Kendari, (Antara News) - Batik tenun khas Sulawesi Tenggara seperti kain khas Tolaki, Buton, Muna dan Bomban, hingga kini masih terabaikan di negeri sendiri.
Masyarakat setempat sebagai pemilik hasil karya dari warisan leluhur itu, belum memanfaatkannya sebagai bahan pakaian yang digunakan sehari-hari.
"Kami tidak paham mengapa penggunaan batik khas daerah ini, belum membudaya di kalangan masyarakatnya. Masyarakat, baru memakai batik khas daerah, ketika menggelar pesta adat," kata Kepala Dinas Perindustian dan Perdagangan Provinsi Sultra, H Saemu Alwi di Kendari baru-baru ini.
Padahal ujarnya, Pemerintah Provinsi Sultra sendiri sudah berupaya membudayakan penggunaan pakaian batik khas daerah melalui instruksi gubernur yang mewajibkan pegawai di lingkungan instansi pemerintah memakai batik daerah satu kali dalam lima hari kerja.
Namun tetap saja instruksi gubernur tersebut belum mampu mendorong minat masyarakat untuk memakai batik khas daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Justru kata Saemu, batik khas Sultra seperti khas Tolaki, Buton dan Muna saat ini telah menjadi primadona bagi setiap tamu dan wisatawan yang berkunjung ke daerah itu.
Pada setiap kesempatan berkunjung di daerah ini tuturnya, para tamu atau wisatawan mancanegara selalu membeli kain batik khas daerah sebagai cendera mata ketika kembali ke daerah asal atau negaranya.
"Batik khas daerah yang banyak diburu tamu atau wisatawan, adalah ragam hias mua, batik tenun khas Tolaki. Motif ini biasanya berwarna jingga muda, kelabu, biru laut, kuning susu, hijau lumut, dan merah samar," kata Saimu yang dibetulkan Kabid Industri kecil dan Menengah Disperindag Sultra, Safoan.
Selain itu ujarnya, bahan yang digunakan dalam membatik ragam hias mua, juga benang emas yang dibentuk dengan motif garis halus dan kesan bunga kecil.
"Di dalam tatanan masyarakat Tolaki, motif dalam batik tenun daerah mengandung mitos yang menjadi lambang corak budaya masyarakat setempat," katanya.
Kalah bersaing
Sementara itu, anggota DPRD Sultra, Nursalam Lada, menilai kurangnya minat masyarakat memakai pakaian batik khas daerah dalam kehidupan sehari hari akibat, kain ternun tradisional tersebut kalah bersaing dengan produk-produk kain dari industri maupun bahan impor.
Selain itu kata dia, budaya masyarakat Sultra khususnya dan Indonesia pada umumnya, yang lebih suka dan bangga menggunakan produk-produk asing dari pada memakai hasil karya sendiri.
"Pakaian khas daerah yang dimiliki setiap daerah di Indonesia, sama nasibnya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Sebagian besar kalangan masyarakat lebih suka dan bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia yang menjadi warisan dari leluhurnya," katanya.
Nursalam sangat mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi Sultra yang telah membudayakan pemakaian batik khas daerah di lingkungan instansi pemerintah sekali dalam lima hari kerja.
Namun seyogyanya upaya tersebut diikuti dengan tindakan nyata Pemerintah Provinsi, mendorong para perajin batik khas daerah untuk menciptakan corak dan motif kain yang menarik selera konsumen.
"Kalau corak dan motif kain batik tenun khas daerah dibuat lebih menarik, masyarakat akan gemar memakai pakaian khas daerah," katanya.
Lanjut Saemu Alwi, Kadis Perindag Sultra, mengatakan prospek batik khas Sultra ke depan terus mengalami kemajuan yang cukup berkembang.
"Pada setiap ada even nasional yang diselenggarakan di daerah ini, kami meminta para perajin agar memproduksi kain batik khas daerah lebih banyak, untuk dijual kepada tamu-tamu yang menjadi peserta dari kegiatan nasional tersebut," katanya.
Menurut dia, membeli kain khas daerah di kalangan para tamu pusat maupun tamu mancanegara, sudah mentradisi saat akan kembali ke daerahnya masing-masing.
Hal itu terlihat dari omzet penjualan kain khas daerah saat ada kegiatan nasional yang meningkat berkali-kali lipat.
"Setiap tamu, baik daerah lain maupun wisatawan mancanegara, selalu mengunjungi tempat penjualan kain khas daerah Sultra, membeli kain tersebut sebagai cendera atau ole-ole ketika kembali ke daerah asal," katanya.
Berharga tinggi
Kain batik tenun tradisional khas Sultra, seperti kain batik tenun khas Tolaki, Buton dan Muna, berharga tinggi, namun belum digeluti sebagai usaha yang menjanjikan masa depan.
Masalahnya, dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) atau alat tenun tradisional, seorang perajin hanya bisa menyelesaikan kain tenun ukuran panjang empat meter dan lebar satu meter, maksimal tiga lembar dalam sebulan.
Salah seorang penenun batik khas Sultra, Wa Marwia (26), yang ditemui di Kendari baru-baru ini, mengatakan satu helai kain batik tenun khas Sultra dijual seharga Rp320 ribu hingga Rp350 ribu.
"Tinggi rendahnya harga setiap helai kain batik tenun khas Sultra tergantung dari kualitas bahan dan coraknya. Makin bagus kualitas bahan dan unik coraknya, makin tinggi pula harganya," katanya.
Wa Marwia mengaku kerajinan kain tenun khas Sultra, belum bisa dijadikan sebagai sumber utama pendapatan keluarga karena dalam menghasilkan satu lembar kain, perajin membutuhkan waktu rata-rata 10 hari.
"Dengan harga jual antara Rp320 ribu sampai Rp350 ribu per helai kain, seorang perajin hanya bisa memperoleh pendapatan antara Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per bulan," katanya.
Jelas ujarnya, pendapatan dari hasil menenun kain sebesar itu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
"Makanya, rata-rata perajin mengerjakan kerajinan menenun kain ini, hanya sebagai sambilan, belum ditekuni sebagai profesi yang bisa menjadi penopang pendapatan keluarga," katanya.
Sementara itu, salah seorang petugas di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sultra, Samsiah, mengatakan kain tenun khas Sultra lebih banyak diminati warga dari luar yang berkunjung di daerah ini.
"Pada setiap kegiatan nasional seperti Pesparawi, kain tenun khas Sultra banyak diminati pembeli dari berbagai daerah di Indonesia. Katanya mereka membeli untuk oleh-oleh atau kenang-kenangan dari Sultra," katanya.
Di hari-hari biasa kata dia, pembeli kain batik tenun khas Sultra masih belum ramai.
"Dalam sehari terkadang banyak pembeli tapi kadang-kadang juga sepi, tidak ada pembeli sama sekali," katanya.
Masyarakat setempat sebagai pemilik hasil karya dari warisan leluhur itu, belum memanfaatkannya sebagai bahan pakaian yang digunakan sehari-hari.
"Kami tidak paham mengapa penggunaan batik khas daerah ini, belum membudaya di kalangan masyarakatnya. Masyarakat, baru memakai batik khas daerah, ketika menggelar pesta adat," kata Kepala Dinas Perindustian dan Perdagangan Provinsi Sultra, H Saemu Alwi di Kendari baru-baru ini.
Padahal ujarnya, Pemerintah Provinsi Sultra sendiri sudah berupaya membudayakan penggunaan pakaian batik khas daerah melalui instruksi gubernur yang mewajibkan pegawai di lingkungan instansi pemerintah memakai batik daerah satu kali dalam lima hari kerja.
Namun tetap saja instruksi gubernur tersebut belum mampu mendorong minat masyarakat untuk memakai batik khas daerah dalam kehidupan sehari-hari.
Justru kata Saemu, batik khas Sultra seperti khas Tolaki, Buton dan Muna saat ini telah menjadi primadona bagi setiap tamu dan wisatawan yang berkunjung ke daerah itu.
Pada setiap kesempatan berkunjung di daerah ini tuturnya, para tamu atau wisatawan mancanegara selalu membeli kain batik khas daerah sebagai cendera mata ketika kembali ke daerah asal atau negaranya.
"Batik khas daerah yang banyak diburu tamu atau wisatawan, adalah ragam hias mua, batik tenun khas Tolaki. Motif ini biasanya berwarna jingga muda, kelabu, biru laut, kuning susu, hijau lumut, dan merah samar," kata Saimu yang dibetulkan Kabid Industri kecil dan Menengah Disperindag Sultra, Safoan.
Selain itu ujarnya, bahan yang digunakan dalam membatik ragam hias mua, juga benang emas yang dibentuk dengan motif garis halus dan kesan bunga kecil.
"Di dalam tatanan masyarakat Tolaki, motif dalam batik tenun daerah mengandung mitos yang menjadi lambang corak budaya masyarakat setempat," katanya.
Kalah bersaing
Sementara itu, anggota DPRD Sultra, Nursalam Lada, menilai kurangnya minat masyarakat memakai pakaian batik khas daerah dalam kehidupan sehari hari akibat, kain ternun tradisional tersebut kalah bersaing dengan produk-produk kain dari industri maupun bahan impor.
Selain itu kata dia, budaya masyarakat Sultra khususnya dan Indonesia pada umumnya, yang lebih suka dan bangga menggunakan produk-produk asing dari pada memakai hasil karya sendiri.
"Pakaian khas daerah yang dimiliki setiap daerah di Indonesia, sama nasibnya dengan penggunaan bahasa Indonesia. Sebagian besar kalangan masyarakat lebih suka dan bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia yang menjadi warisan dari leluhurnya," katanya.
Nursalam sangat mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi Sultra yang telah membudayakan pemakaian batik khas daerah di lingkungan instansi pemerintah sekali dalam lima hari kerja.
Namun seyogyanya upaya tersebut diikuti dengan tindakan nyata Pemerintah Provinsi, mendorong para perajin batik khas daerah untuk menciptakan corak dan motif kain yang menarik selera konsumen.
"Kalau corak dan motif kain batik tenun khas daerah dibuat lebih menarik, masyarakat akan gemar memakai pakaian khas daerah," katanya.
Lanjut Saemu Alwi, Kadis Perindag Sultra, mengatakan prospek batik khas Sultra ke depan terus mengalami kemajuan yang cukup berkembang.
"Pada setiap ada even nasional yang diselenggarakan di daerah ini, kami meminta para perajin agar memproduksi kain batik khas daerah lebih banyak, untuk dijual kepada tamu-tamu yang menjadi peserta dari kegiatan nasional tersebut," katanya.
Menurut dia, membeli kain khas daerah di kalangan para tamu pusat maupun tamu mancanegara, sudah mentradisi saat akan kembali ke daerahnya masing-masing.
Hal itu terlihat dari omzet penjualan kain khas daerah saat ada kegiatan nasional yang meningkat berkali-kali lipat.
"Setiap tamu, baik daerah lain maupun wisatawan mancanegara, selalu mengunjungi tempat penjualan kain khas daerah Sultra, membeli kain tersebut sebagai cendera atau ole-ole ketika kembali ke daerah asal," katanya.
Berharga tinggi
Kain batik tenun tradisional khas Sultra, seperti kain batik tenun khas Tolaki, Buton dan Muna, berharga tinggi, namun belum digeluti sebagai usaha yang menjanjikan masa depan.
Masalahnya, dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) atau alat tenun tradisional, seorang perajin hanya bisa menyelesaikan kain tenun ukuran panjang empat meter dan lebar satu meter, maksimal tiga lembar dalam sebulan.
Salah seorang penenun batik khas Sultra, Wa Marwia (26), yang ditemui di Kendari baru-baru ini, mengatakan satu helai kain batik tenun khas Sultra dijual seharga Rp320 ribu hingga Rp350 ribu.
"Tinggi rendahnya harga setiap helai kain batik tenun khas Sultra tergantung dari kualitas bahan dan coraknya. Makin bagus kualitas bahan dan unik coraknya, makin tinggi pula harganya," katanya.
Wa Marwia mengaku kerajinan kain tenun khas Sultra, belum bisa dijadikan sebagai sumber utama pendapatan keluarga karena dalam menghasilkan satu lembar kain, perajin membutuhkan waktu rata-rata 10 hari.
"Dengan harga jual antara Rp320 ribu sampai Rp350 ribu per helai kain, seorang perajin hanya bisa memperoleh pendapatan antara Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per bulan," katanya.
Jelas ujarnya, pendapatan dari hasil menenun kain sebesar itu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
"Makanya, rata-rata perajin mengerjakan kerajinan menenun kain ini, hanya sebagai sambilan, belum ditekuni sebagai profesi yang bisa menjadi penopang pendapatan keluarga," katanya.
Sementara itu, salah seorang petugas di Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sultra, Samsiah, mengatakan kain tenun khas Sultra lebih banyak diminati warga dari luar yang berkunjung di daerah ini.
"Pada setiap kegiatan nasional seperti Pesparawi, kain tenun khas Sultra banyak diminati pembeli dari berbagai daerah di Indonesia. Katanya mereka membeli untuk oleh-oleh atau kenang-kenangan dari Sultra," katanya.
Di hari-hari biasa kata dia, pembeli kain batik tenun khas Sultra masih belum ramai.
"Dalam sehari terkadang banyak pembeli tapi kadang-kadang juga sepi, tidak ada pembeli sama sekali," katanya.