Jakarta (Antara News) - Partai-partai politik peserta Pemilu 2014 dan fraksi-fraksi di DPR RI hangat membicarakan besaran ambang batas minimal bagi partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

          Ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI.

          Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

          Dalam UU itu menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan dengan tujuan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang memperoleh dukungan kuat dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

          Di samping itu, pengaturan terhadap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam UU ini juga dimaksudkan untuk menegaskan sistem presidensiil yang kuat dan efektif. Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, tetapi dalam rangka mewujudkan efektivitas pemerintahan juga diperlukan basis dukungan dari DPR.

          Undang-Undang itu mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika, dan moral serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik.

          Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam UU itu diatur beberapa substansi penting yang signifikan, antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum.

          Selain para menteri, UU itu juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

          Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau wali kota/wakil wali kota perlu meminta izin kepada presiden pada saat dicalonkan menjadi presiden atau wakil presiden.

          Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu. Untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing parpol.

          Proses pencalonan presiden dan wakil presiden dilakukan melalui kesepakatan tertulis partai politik atau gabungan partai politik dalam pengusulan pasangan calon yang memiliki nuansa terwujudnya koalisi permanen guna mendukung terciptanya efektivitas pemerintahan.

          Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 sudah diterapkan untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2009. Hasilnya, dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, hanya Partai Demokrat yang meraih lebih dari 20 persen dari 560 jumlah kursi di DPR RI. Partai Demokrat meraih 150 kursi atau 20,85 persen dari 560 kursi.

          Sementara partai lainnya yang meraih kursi di DPR RI adalah Partai Golkar meraih 107 kursi atau 14,45 persen dari 560 kursi. PDI Perjuangan 95 kursi atau 14,03 persen, PKS 57 kursi atau 7,88 persen, PAN 43 kursi atau 6,01 persen, PPP 37 kursi atau 5,32 persen, PKB 27 kursi atau 4,94 persen,  Gerindra 26 kursi atau 4,46 persen, dan Partai Hanura mendapat 18 kursi atau 3,77 persen dari 560 kursi yang ada di DPR RI, sedangkan 35 partai politik lainnya gagal meraih satu kursi pun di DPR.

          Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 terdapat tiga pasang calon presiden dan wakil presiden. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono didukung oleh Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, dan PPP serta 19 partai politik lain yang tidak memperoleh kursi di DPR; Megawati Soekarnoputri dan Prabowo diusung oleh PDI Perjuangan dan Gerindra serta lima partai politik lain yang tidak memperoleh kursi di DPR; serta pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto dijagokan oleh Partai Golkar, Hanura, dan sejumlah partai politik lain yang tidak memperoleh kursi di DPR.

                                                                                                                                    Revisi
     Berkaca pada pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 itu, muncul wacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, terutama Pasal 9, yang menyebutkan tentang besaran ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

          Setidaknya, tiga fraksi di DPR RI, yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi PPPP, dan Fraksi Hanura, mengusulkan agar UU itu direvisi dengan mengubah besaran ambang batas pencalonan presiden, kurang dari 20 persen sehingga bisa memberikan kesempatan lebih besar bagi partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden.

         Lima fraksi lainnya, yakni Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PAN, dan Fraksi PKB, menilai UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu direvisi, termasuk Pasal 9. Sementara itu, Fraksi PKS mengusulkan revisi UU Pilpres tetapi bisa menerima "presidential threshold" 20 persen.

          Badan Legislasi DPR menggelar rapat pleno di Gedung MPR/DPR/DPD di Senayan, Jakarta, pada hari Selasa (9/7), dan rapat pleno itu memutuskan menunda kembali pembahasan usulan revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden hingga ke masa persidangan berikutnya.

          "Karena masih ada perbedaan pandangan di antara fraksi-fraksi di DPR soal usulan revisi terhadap UU Pilpres, pembahasannya ditunda hingga ke masa persidangan berikutnya," kata Ketua Badan Legislasi DPR RI Ignatius Mulyono.  
     Menurut Mulyono, usulan revisi UU Pilres akan diendapkan sementara untuk memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi mempertimbangkan pandangannya dan akan dilakukan musyawarah untuk mencapai pandangan yang sama terhadap usulan revisi UU Pilpres.

          "Usulan revisi UU Pilpres ini akan kita putuskan pada bulan Oktober mendatang. Saat ini, kita endapkan dahulu untuk sementara," katanya.

          Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengingatkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak mensyaratkan dukungan minimal bagi partai politik untuk mencalonkan seseorang menjadi calon presiden dan wakil presiden.

          "Pasal 6A UUD 1945 sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara. Maka, UU Pilpres seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di konstitusi terkait dengan pemilihan presiden," kata Wakil Ketua Umum DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin mengenai wacana revisi UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

          Lukman Hakim Saifuddin yang juga Wakil Ketua MPR mengingatkan bahwa Pasal 6A UUD 1945 menegaskan selama partai politik itu sah sebagai peserta pemilu maka berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

          Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, sedangkan pada Ayat (2) disebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.  
    Lukman Hakim menyatakan bahwa pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) itu inkonstitusional. "Berapa pun angka persentasenya tak sejalan dengan hakikat Pasal 6A UUD yang menegaskan bahwa selama parpol itu sah sebagai peserta pemilu maka dia berhak mengusulkan capres/cawapres," katanya.

          UUD 1945 sama sekali tak mensyaratkan adanya dukungan minimal berupa perolehan kursi atau suara dan oleh karena itu maka UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden seharusnya mampu menangkap jiwa dari norma yang ada di UUD 1945. Argumen yang menyatakan bahwa penurunan atau penghilangan ambang batas pencalonan presiden itu bisa mengusik posisi Presiden di DPR adalah cara pikir parlementer.

          "Kalau itu masalahnya, kenapa tidak sekalian saja ambang batasnya 50 persen lebih, itu baru benar-benar aman. Akan tetapi, apakah kita mau kembali menerapkan calon tunggal, kembali ke masa kebulatan tekad era Orde Baru seperti dahulu," katanya mempertanyakan.

          Penetapan syarat minimal perolehan kursi/suara bagi parpol yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden itu, tidak hanya memasung hak parpol, tetapi juga hak sejumlah calon presiden lain, dan masyarakat umum yang menghendaki adanya alternatif atau opsi calon presiden yang beragam, katanya.

          Ketua Komisi III DPR I Gede Pasek Suardika dari Partai Demokrat berkomentar ringan bahwa kalau ada partai politik yang merasa tidak mampu mengikuti ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), aturan dalam UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden itu tidak perlu diganti. "Tidak 'urgent' untuk direvisi," kata I Gede Pasek Suardika.

          Aturan tersebut dibuat untuk dipatuhi oleh seluruh partai politik. Seharusnya keinginan yang mengikuti sistem, bukan aturan yang mengikuti keinginan.

          Badan Legislasi DPR menjadwalkan pada masa sidang selanjutnya, pertengahan Agustus mendatang, dibahas kembali mengenai usulan revisi atas UU Nomor 42 Tahun 2008 itu.

          Usulan revisi UU Nomor 42 Tahun 2008 diendapkan sementara untuk memberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi mempertimbangkan pandangannya dan akan dilakukan musyawarah untuk mencapai pandangan yang sama terhadap usulan tersebut untuk diambil keputusan pada bulan Oktober mendatang.

Pewarta : Oleh Budi Setiawanto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024