Jakarta (Antara News) - Wakil Presiden ke-10 periode 2004-2009 Jusuf Kalla menekankan bahwa tujuan berbangsa dari masyarakat Indonesia adalah berkeadilan makmur, karena salah satu indikator dari keadilan adalah kemakmuran yang merata.

        "Tujuan berbangsa ini memang berkeadilan yang makmur. Kalau keadilan itu dicapai dalam berbagai tingkat maka akan lebih mudah melaksanakan Pancasila," ujar Kalla dalam seminar Pekan Politik Kebangsaan di Jakarta, Selasa.

        Kalla menilai bahwa dengan menerapkan keadilan yang makmur maka akan lebih mudah untuk bermufakat dan bermusyawarah. "Keadilan sosial ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga mencakup politik, sosial, dan hukum. Artinya, sudah tertera dalam UUD," kata Kalla.

        Kalla menjelaskan bahwa keadilan dapat membuat bangsa Indonesia menjadi lebih damai. Dia kemudian memaparkan bahwa selama 68 tahun Indonesia merdeka sudah ada 15 konflik besar yang sepuluh diantaranya disulut karena ketidakadilan. "Sebut saja Permesta, DITII, GAM, kasus Ambon-Poso. Itu bukti bahwa ketidakadilan bisa menimbulkan konflik," ujar Kalla.

        Oleh sebab itu dia menekankan bahwa akan menjadi lebih mudah untuk membangun negeri Indonesia melalui keadilan yang merata.

        Selain itu, kebijakan dan pelaksanaan dari keadilan yang dilakukan oleh pemerintah juga menjadi penting seperti membangun infrastruktur berupa jalan kecil di desa-desa, kredit usaha rakyat, serta membangun UKM. "Masih ada 'gap' yang jauh antara masyarakat mampu dan tidak mampu. Ini bentuk ketidakadilan," kata Kalla.

        Selain itu Kalla menambahkan bahwa keadilan hukum dan keadilan politik juga harus dilaksanakan. Keadilan hukum terkait dengan keadilan, di mana masyarakat harus mendapatkan keadilan hukum dan berhak untuk diperlakukan sama. Sementara keadilan politik indikatornya adalah demokrasi melalui Pemilu. Keadilan politik yang baik berasal dari Pemilu yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia.


                                     Wibawa Rendah

        Pada seminar 'Pekan Politik Kebangsaan' itu, pembicara Presiden ke-5 Republik Indonesia periode 2001-2004, Megawati Soekarnoputri menyatakan bahwa berbagai persoalan di Indonesia membuat wibawa bangsa Indonesia kini menjadi semakin rendah.

        "Masyarakat ini kemudian merasa galau, sehingga wibawa Indonesia menjadi rendah," ujar Megawati

        Megawati menilai bahwa kegalauan yang dialami oleh masyarakat Indonesia salah satunya diakibatkan pemimpin kurang mampu memberikan solusi untuk permasalahan negeri ini.

        Mengutip perkataan Hasyim Muzadi, Megawati mengibaratkan Indonesia menyerupai bengkel yang oleh para pemimpin segala masalahnya dibongkar, namun tidak ada solusi untuk memperbaiki. "Menjadi presiden itu mudah, tapi menjadi pemimpin itu sulit," kata Megawati.

        Dia kemudian menjelaskan pemimpin negara haruslah seorang negarawan, karena dia adalah orang yang terpilih untuk memimpin negara, sementara itu Megawati menilai bahwa seseorang bisa menjadi presiden dengan berbagai cara. "Kita harus cari 'the right man on the right place'," tegas dia.

        Megawati kemudian menambahkan bahwa seorang pemimpin juga harus kokoh, apalagi bila orang tersebut akan memimpin bangsa yang besar seperti Indonesia.

        Sementara itu, Wakil Presiden Indonesia ke-6 periode 1993-1998, Try Sutrisno, meminta Komisi Pemililhan Umum (KPU) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan kaji ulang terhadap Undang-Undang Pemilu.

        "Kalau menjalankan pemilu dengan kondisi ini tanpa ada kaji ulang, bisa dipastikan kita tidak bisa melihat persatuan dan kesatuan bangsa," ujar Try pada seminar 'Pekan Politik Kebangsaan' di Jakarta, Selasa.

        Try menjelaskan pemilu sebelumnya bertentangan dengan semangat Pancasila, sehingga aturan-aturan yang ada di dalamnya harus dikaji ulang supaya Pemilu 2014 dapat berjalan dengan baik.

        Purnawirawan TNI Angkatan Darat ini mengemukakan bahwa Pemilu dapat berjalan dengan baik tentu dengan dukungan sistem dan aturan yang tepat, sehingga menghasilkan aparatur negara yang baik sesuai dengan cita-cita bangsa. "Pemilu yang lebih baik harus dinaungi oleh aturan yang lebih baik. Ini tidak akan terjadi, bila aturannya tidak dikaji ulang," ujarnya.

        Oleh sebab itu Try mengimbau agar aturan pemilu yang dia anggap keliru tersebut tidak lagi digunakan dalam pemilu mendatang. "Ya karena aturan sebelumnya hanya memberikan celah untuk demokrasi yang prosedural, sementara yang harus kita junjung adalah demokrasi substantif," tukas Try.

        Try kemudian menjelaskan bahwa dalam Pemilu sebelumnya masih ditemukan motif-motif manipulatif dan politik transaksional, sehingga esensi demokrasi yang membuat masyarakat berdaulat menjadi tercoreng.

Pewarta : Oleh Maria Rosari
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024