Slamet Effendy Yusuf.
Sementara itu, dari Joko Widodo yang merupakan gubernur nonaktif Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta muncul pernyataan yang sebaliknya tentang tuduhan adanya kecurangan.
"Ini adalah pemilihan yang sangat terbuka karena bisa dilihat oleh para relawan dan organisasi apa pun juga," kata Joko Widodo yang bersama calon wakil presiden Mohammad Jusuf Kalla akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 untuk bertugas hingga tahun 2019.
Karena Prabowo dan Hatta Rajasa telah menyatakan penarikan diri dari Pilpres 2014 ini, maka secara otomatis mereka tidak bisa mengajukan keberatannya kepada Mahkamah Konstitusi, sehingga bisa dipastikan perjalanan politik Jokowi menuju Istana kepresidenan akan mulus 100 persen karena praktis tidak akan bisa muncul keberatan secara formal.
Namun akibat langkah Prabowo ini, maka bisa timbul berbagai pertanyaan.
Pertanyaan yang bias muncul antara lain misalnya adalah kalau Jokowi-Jusuf Kalla mengajak satu atau beberapa pengikut Prabowo untuk ikut duduk dalam pemerintahan selama lima tahun mendatang, maka apakah tawaran itu secara otomatis harus ditolak ataukah diterima dengan syarat-syarat tertentu?
Pertanyaan seperti itu tentu sangat layak muncul karena perbedaan perolehan suara kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden itu relatif sangat tipis.
Selain itu, Jokowi dan Jusuf Kalla tentu sangat berharap pemerintahan mereka selama lima tahun mendatang tidak akan banyak atau sama sekali tidak akan diganggu oleh kelompok "lawan" mereka yakni Prabowo-Hatta Rajasa karena betapapun juga pasangan yang kalah ini memiliki banyak tokoh yang bisa menjadi penyeimbang dalam pemerintahan di masa mendatang.
Kecurangan Masif
Salah satu faktor yang mengakibatkan Prabowo mundur dari proses Pilpres ini adalah munculnya kecurangan secara besar-besaran atau masif dan terstruktur di berbagai tempat pemungutan suara alias TPS.
Ada pemilih yang bisa mencoblos beberapa kali, dan ada juga di satu tps , Prabowo-Hatta Rajasa sama sekali tidak mendapat satu suara pun. Kemudian ada tudingan keberpihakan aparat negara.
Kalau tuduhan demi tuduhan itu harus dibuktikan maka pertanyaan yang dapat muncul adalah apakah mungkin Mahkamah Konstitusi, misalnya, melakukan penyelidikan dan penyidikan tanpa adanya permintaan resmi dari pasangan dengan nomor satu yang telah menyatakan penarikan diri dari proses Pilpres ini.
Selain itu, karena kini Jokowi dan Jusuf Kalla sudah bisa dipastikan menjadi pemenang yang berjalan "melenggang kangkung" maka apakah pasangan ini menjadi "pemain tunggal" dalam pemerintahan lima tahun mendatang itu? Karena Prabowo sudah menarik diri maka pertanyaan berikutnya adalah apakah kelompok "oposisi" ini sama sekali tidak berhak mengajukan keberatan apa pun juga terhadap pemerintahan baru yang akan segera mulai berjalan?
Contoh yang paling mudah adalah karena pemerintahan SBY harus sudah mengajukan RPP RAPBN tahun 2015 kepada pada 16 Agustus kepada DPR yang lama sedangkan DPR yang baru sudah harus menyetujui untuk disahkannya UU.
APBN yang baru oleh Jokowi maka apakah secara otomatis kelompok "oposisi" yang dipimpin Prabowo sama sekali tidak berhak mengajukan usul, keberatan atau apa pun juga istilahnya?
Sementara itu, contoh lainnya adalah karena Indonesia pada setiap akhir tahun selalu mengikuti atau menghadiri pertemuan ekonomi Asia-Pacific Economic Cooperation alias APEC seperti kelanjutan rencana pelaksanaan pasar bebas di kawasan Asia dan Pasifik, maka apakah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla bisa atau boleh menutup rapat "kuping" mereka terhadap masukan dari Prabowo dan anak buahnya?.
Belum lagi tentang "setumpuk" persoalan di dalam negeri sendiri. mulai dari bidang ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan.
Karena itu, sekalipun Prabowo dan jajarannya sudah menarik diri dari proses Pilpres 2014, tentu tidak ada salahnya jika pemerintahan yang baru itu bisa membuktikan bahwa tidak terjadi kecurangan secara masif sdan terstruktur eperti yang dituduhkan lawan politiknya.
Mungkin benar ada kecurangan atau ketidakberesan di berbagai daerah atau TPS, tapi Jokowi seharusnya bisa melawan tudingan itu dengan membuktikan bahwa sama sekali tidak ada rekayasa yang direncanakan secara nasional atau terpusat.
Kenapa pembuktian itu perlu dan harus dilakukan? Wakil presiden mendatang adalah orang yang sama sekali bukan baru dalam pemerintahan karena Jusuf Kalla sebelumnya sudah pernah menjadi wakil presiden dan juga pernah menjadi menteri koordinator kesejahteraan rakyat dan dia adalah orang yang relatif namanya relatif bersih dari tudingan pernah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN.
Sementara itu, Joko Widodo yang bisa dibilang baru pertama kalinya akan muncul dalam pemerintahan nasional juga harus bisa membuktikan bahwa dirinya memang pantas menjadi presiden walaupun hingga akhir tahun 2012 masih baru pada taraf wali kota di Solo.
Karena KPU sudah mensahkan pencalonan pasangan Jokowi-Kalla untuk mengucapkan sumpah pada 20 Oktober mendatang, maka tentu ada setumpuk harapan terhadap presiden dan wakil presiden yang anyar itu.
Selama masa kampanye lalu, rasanya bangsa ini boleh dibilang "terpecah-belah" ke dalam dua kelompok sehingga kini telah tiba saatnya untuk kembali merekatkan kembali silaturahim, persaudaraan agar kehidupan menjadi normal senormal-normalnya.
Para pemimpin di tataran nasional, provinsi, kota atau kabupaten hingga kecamatan dan desa boleh saja bersitegang leher" tapi orang awam jangan bermusuhan hanya gara-gara pemimpin idola yang menunjukkan muka masam di antara mereka.
Kehidupan jutaan orang kecil yang sudah dipusingkan oleh masalah pendapatan yang sangat minim, sulitnya mencari sekolah atau pekerjaan jangan ditambahi lagi dengan persoalan politik para pemimpin mereka.
Kurun waktu lima tahun mendatang harus diisi oleh kerja keras presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla dengan dukungan atau bantuan secara langsung atau tidak langsung dari Prabowo-Hatta Rajasa sehingga kehidupan lebih dari 100 juta rakyat benar-benar bisa tenang lagi.