Banda Aceh (Antara News) - Sebanyak 124 warga Myanmar pada Selasa (26/2) sekitar pukul 21.30 WIB terdampar di pantai Desa Cot Trueng, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.
Along (23) salah seorang pengungsi asal Myanmar, Rabu dini hari, mengatakan bahwa mereka berangkat dari negaranya pada tanggal 19 Februari 2013 dengan menggunakan kapal nelayan berukuran sekitar 10x4 meter.
"Kami pergi dari Myanmar untuk menyelamatkan diri, kami ingin hidup tenang," kata Along.
Ia mengatakan, saat berangkat dari negaranya, mereka berjumlah 132 orang. Namun, dalam perjalanan delapan di antaranya meninggal dunia.
Saat baru tiba di daratan, sebanyak 124 warga Myanmar yang terdiri atas dua anak-anak dan enam wanita itu ditempatkan pada sebuah bangunan di tepi pantai.
Selanjutnya, dipindahkan ke Masjid Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara Batu, dengan pengawasan petugas keamanan dan imigrasi.
Seluruh warga Myanmar itu telah mendapatkan bantuan tanggap darurat, seperti makanan, pakaian, dan pengobatan dari tim kesehatan Pelabuhan Kreung Geukuh.
Warga Rohingya, Myanmar menyatakan ingin menetap di Aceh, karena mereka sudah tidak aman lagi tinggal di negaranya.
Syamsul Alam, salah seorang pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Rabu mengatakan, sejak meninggalkan negaranya, maka tujuan utamanya adalah Aceh, karena masyarakat di sini mau menerima mereka.
Syamsul yang bisa berbahasa Melayu itu mengatakan, banyak yang menyarankan, bila ingin lari dari kejaran rezim Pemerintah Myanmar, maka agar lari ke Aceh saja.
Dikatakan, informasi tentang Aceh dikenal di kalangan warga Rohingya sebagai daerah yang mayoritas warganya muslim dan dikenal suka membantu dan menolong.
"Kami banyak bertemu orang dan mengatakan bahwa pergilah ke Aceh. Kami tidak ada keinginan pergi ke negara lain, cukup di sini saja tempat tujuan kami hidup," ujarnya dengan logat Melayu yang terbatas.
Samsul menyatakan, mereka terdampar di laut selama satu bulan dua hari. Selama terapung-apung di laut bekal makanan yang dimiliki sangat menipis dan tidak mencukupi. Bahkan, untuk makan harus diselingi secara dua hari sekali agar dapat bertahan hidup.
Disebutkan, awalnya rombongan mereka sebanyak 133 orang. Namun, ada yang meninggal dunia 12 orang, karena kelaparan.
Yang meninggal dunia banyak dari anak-anak. Jasad yang telah meninggal diceburkan ke laut.
Dikatakan, sebelum meninggalkan negaranya, mereka menuju Thailand dan melanjutkan perjalanan lagi menuju laut lepas hingga terdampar di perairan Aceh.
Sementara itu, Kasi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Lhokseumawe Albert Djulius mengatakan, pihaknya akan mendata terlebih dahulu para pengungsi tersebut.
Untuk sementara, kaum muslim Rohingya tersebut saat ini ditempatkan di Kantor Imigrasi Lhokseumawe di Punteut. Di antara jumlah pengungsi tersebut, sebanyak 14 orang masih anak-anak, enam wanita dan selebihnya usia remaja dan dewasa. (Ant).
Along (23) salah seorang pengungsi asal Myanmar, Rabu dini hari, mengatakan bahwa mereka berangkat dari negaranya pada tanggal 19 Februari 2013 dengan menggunakan kapal nelayan berukuran sekitar 10x4 meter.
"Kami pergi dari Myanmar untuk menyelamatkan diri, kami ingin hidup tenang," kata Along.
Ia mengatakan, saat berangkat dari negaranya, mereka berjumlah 132 orang. Namun, dalam perjalanan delapan di antaranya meninggal dunia.
Saat baru tiba di daratan, sebanyak 124 warga Myanmar yang terdiri atas dua anak-anak dan enam wanita itu ditempatkan pada sebuah bangunan di tepi pantai.
Selanjutnya, dipindahkan ke Masjid Desa Cot Trueng, Kecamatan Muara Batu, dengan pengawasan petugas keamanan dan imigrasi.
Seluruh warga Myanmar itu telah mendapatkan bantuan tanggap darurat, seperti makanan, pakaian, dan pengobatan dari tim kesehatan Pelabuhan Kreung Geukuh.
Warga Rohingya, Myanmar menyatakan ingin menetap di Aceh, karena mereka sudah tidak aman lagi tinggal di negaranya.
Syamsul Alam, salah seorang pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Rabu mengatakan, sejak meninggalkan negaranya, maka tujuan utamanya adalah Aceh, karena masyarakat di sini mau menerima mereka.
Syamsul yang bisa berbahasa Melayu itu mengatakan, banyak yang menyarankan, bila ingin lari dari kejaran rezim Pemerintah Myanmar, maka agar lari ke Aceh saja.
Dikatakan, informasi tentang Aceh dikenal di kalangan warga Rohingya sebagai daerah yang mayoritas warganya muslim dan dikenal suka membantu dan menolong.
"Kami banyak bertemu orang dan mengatakan bahwa pergilah ke Aceh. Kami tidak ada keinginan pergi ke negara lain, cukup di sini saja tempat tujuan kami hidup," ujarnya dengan logat Melayu yang terbatas.
Samsul menyatakan, mereka terdampar di laut selama satu bulan dua hari. Selama terapung-apung di laut bekal makanan yang dimiliki sangat menipis dan tidak mencukupi. Bahkan, untuk makan harus diselingi secara dua hari sekali agar dapat bertahan hidup.
Disebutkan, awalnya rombongan mereka sebanyak 133 orang. Namun, ada yang meninggal dunia 12 orang, karena kelaparan.
Yang meninggal dunia banyak dari anak-anak. Jasad yang telah meninggal diceburkan ke laut.
Dikatakan, sebelum meninggalkan negaranya, mereka menuju Thailand dan melanjutkan perjalanan lagi menuju laut lepas hingga terdampar di perairan Aceh.
Sementara itu, Kasi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Lhokseumawe Albert Djulius mengatakan, pihaknya akan mendata terlebih dahulu para pengungsi tersebut.
Untuk sementara, kaum muslim Rohingya tersebut saat ini ditempatkan di Kantor Imigrasi Lhokseumawe di Punteut. Di antara jumlah pengungsi tersebut, sebanyak 14 orang masih anak-anak, enam wanita dan selebihnya usia remaja dan dewasa. (Ant).