Kendari (Antara News) - Kalangan DPRD Sulawesi Tenggara prihatin kerusakan hutan tanaman industri (HTI) jenis jati yang mencapai 80 persen dari luas areal tanaman 13.000 hektare di Kabupaten Konawe Selatan.
"Pada prinsipnya hutan tanaman industri jati yang dibiayai negara untuk kemakmuran rakyat tetapi pengelolaannya harus sesuai mekanisme perundang-undangan," kata anggota DPRD Sultra Sabruddin Labamba di Kendari, Kamis.
Sabarudin mengimbau pemerintah Kabupaten Konawe Selatan bersama instansi teknis dapat memfasilitasi pemanfaatan kayu jati yang ditanam melalui program rehabilitasi hutan kritis sekitar 30 tahun lalu itu.
"Kiat pemerintah menanam jati lokal yang bernilai ekonomi tinggi adalah penghijauan kembali lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya," katanya.
Namun kalau hutan itu dijarah, maka hanya akan dinikmati segelintir orang atau pemilik modal serta oknum aparat yang berpraktik sebagai beking. sementara rakyat di sekitar kawasan hanya diperalat, kata Sabaruddin.
Secara terpisah Bupati Konawe Selatan Imran mengatakan ujung tombak pencurian jati tanaman milik pemerintah adalah rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
"Diduga kuat aksi pencurian jati yang bernilai ekonomi dari kawasan hutan tanam industri terus berjalan karena dibekingi pemilik modal dan oknum aparat," ujar Imran.
Bupati Konawe Selatan prihatin menyeret warga yang tertangkap saat operasi penertiban pembalakkan liar karena mereka hanya menerima upah pikul Rp20.000 per batang dari pemilik modal.
Dari kegiatan operasi penertiban pekan lalu yang dipimpin Bupati Konawe Selatan berhasil disita 1.600 kubik kayu jati gelondongan, satu unit sepeda motor dan satu unit gergaji rantai.
"Yang merepotkan saya (bupati Konawe Selatan-red) berhadapan dengan rakyat miskin. Mau dipenjarakan kasihan karena mereka hanya mendapat upah untuk menyambung hidup," kata Imran.
Tanaman jati bernilai ekonomi dengan usia tanam sekitar 30 tahun tersebar pada lima titik di Konawe Selatan yakni Amasara (Kecamatan Baito), Eewa (Kecamatan Palangga), Anduna (Kecamatan Laeya), Puupi (Kecamatan Kolono) dan Molinese.
"Pada prinsipnya hutan tanaman industri jati yang dibiayai negara untuk kemakmuran rakyat tetapi pengelolaannya harus sesuai mekanisme perundang-undangan," kata anggota DPRD Sultra Sabruddin Labamba di Kendari, Kamis.
Sabarudin mengimbau pemerintah Kabupaten Konawe Selatan bersama instansi teknis dapat memfasilitasi pemanfaatan kayu jati yang ditanam melalui program rehabilitasi hutan kritis sekitar 30 tahun lalu itu.
"Kiat pemerintah menanam jati lokal yang bernilai ekonomi tinggi adalah penghijauan kembali lahan kritis dan meningkatkan kesejahteraan warga sekitarnya," katanya.
Namun kalau hutan itu dijarah, maka hanya akan dinikmati segelintir orang atau pemilik modal serta oknum aparat yang berpraktik sebagai beking. sementara rakyat di sekitar kawasan hanya diperalat, kata Sabaruddin.
Secara terpisah Bupati Konawe Selatan Imran mengatakan ujung tombak pencurian jati tanaman milik pemerintah adalah rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
"Diduga kuat aksi pencurian jati yang bernilai ekonomi dari kawasan hutan tanam industri terus berjalan karena dibekingi pemilik modal dan oknum aparat," ujar Imran.
Bupati Konawe Selatan prihatin menyeret warga yang tertangkap saat operasi penertiban pembalakkan liar karena mereka hanya menerima upah pikul Rp20.000 per batang dari pemilik modal.
Dari kegiatan operasi penertiban pekan lalu yang dipimpin Bupati Konawe Selatan berhasil disita 1.600 kubik kayu jati gelondongan, satu unit sepeda motor dan satu unit gergaji rantai.
"Yang merepotkan saya (bupati Konawe Selatan-red) berhadapan dengan rakyat miskin. Mau dipenjarakan kasihan karena mereka hanya mendapat upah untuk menyambung hidup," kata Imran.
Tanaman jati bernilai ekonomi dengan usia tanam sekitar 30 tahun tersebar pada lima titik di Konawe Selatan yakni Amasara (Kecamatan Baito), Eewa (Kecamatan Palangga), Anduna (Kecamatan Laeya), Puupi (Kecamatan Kolono) dan Molinese.