Kendari,  (Antara News) - Undang-undang (UU) Desa 2013, diyakini banyak pihak akan menjadi solusi bagi pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat sesuai tujuan dan cita-cita Kemerdekaan RI.

Namun tidak sedikit pula yang menilai UU Desa hanya akan memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat desa.

Masalahnya, UU Desa menempatkan para kepala desa sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA), sama seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi.

Kepala desa dengan tingkat pendidikan hanya tamat Sekolah Menegah Atas (SMA) apalagi Sekolah Menengah Pertama (SMP), diprediksi tidak akan mampu memainkan peran dan tanggung jawab sebagai KPA dengan baik.

Kalau itu terjadi, UU Desa yang memberikan otonomi desa, bukannya bisa membawa kesejahteraan bagi masyarakat, tapi bisa menjadi sumber konflik di tengah masyarakat desa.

"Pemberlakuan UU Desa, hanya akan menimbulkan masalah di tengah masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat desa," kata anggota DPRD Sulawesi Tenggara, Nursalam Lada di Kendari, pekan lalu

Masalahnya menurut Nursalam, para kepala desa yang hanya tamat SMP atau SMA, tidak akan mampu mengelola Alokasi Dana Desa (ADD) miliaran rupiah yang digelontorkan pemerintah kabupaten pada setiap tahunnya.

Dampaknya yang lebih jauh, para kepala desa akan sangat rentan bermasalah hukum yang sewaktu-waktu bisa menyeret mereka (kepala desa-red) ke dalam penjara.

"Kalau itu terjadi, UU Desa yang sejatinya dibuat untuk menyejahterakan masyarakat, hanya akan membawa masalah bagi masyarakat desa," katanya.


Kepentingan politik

Bupati Wakatobi, Hugua dalam keterangan terpisah menilai UU Desa 2013, sarat kepentingan politik anggota DPR RI yang mengesahkan UU tersebut.

"Anggota DPR RI mengesahkan UU Desa 2013 hanya untuk kepentingan politik mereka yang masih menjadi calon anggota legislatif agar bisa terpilih kembali jadi anggota DPR," katanya di Kendari pekan lalu.

Menurut Hugua, pemberlakuan UU Desa, hanya akan menimbulkan masalah di tengah masyarakat desa, terutama bagi mereka yang menjabat kepala desa dan perangkat desa.

Masalahnya, para kepala desa yang hanya tamat SMP atau SMA, tidak akan mampu mengelola ADD yang nilainya mencapai miliar rupiah.

"Bagaimana mungkin kepala desa yang hanya tamat SMP atau SMA bisa menjalankan tanggungjawabnya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA) seperti kepala dinas di lingkup instansi pemerintah kabupaten atau provinsi, kan butuh waktu lama untuk belajar mengelola ADD yang cukup besar itu," katanya.

Hal yang lebih buruk lagi dari penerapan UU Desa menurut Hugua, pemberian keleluasaan setiap desa untuk membuat peraturan desa dan memungut retribusi untuk pendapatan desa.

Peraturan desa yang akan dibuat masing-masing desa, sangat berpotensi berbenturan dengan peraturan daerah yang dibuat pemerintah kabupaten, bahkan bersinggungan dengan peraturan desa-desa bertetangga.

Kalau itu terjadi ujarnya, maka konflik sosial di tengah masyarakat desa akan sulit dihindari.

"Saya kira, UU Desa ini tidak akan berumur panjang, setelah selesai Pemilu bisa dicabut kembali," katanya.


Pelatihan kades

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI, Laode Ida, di Kendari pekan lalu, mengakui kalau UU Desa bisa berpotensi memunculkan berbagai masalah, terutama permasalahan politik dan konflik sosial terbatas di desa.

Masalahnya, proses politik perebutan jabatan kepala desa (Kades) yang dipilih langsung oleh rakyat diprediksi akan berlangsung sangat panas, sama seperti pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota.

Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut bisa mengancam harmoni sosial di tengah masyarakat perdesaan.

Namun menurut La Ode, berbagai permasalahan yang akan muncul akibat penerapan dari UU Desa tersebut bisa diatasi dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat desa, bahwa perebutan kekuasaan di desa bukanlah hal yang perlu dipertentangkan.

Putra-putri terbaik yang ada di desa, bisa berkompetisi secara sehat dalam memperebutkan jabatan kepala desa dan mengisi jabatan perangkat desa.

Pada saat yang sama, para kepala desa juga diberikan pelatihan agar kapasitas dan keterampilan mereka mengelola keuangan dan pemerintahan di desa bisa memadai.

"Dengan meningkatkan kapasitas dan pengetahuan kepala desa, terutama menyangkut keterampilan menyusun perencanaan program kegiatan dan pelaporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, kekhawatiran banyak pihak bahwa UU Desa hanya akan membawa masalah di desa, bisa dihindari," kata Laode.

Menurut Laode, pemerintah mengesahkan UU Desa, sebagai solusi bagi pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat.

Karena memang, melalui UU Desa Pemerintah Kabupaten diwajibkan memberikan dana ADD kepada setiap desa sebesar Rp812 juta hingga Rp1,4 miliar (untuk wilayah provinsi Sultra).

"Dengan dana ADD yang nilainya mencapai miliar per tahun, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan dan kreatifitas sosial ekonomi masyarakat di desa," katanya.

Melalui UU Desa, pemerintah daerah akan sangat terbantu dalam memberikan sentuhan nyata dan merata bagi masyarakat desa di seluruh wilayah karena sudah ada kepastian anggaran negara yang dialokasikan langsung di setiap desa.

"Dengan UU Desa, pemerintah daerah tinggal mengefektifkan koordinasi imperative, sehingga tata kelola pemerintah dan pembangunan bisa berjalan efektif dan tidak disorientasi," katanya.

Dengan begitu ujarnya, kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang menjadi cita-cita luhur dari proklamasi kemerdekaan bangsa, bisa segera terwujud.

Pewarta : oleh Agus
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024