Bandung,  (Antara News) - Dalam beberapa pekan terakhir ini kasus warga negara Indonesia yang bekerja di sektor informal di Arab Saudi, Satinah, menjadi berbicangan hangat di seluruh negeri karena terancam hukuman mati.

        Agar bisa lolos dari ancaman itu, dituntut membayar diat sebesar 7,5 juta riyal Saudi atau setara sekitar Rp21,5 miliar.

        Sejumlah kalangan masyarakat, baik lembaga swadaya masyarakat maupun perorangan, menggagas pengumpulan uang untuk membayar diat tersebut.

        Pemerintah sebenarnya sudah melakukan sejumlah langkah baik antarkepala negara maupun melalui utusan khusus serta perwakilan pemerintah RI di Arab Saudi.

        "Pemerintah Indonesia sudah sejak kasus itu ditangani oleh pemerintah Saudi dan diputus (oleh pengadilan, red.) untuk hukuman mati telah melaksanakan banyak kegiatan untuk melobi, baik kepada pemerintah maupun keluarga korban," katanya.

        Dijelaskan Djoko bahwa upaya banding hingga surat Presiden Yudhoyono kepada Raja Saudi sudah dilakukan dan menghasilkan pengampunan dari Raja. Namun, sesuai dengan aturan hukum di Saudi, pengampunan dari pihak keluarga merupakan kunci yang penting agar warga negara Indonesia itu lepas dari hukuman mati.

        "Raja Saudi sebenarnya telah memberikan pemaafan pada yang bersangkutan. Akan tetapi, di Saudi Arabia yang berlaku adalah pemaafan dari keluarga korban. Ini yang menjadi kendala utama, Pemerintah sudah memberi ampunan, namun (harus melalui, red.) 100 persen (pengampunan, red.) dari keluarga korban," katanya.

        Menko Polhukam mengatakan bahwa Satinah melalui pengadilan di Saudi Arabia terbukti melakukan pembunuhan dan perampokan terhadap majikannya. Meski demikian, Pemerintah terus berusaha melakukan upaya agar ia tidak menjalani hukuman mati.

        Tim yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menangani masalah hukum yang dialami warga negara Indonesia di Saudi Arabia, juga berulang kali telah menemui keluarga korban dan membicarakan masalah uang pengganti atau diat. Namun, angka yang diajukan pihak keluarga dinilai tidak masuk akal.

        "Secara tradisional, permintaan diat, sekitar harga 100 hingga 150 ekor unta kalau kita perhitungkan sekitar Rp1,5 sampai Rp2 miliar itu angka-angka secara konvensi atau adat," kata Djoko.

        Pemerintah pernah memenuhi pembayaran diat dalam kasus Sadinem. Namun, dalam proses negosiasi dalam kasus Satinah, pihak keluarga meminta Rp21,5 miliar.

        "Upaya pemerintah terus dilakukan. Jadi, terkait dengan kegiatan itu kita masih utus dari Kemlu, (juga, red.) dari Pak Maftuh yang dari awal mengurus masalah ini untuk datang kembali ke pihak keluarga untuk negosiasi karena tidak mungkin dan masuk akal meminta tebusan Rp21,5 miliar," katanya.

        Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian khusus mengenai masalah ini.

        "Tujuan kita, terbebasnya Satinah dari hukuman mati," kata Presiden dalam rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden di Jakarta Rabu (26/3) lalu.

        Kepala Negara mengatakan, "Dari aspek kemanusiaan, Pemerintah wajib berusaha mengurangi hukuman dan membebaskan WNI di luar negeri dari hukuman mati."
   "Sebanyak 176 WNI di luar negeri sudah dibebaskan dari hukuman mati dan kita akan berjuang bagi 246 WNI kita lainnya," kata Presiden.

        Rata-rata WNI yang terancam atau divonis hukuman mati melakukan kejahatan pembunuhan, perampokan, atau kejahatan penyalahgunaan narkotika.

        "Mengenai Satinah, saya akan tulis surat lagi hari ini (Rabu 26/3) untuk mengajukan perpanjangan tenggat bayar diat dan dialog dengan keluarga korban," kata Presiden.

        Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutus Maftuh Basyuni untuk menyampaikan surat bagi Raja Abdullah terkait dengan kasus Satinah yang masih menghadapi ancaman hukuman mati.

        Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional Teuku Faizasyah kepada Antara di Jakarta, Jumat sore, mengatakan bahwa Maftuh Basyuni akan didampingi oleh beberapa pejabat.

        "Beliau (Presiden, red.) mengirim utusan khusus yang membawa surat beliau untuk Raja. Dubes M. Basyuni didampingi beberapa pejabat," katanya.

        Satinah divonis hukuman mati pada tahun 2011 setelah dalam persidangan mengakui membunuh majikannya di Arab Saudi yang berusia 70 tahun dan mengambil uang 37.900 riyal dari majikannya tersebut.

        Ia semula divonis hukuman mati mutlak. Akan tetapi, setelah naik banding, hukuman turun menjadi hukuman mati Qishash, yakni hukuman yang bisa dihindari apabila membayar uang diat (pengganti) dengan jumlah yang ditentukan oleh keluarga korban.

        Sementara itu, Ketua Satgas Perlindungan TKI Maftuh Basyuni mengatakan bahwa pada awalnya pihak korban meminta uang pengganti sebesar 15 juta riyal atau setara Rp45 miliar.

        Setelah beberapa kali negosiasi, pemerintah Indonesia menyampaikan bisa membantu membayar uang pengganti tersebut sebesar 4.000.000 riyal. Hingga saat ini pemerintah Indonesia masih menunggu keputusan dari pihak keluarga korban apakah akan menerima tawaran tersebut atau tidak.

        Pemerintah, kata Menko Polhukam Djoko Suyanto, tidak menginginkan uang diat ini menjadi semacam komoditas. Pemerintah juga meminta masyarakat untuk bisa memahami persoalan mengenai Sutinah secara utuh dan proses apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah untuk meringankan hukuman Sutinah.

        Pelajaran yang dipetik dari kasus ini, bukan hanya pentingnya kecepatan dan ketepatan penanganan saat ada WNI yang terancam hukuman mati, melainkan juga bagaimana menyiapkan warga Indonesia yang hendak bekerja di luar negeri memahami aturan hukum dan menghormati hukum di negara di mana yang bersangkutan bekerja.

Pewarta : oleh Panca Hari Prabowo
Editor :
Copyright © ANTARA 2024