Kendari (Antara News) - Bupati Bombana, Sulawesi Tenggara, Tafdil mengatakan kehadiran perusahaan tambang di daerahnya belum memberikan pengaruh signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat karena sumbangan pihak ketiga pembayaran royalti hanya mencapai rata-rat Rp20 miliar per tahun.
"Ironis memang, sumbangan pihak ketiga pembayaran royalati yang masuk ke kas Pemkab Bombana dibanding dengan jumlah perusahaan tambang yang mencapai 84 pemegang IUP melakukan eksploirasi dan eksploitasi," ujar Bupati Bombana di Kendari, Jumat.
Permyataam Bupati Bombana itu serangkaian saat menghadiri kegiatan koordinasi dan supervisi pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menghadirkan wakil ketua KPK Bambang Wijayanto sebagai nara sumber di Kota Kendari (19/6).
Menurut Tafdil, rendahnya pembayaran royalti dari seluruh perusahaan tambang di daerah itu berdasarkan volume dan nilai harga tambang (ore nikel) yang diekspor setiap tahun dilaporkan ke daerah.
"Kalau kita mau jujur, volume tambang yang diekspor bisa saja lebih besar dibanding dengan yang dilaporkan ke daerah. Sehingga tidak heran kewajiban perusahaan membayar royalti pun akan lebih kecil," ujaranya.
Sulitnya pemerintah daerah melakukan pengawasan kepada setiap perusahaan yang melakukan ekspor hasil tambang itu, karena tidak adanya wewenang pemda untuk memberi sanksi.
Ia juga mengatakan, kekurangan pembayaran royalti dan dana bagi hasil oleh perusahaan tambang, diduga karena perusahaan menggunakan harga `invoice` yang lebih kecil dibanding harga patokan ore nikel sebagai dasar penghitungan royalti.
Selain itu, ada ketidakakuratan data antara yang diolah dan yang diekspor dalam penghitungan harga patokan ore untuk kontrak penjualan yang digunakan sebagai dasar penghitungan royalti.
"Tentu kita berharap dengan kegiatan sosialisasi dan supervisi pengelolaan pertamabngan di Sultra, semua pelaku usaha pertambangan memahami hak dan kewajibannya, dan tidak ada lagi bentuk kecurangan untuk pembayaran haknya bagi daerah," ujaranya.
"Ironis memang, sumbangan pihak ketiga pembayaran royalati yang masuk ke kas Pemkab Bombana dibanding dengan jumlah perusahaan tambang yang mencapai 84 pemegang IUP melakukan eksploirasi dan eksploitasi," ujar Bupati Bombana di Kendari, Jumat.
Permyataam Bupati Bombana itu serangkaian saat menghadiri kegiatan koordinasi dan supervisi pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan menghadirkan wakil ketua KPK Bambang Wijayanto sebagai nara sumber di Kota Kendari (19/6).
Menurut Tafdil, rendahnya pembayaran royalti dari seluruh perusahaan tambang di daerah itu berdasarkan volume dan nilai harga tambang (ore nikel) yang diekspor setiap tahun dilaporkan ke daerah.
"Kalau kita mau jujur, volume tambang yang diekspor bisa saja lebih besar dibanding dengan yang dilaporkan ke daerah. Sehingga tidak heran kewajiban perusahaan membayar royalti pun akan lebih kecil," ujaranya.
Sulitnya pemerintah daerah melakukan pengawasan kepada setiap perusahaan yang melakukan ekspor hasil tambang itu, karena tidak adanya wewenang pemda untuk memberi sanksi.
Ia juga mengatakan, kekurangan pembayaran royalti dan dana bagi hasil oleh perusahaan tambang, diduga karena perusahaan menggunakan harga `invoice` yang lebih kecil dibanding harga patokan ore nikel sebagai dasar penghitungan royalti.
Selain itu, ada ketidakakuratan data antara yang diolah dan yang diekspor dalam penghitungan harga patokan ore untuk kontrak penjualan yang digunakan sebagai dasar penghitungan royalti.
"Tentu kita berharap dengan kegiatan sosialisasi dan supervisi pengelolaan pertamabngan di Sultra, semua pelaku usaha pertambangan memahami hak dan kewajibannya, dan tidak ada lagi bentuk kecurangan untuk pembayaran haknya bagi daerah," ujaranya.