Jakarta (Antara News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tidak menyesal meski divonis seumur hidup karena menerima hadiah terkait pengurusan 10 sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK dan tindak pidana pencucian uang.
"Nggak, untuk apa nyesal?" kata Akil seusai sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin malam.
Akil dalam perkara ini divonis seumur hidup sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua majelis hakim Suwidya.
Namun putusan itu tidak mengabulkan denda sebesar Rp10 miliar miliar dan juga tidak mencabut hak politik Akil.
"Majelis hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan," tambah Akil.
Ia mencontohkan bahwa bekas supirnya Daryono di dalam sidang mengungkapkan bahwa ada uang Rp2,5 miliar yang dipindahkan sendiri oleh Daryono.
"Sampai ke Tuhan pun saya akan banding. Sampai ke surga pun saya akan banding," tegas Akil.
Mantan politisi partai Golkar tersebut bersikeras bahwa ia tidak mengambil uang negara.
"(Potong jari) itu untuk koruptor yang nyuri uang negara. Aku bukan nyuri uang negara. Uang nenek moyangmu pun bukan," jawab Akil saat ditanya mengenai pernyataannya tentang usulan untuk memotong jari bagi orang yang terbukti melakukan korupsi.
Hakim menilai Akil bersalah dalam enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas (Rp3 miliar), Lebak (Rp1 miliar), Pelembang (Rp19,9 miliar) dan Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS).
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Buton (Rp1 miliar), Morotai (Rp2,99 miliar), Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar).
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur (Rp10 miliar) dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta).
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten (Rp7,5 miliar).
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp129,86 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Artinya secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Atas vonis tersebut, JPU KPK menyatakan pikir-pikir.
"Kami pikir-pikir yang mulia," kata ketua JPU KPK Pulung Rinandoro.
"Nggak, untuk apa nyesal?" kata Akil seusai sidang pembacaan putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin malam.
Akil dalam perkara ini divonis seumur hidup sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa M Akil Mochtar dengan pidana seumur hidup," kata Ketua majelis hakim Suwidya.
Namun putusan itu tidak mengabulkan denda sebesar Rp10 miliar miliar dan juga tidak mencabut hak politik Akil.
"Majelis hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan," tambah Akil.
Ia mencontohkan bahwa bekas supirnya Daryono di dalam sidang mengungkapkan bahwa ada uang Rp2,5 miliar yang dipindahkan sendiri oleh Daryono.
"Sampai ke Tuhan pun saya akan banding. Sampai ke surga pun saya akan banding," tegas Akil.
Mantan politisi partai Golkar tersebut bersikeras bahwa ia tidak mengambil uang negara.
"(Potong jari) itu untuk koruptor yang nyuri uang negara. Aku bukan nyuri uang negara. Uang nenek moyangmu pun bukan," jawab Akil saat ditanya mengenai pernyataannya tentang usulan untuk memotong jari bagi orang yang terbukti melakukan korupsi.
Hakim menilai Akil bersalah dalam enam dakwaan yaitu pertama adalah pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah yaitu terkait penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Gunung Mas (Rp3 miliar), Lebak (Rp1 miliar), Pelembang (Rp19,9 miliar) dan Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS).
Dakwaan kedua juga berasal dari pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP yaitu penerimaan dalam pengurusan sengketa pilkada Buton (Rp1 miliar), Morotai (Rp2,99 miliar), Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar).
Dakwaan ketiga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dalam sengketa pilkada Jawa Timur (Rp10 miliar) dan kabupaten Merauke, kabupaten Asmat dan kabupaten Boven Digoel (Rp125 juta).
Dakwaan keempat juga berasal dari pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP dalam pengurusan sengketa pilkada Banten (Rp7,5 miliar).
Dakwaan kelima adalah pasal 3 UU No 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP mengenai tindak pidana pencucian uang aktif hingga Rp129,86 miliar saat menjabat sebagai hakim konstitusi periode 2010-2013.
Dakwaan keenam berasal dari pasal 3 ayat 1 huruf a dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan UU No 25 tahun 2003 jo pasal 65 ayat 1 KUHP karena diduga menyamarkan harta kekayaan hingga Rp22,21 miliar saat menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari fraksi Golkar 1999-2009 dan ketika masih menjadi hakim konstitusi di MK pada periode 2008-2010.
Artinya secara total Akil terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp152,07 miliar.
Atas vonis tersebut, JPU KPK menyatakan pikir-pikir.
"Kami pikir-pikir yang mulia," kata ketua JPU KPK Pulung Rinandoro.