Jakarta (Antara News) - Dalam gelaran Banker's Dinner akhir tahun lalu, Darmin Nasution yang menjabat Gubernur Bank Indonesia saat itu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional di kisaran 6,3 hingga 6,7 persen pada 2013.

        Ia juga memperkirakan tekanan inflasi 2013 akan tetap terkendali dalam kisaran yang ditetapkan 3,5-4,5 persen.

        Indonesia disebutnya menutup 2012 dengan fenomena berkembangnya kelompok masyarakat yang sudah memasuki taraf kehidupan yang lebih wajar atau disebut sebagai kelompok kelas menengah.

        "Kita bisa berharap, dengan pesatnya peningkatan penduduk usia produktif, maka berkembangnya kelas menengah akan terus terjadi setidaknya hingga 20 tahun ke depan," ujar Darmin.

        Di tengah kelesuan berkepanjangan di negara maju, berkembangnya kelompok kelas menengah telah memperkuat basis permintaan barang dan jasa di pasar domestik yang menopang ekspansi perekonomian. Hal itu dibuktikan sejak 2004 hingga 2012, perekonomian dapat dipertahankan terus tumbuh dengan rata-rata sekitar 6,1 sampai 6,2 persen per tahun.

        Selain ekspansi kelas menengah, menurut Darmin, daya tahan perekonomian juga didukung lingkungan makro dan sistem keuangan yang terjaga kondusif dan stabil.

        Sementara itu, dalam acara gelaran acara sejenis pada akhir tahun ini, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo yang menggantikan Darmin pada Mei 2013, menilai di tengah kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik, kuatnya tekanan global mengakibatkan neraca transaksi berjalan mengalami tekanan.

        Ketidakpastian mengenai pemulihan ekonomi global, ketidakpastian kebijakan pengurangan stimulus moneter (tapering off) bank sentral Amerika Serikat The Fed (yang akhirnya diputuskan pada Desember 2013 bahwa 'tapering off' akan dirilis pada Januari 2014), serta ketikdakpastian perkembangan harga komoditas, ditengarai menurunkan kinerja ekonomi Indonesia.

        Neraca transaksi berjalan mulai memasuki defisit sejak triwulan IV 2011 dan masih defisit hingga triwulan III 2013. Merosotnya harga komoditas sejak awal 2012 juga menekan ekspor, sehingga defisit neraca transaksi berjalan membesar.

        Tren nilai tukar rupiah yang melemah sejalan dengan pemburukan neraca pembayaran dan inflasi yang meningkat sebagai dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi juga turut berkontribusi terhadap terjadinya koreksi pada perekonomian nasional.

        "Namun kami menilai koreksi tersebut merupakan bagian dari proses 'rebalancing' untuk menemukan kembali keseimbangan ekonomi, yang lebih selaras dengan topangan fundamentalnya," kata Agus.

        Pemerintah dan Bank Indonesia kemudian menempuh berbagai kebijakan untuk mengawal proses koreksi perekonomian tersebut. Respon kebijakan difokuskan pada upaya menjaga stabilitas ekonomi sehingga proses koreksi dalam jangka pendek tetap terkendali.

        Bank Indonesia sendiri telah menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 175 basis poin atau 1,75 persen menjadi 7,5 persen selama Juni-November 2013, setelah selama 15 bulan bertahan di level 5,75 persen. BI juga  memperkuat operasi moneter dan kebijakan makroprudensial, stabilisasi nilai tukar rupiah, memperkuat kerja sama antar bank sentral dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan, dan tentunya berkoordinasi dengan pemerintah.

        Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi pada akhir Juni 2013 telah mengurangi tekanan terhadap kesinambungan fiskal, meskipun belum cukup untuk memperkuat postur neraca transaksi berjalan. Paket Kebijakan Agustus dan Paket Kebijakan Oktober 2013 juga dinilai merupakan langkah awal yang positif.

        Berbagai respon kebijakan tersebut mulai berkontribusi positif di mana sejumlah indikator menunjukkan terkendalinya proses koreksi perekonomian. Seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi, defisit neraca perdagangan triwulan III 2013 mulai menurun dan aliran modal asing juga kembali meningkat.

       Perkembangan positif pada neraca pembayaran menopang stabilnya nilai tukar rupiah sejak akhir September 2013 dan disebut menuju ekuilibrium baru dikisaran Rp11.000-Rp12.000. Pada saat bersamaan, struktur mikro pasar valas membaik di mana volume transaksi antar bank meningkat dan proses pembentukan kurs semakin sehat.

        Selain itu, inflasi yang meningkat pascakenaikan harga BBM bersubsidi juga telah menurun dan kembali ke pola historisnya. Diperkirakan inflasi akan sedikit di bawah sembilan persen pada akhir 2013.

         Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2013 sebesar 6,02 persen, lalu menurun menjadi 5,81 persen pada triwulan II 2013. Selanjutnya, pada awal November lalu Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2013 sebesar 5,62 persen.

        "Dengan terkendalinya proses koreksi perekonomian, kami perkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2013 (rata-rata) sekitar 5,7 persen," ujar Agus.

        Menurut Agus, angka tersebut memang lebih rendah bila dibandingkan dengan capaian 2012 sebesar 6,2 persen, namun masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara rekanan yang diperkirakan rata-rata hanya sekitar 3,6 persen.

    
                 Perbankan Masih Positif
   Berdasarkan survei perbankan tahun keempat yang dilakukan oleh Price Waterhouse Coopers (PwC) Indonesia, para bankir di Indonesia secara umum merasa positif dengan pertumbuhan ekonomi pada 2013 meski ada faktor-faktor ketidakpastian global. Sebanyak 87 persen responden mengantisipasi pertumbuhan yang stabil dengan inflasi pada tingkat moderat
   Survei tahun lalu menunjukkan adanya optimisme secara umum pada industri perbankan Indonesia di tengah ekspansi domestik yang stabil dan tanda-tanda pemulihan ekonomi Amerika Serikat. Namun ternyata krisis global belum berkurang pada 2012 dan ekonomi Eropa yang tertekan telah menjadi kekhawatiran utama dalam pasar global.

        "Pada survei tahun ini, sekitar 90 persen bankir mengatakan bahwa mereka dapat mencapai atau melebihi anggaran mereka pada 2012 di tengah situasi ekonomi global yang rentan dan menyulitkan," kata Chairman of PwC Indonesia Jusuf Wibisana.

         Sementara itu, 93 persen responden melihat telah ada perbaikan kondisi perekonomian di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Perkembangan yang terus berjalan atas sistem keuangan yang lebih efisien dan dapat diandalkan dilihat sebagai komponen yang utama dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

         Hasil survei PwC Indonesia tersebut juga sesuai dengan PwC Annual Global CEO Survey, di mana para CEO perusahaan-perusahaan global menyebut Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara dengan pertumbuhan tertinggi.

         Dalam publikasi PwC World in 2050 (Dunia pada 2050), diperkirakan bahwa ekonomi Indonesia dalam hal kemampuan daya beli dapat menjadi lebih besar dibandingkan Jerman, Prancis, atau Inggris pada 2050.

         Akan tetapi, di tengah prospek makro ekonomi Indonesia yang baik, penetrasi industri perbankan masih rendah. Pertumbuhan kelas menengah Indonesia dan besarnya populasi yang masih belum terjangkau oleh bank dapat menjadi pendorong pertumbuhan.

         "Pertumbuhan dan perkembangan industri perbankan yang sehat untuk memperbaiki kekuatan dan ketangguhannya secara umum adalah penting untuk mendukung pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berkesinambungan," kata Jusuf.

        Lembaga pemeringkat kredit PT ICRA Indonesia menilai kinerja sektor perbankan di Tanah Air sepanjang 2013 masih cukup baik kendati pertumbuhan kredit mulai melambat namun dengan tingkat kredit bermasalah rendah.

         "Sektor perbankan melihat kenaikan BI rate seiring dengan peningkatan inflasi dan aturan LTV (loan to value atau rasio pinjaman terhadap nilai agunan) telah memperlambat laju kredit, namun profatibilitas dan kecukupan modal tetap kuat serta kredit bermasalah terkendali," kata Assistant Vice President dan analis ICRA Kreshna D Armand.

        Kebijakan LTV yang dikeluarkan oleh BI baik untuk kredit pemilikan rumah (KPR) cukup ampuh dalam mengerem laju pertumbuhan kredit konsumsi hingga berada di bawah angka 20 persen.

        Kenaikan BI rate menyusul kenaikan inflasi juga dinilai memengaruhi suku bunga perbankan khususnya untuk pinjaman modal berjalan (human capital) dan pinjaman investasi.

        "Tingkat bunga untuk konsumsi kami tidak melihat adanya tren naik, justru agak turun, karena bank juga tidak ingin kredit ini turun terlalu drastis dan lebih memilih tidak menaikkan suku bunga," ujar Kreshna.

         Sementara itu, dari sisi dana pihak ketiga, Kreshna melihat kenaikan BI rate lebih berpengaruh terhadap suku bunga deposito jangka pendek dan dinilai kebijakan tersebut lebih sesuai untuk deposito dengan periode singkat tersebut.  
    Pada Oktober 2013, kredit perbankan tumbuh sebesar 22,2 persen, melambat dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya yang mencapai 23,1 persen. Bank Indonesia menilai perlambatan kredit tersebut sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan pengaruh kenaikan suku bunga domestik.

         Namun di tengah perlambatan penyaluran kredit tersebut, ketahanan perbankan dinilai masih terjaga. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) tetap tinggi, mencapai 18,4 persen, jauh di atas ketentuan minimum delapan persen. Sementara rasio kredit bermasalah (Non Performig Loan/NPL) pada Oktober 2013 tetap rendah, sebesar 1,91 persen.

         "Stabilitas sistem keuangan terjaga, dengan dukungan ketahanan industri perbankan yang solid," ujar juru bicara Bank Indonesia Difi A Johansyah.

        
                       Antisipasi Krisis
    Pengamat ekonomi dari Economic Think Tank (Ec-Think) Indonesia Aviliani menilai neraca transaksi berjalan yang sudah delapan kuartal mengalami defisit perlu segera diakhiri dalam empat bulan ke depan karena dapat memicu krisis ekonomi di dalam negeri.

        "Apabila 'current account deficit' tetap besar tanpa ada kebijakan jangka pendek, maka empat bulan ke depan kita akan memasuki krisis," ujar Aviliani.

        Kebijakan jangka pendek pemerintah untuk menekan defisit transaksi berjalan harus bersifat mandatory (wajib) khususnya terkait pengembangan energi terbarukan. Menurutnya, jangka waktu empat bulan ke depan masih memungkinkan bagi pemerintah untuk mengefektifkan kebijakan jangka pendek.

       Implementasi kebijakan untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi hingga 50 persen bagi mobil pribadi juga dinilai dapat menjadi solusi efektif untuk mengurangi impor BBM yang tidak membutuhkan waktu panjang.

       Hingga kini impor minyak memang masih menjadi sumber utama pemicu defisit neraca transaksi berjalan dan mengakibatkan pelemahan rupiah, oleh karena itu pemerintah harus mengutamakan penanganan kegiatan importasi tersebut untuk menumbuhkan kepercayaan investor asing kepada Indonesia.

        Aviliani juga menyinggung tentang koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam mengurangi defisit neraca transaksi berjalan yang dapat berdampak kepada stabilitas sistem keuangan di Tanah Air. Menurutnya, harmonisasi antara kedua pihak tersebut merupakan suatu keharusan.

        "Harmonisasi BI dan pemerintah itu wajib," ujar Aviliani.

        Pemerintah dan BI harus dapat menyelesaikan pekerjaan rumah masing-masing sehingga kebijakan yang dikeluarkan dapat bersinergi satu sama lain. Belakangan ini, justru BI yang "habis-habisan" melalui kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan hingga 175 basis poin dalam enam bulan terakhir.

        Direktur PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin mengatakan Indonesia akan mampu melewati dampak dari ekonomi global yang terjadi belakangan ini, dengan belajar dari pengalaman ketika berhasil mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

        "Ekonomi Indonesia rentan terhadap krisis seperti yang terjadi tahun 1998, 2005, 2008 dan kini krisis ekonomi AS dan sejumlah negara Eropa. Kita masih terus berupaya lepas dari dampaknya," ujar Budi.

        Dengan pengalaman-pengalaman tersebut pemerintah bisa dan mampu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sifatnya untuk meredam gejolak ekonomi, namun sekaligus dapat menopang pertumbuhan ekonomi.

        Budi juga berharap bahwa krisis yang terjadi belakangan ini tidak lebih buruk dibandingkan krisis yang terjadi pada tahun 2008. Budi memprediksi, dari sisi tingkat inflasi juga diharapkan tidak akan seperti yang terjadi ketika krisis 2008, di mana inflasi menyentuh angka 11 persen.

        Sama halnya dengan IHSG yang sempat terpuruk, secara perlahan kembali menguat, termasuk nilai tukar rupiah yang mulai stabil.

         "Sedangkan sektor perbankan, kami menilai masih bisa bertahan, tercermin dari kinerja keuangan yang terus membaik hampir seluruh perbankan nasional," ujar Budi.

        Sementara itu, Direktur Institute for Development of Economic and Finance Enny Sri Hartati menilai pemerintah harus mendorong sektor pertanian dan industri dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

         "Pertumbuhan ekonomi kita di kisaran enam persen, memang selalu dibanggakan tetapi pertumbuhan ini keropos atau tidak berkualitas, karena lebih banyak didorong oleh konsumsi rumah tangga," ujar Enny.

        Sebagian besar produk konsumsi di Indonesia diimpor dari luar negeri sehingga kenaikan inflasi lebih banyak didorong oleh komponen volatile foods yang memberikan pengaruh terhadap kenaikan berbagai harga barang. Pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak tumbuh di sektor non-tradable.

        Enny berharap pemerintah dapat lebih fokus memanfaatkan potensi pendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri yang persentasenya sekitar 70 persen sehingga imbas krisis ekonomi global tidak akan mampu untuk masuk ke dalam sistem perekonomian nasional.

        Ia mengatakan, Indonesia tidak akan pernah mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri jika upaya pemenuhannya selalu diputuskan melalui impor barang konsumsi.

         "Sekarang yang harus dilakukan adalah mendorong kegiatan produksi di sektor pertanian dan industri," kata Enny.

Pewarta : Oleh Citro Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024