Jakarta (Antara News) - Istilah "Good cop bad cop" sudah tidak asing bagi masyarakat di luar negeri, tapi mereka tetap membutuhkan polisi dalam melawan kejahatan, demikian Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati.

         Apa arti istilah itu dengan kondisi di Indonesia sendiri, maksudnya tidak lain sudah tidak mengherankan di negara yang katanya memiliki iklim demokrasi terhebat di dunia itu juga mengenal adanya "polisi baik, polisi tidak baik" tapi masyarakat masih menjalin kerjasama dengan aparat penegak hukum.

        Mereka tidak sungkan-sungkan menelepon polisi jika ada tindak kejahatan.

         Bagaimana dengan Indonesia?, sepertinya masyarakat tidak mempercayai institusi hukum hingga melakukan tindakan main hakim sendiri, demikian pula dengan pihak kepolisian bekerja sendirian dalam penegakan hukum.

        Padahal jika keduanya bekerjasama maka pemberantasan premanisme pun akan berjalan baik.

         Akibatnya masyarakat lebih mempercayakan kepada preman dalam penjagaan tanah berperkara.

         Terlebih lagi saat ini, pihak kepolisian sedang gencar-gencarnya melakukan aksi penangkapan preman yang "mungkin" dampak dari peristiwa penembakan terhadap empat tahanan di Lapas Cebongan, Yogyakarta oleh anggota Kopassus.

         "Diperlukan hubungan kerjasama antara polisi dan masyarakat," katanya.

         Pasalnya peranan masyarakat sangat besar untuk membantu kepolisian karena mereka bisa memberikan informasi apa saja mengenai adanya tindak kejahatan atau tindakan yang telah mengganggu ketertiban umum.

         Ia menambahkan paling utama saat ini adalah bagaimana kinerja kepolisian diperbaiki sebelum melangkah ke masyarakat.

        "Artinya polisi harus menjadi polisi bagi dirinya sendiri," katanya.

         Hal tersebut, kata dia, tidak terlepas dari adanya aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum sendiri hingga menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat sendiri.

         "Akibatnya apa?, masyarakat melakukan main hakim sendiri," katanya.

         Ia juga menyoroti dengan kinerja para elit di tanah air saat ini yang memanfaatkan mementum penanganan premanisme itu sebagai ajang politis untuk kepentingan Pemilu 2014 mendatang.

         Kendati demikian, dirinya tetap memberikan apresiasi terhadap kinerja kepolisian yang memberantas tindakan premanisme di tanah air.

         "Saya tetap memberikan apresiasi atas kinerja kepolisian dalam memberantas premanisme," katanya.

         Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengkritisi kinerja kepolisian dalam operasi penangkapan preman saat ini dan dianggap hanya hangat-hangat "tahi ayam" saja.

         "Sebenarnya operasi preman itu sudah sejak lama dilakukan polisi, dan sifatnya hangat-hangat tahi ayam," katanya.

         Bahkan ia mengatakan operasi penangkapan preman itu paling lama hanya dilakukan selama tiga minggu saja. "Setelah itu berhenti dan para preman beraksi kembali," katanya.

         Karena itu, ia menilai operasi preman yang dilakukan saat ini oleh pihak kepolisian, tidak akan ampuh untuk menekan angka kriminalitas. "Paling hanya menekannya untuk sementara saja," katanya.

         Pasalnya para preman sudah menguasai kawasan-kawasan strategis di berbagai kota besar dan kebedaraannya di"backingi" oleh oknum polisi sendiri.

         "Keberadaan preman tersebut umumnya dibackingi oleh oknum-oknum polisi yang mencari keuntungan pribadi di balik aksi premanisme tersebut," katanya.

        
          Jangan reaksional
    Pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito menyatakan upaya masyarakat dan aparat penegak hukum dalam memberantas premanisme jangan hanya terkesan sebagai sikap reaksional semata, tetapi harus dilakukan secara konsisten.

         "Premanisme sudah terjadi sejak zaman kerajaan dulu hingga sekarang, dan jika hanya 'diperangi' dengan sebatas sikap reaksional, maka tidak akan pernah memutus mata rantainya," katanya di Yogyakarta, Minggu.

         Menurut Arie, pemberantasan perilaku premanisme memerlukan penegakan hukum secara sistemik, dan berkesinambungan, serta konsistensi aparat penegak hukum yang didukung peran serta masyarakat.

         "Jadi, jangan sampai isu premanisme hanya mencuat dibicarakan saat peristiwa Hugo's Cafe hingga Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan yang terjadi di Yogyakarta, karena sebetulnya perilaku premanisme masih banyak terjadi di sekitar kita, bahkan bukan hanya di level jalanan," katanya.    
    Perilaku premanisme juga tidak tepat jika hanya diidentikkan dengan jalanan, karena juga terjadi di level atas, bahkan pemerintahan.

         "Pungutan terhadap calon pegawai negeri sipil (CPNS), pungutan dalam pembuatan sertifikat, serta pengutan liar lainnya juga termasuk premanisme, yang sebetulnya levelnya lebih tinggi," katanya.

         Mantan Kapolda Metro Jaya Komjen Polisi (Purn) Noegroho Djajoesman mengatakan pemberantasan preman yang kini kerap didengungkan aparat keamanan dalam pelaksanaannya harus benar-benar terukur.

         "Istilah preman ini sebenarnya tidak ada di dalam Undang-Undang Pidana, hanya semacam 'trademark' yang diberikan oleh masyarakat," katanya.

         Orang bertato, berambut gondrong, dan kumal tak serta merta bisa disebut preman, katanya.

         "Tato dan rambut gondrong ini sudah jadi seni, kebiasaan. Tapi yang jelas, perilaku dan perbuatan melanggar hukum itulah yang harus ditindak. Baik itu di lapisan bawah maupun menengah atas yang juga kita sebut dengan istilah preman berdasi," kata Noegroho.

         Dia menyarankan polisi harus hati-hati dalam mengambil langkah-langkah pemberantasan ini. Setiap hari polisi bisa menangkap ratusan bahkan ribuan orang yang diduga preman.

         "Tapi berapa orang sih yang bisa diajukan ke pengadilan. Kita jangan bersikap reaktif tapi harus konsepsional dan terukur sesuai aturan dan UU yang berlaku," kata Noegroho.

          Noegroho juga mengingatkan masyarakat agar tak menggunakan hukum rimba. Untuk itu, pemerintah termasuk polisi, harus mensosialisasikan UU dan aturan yang boleh dan tidak boleh kepada rakyat.

          "Daripada kita saling tunjuk menunjuk kesalahan, lebih baik kita berbuat untuk kepentingan rakyat," kata Noegroho.

Pewarta : Oleh Riza Fahriza
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024