"Indonesia itu benar-benar kaya, karena itu Indonesia juga bisa mempengaruhi tren di negara lain, seperti halnya Korean Style," ucap Prof Soon Ku Kim dari Departement of Design Dongseo University (DSU) Korea.

Ya, itulah komentar dari Prof Kim yang mengajar tentang fashion design di Universitas Ciputra (UC) Surabaya sejak tahun ajaran 2012 dan guru besar perempuan itu pun sudah mengunjungi Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Lombok.

Ia mencontohkan batik. "Saya sempat kaget melihat pakaian itu dimana-mana, ternyata itulah batik," tuturnya tentang warisan dunia tak berbenda yang diakui Unesco sejak 2 Oktober 2010 itu.

Pandangan Prof Kim itu dibenarkan pakar batik dari Surabaya, Lintu Tulistyantoro. Ia menegaskan bahwa Batik Indonesia sebenarnya sudah mendunia hingga ke Eropa, Amerika, Afrika, dan bahkan Asia.

"Misalnya, batik dari Banyuwangi yang setiap bulannya ada 3.000 potong diekspor ke Brasil," katanya kepada ANTARA di sela-sela persiapan pameran batik di Galeri Seni 'House of Sampoerna' Surabaya (26/9).

Namun, kata Ketua Komunitas Batik Jawa Timur di Surabaya (KiBaS) itu, pemerintah belum memanfaatkan momentum itu untuk menjadikan batik sebagai "trend" global.

"Pemerintah sebenarnya bisa menjadikan batik sebagai 'trend' global, tapi ada dua upaya yang harus dilakukan secara serentak dan berkesinambungan," katanya.

Menurut dosen Desain Interior Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya itu, upaya yang dimaksud adalah pemerintah harus melakukan "roadshow" batik yang melibatkan desainer Indonesia berskala internasional ke seluruh dunia.

"Upaya lain yang juga penting, desainer Indonesia yang diajak roadshow ke seluruh dunia itu harus melakukan penyesuaian selera negara tertentu terhadap batik yang tentu berbeda motif," katanya.

Ia mencontohkan Jerman (Eropa) yang lebih suka warna "blue", Jepang yang lebih suka warna alami (warna pucat), Amerika Serikat yang lebih suka motif klasik, atau Amerika Selatan yang lebih suka warna mencolok (merah/hitam).

"Kedua upaya itu harus didukung dengan dokumentasi yang memadai, baik narasi maupun foto, lalu pemerintah membukukan motif batik dari seluruh dunia untuk dipromosikan di berbagai forum atau pameran internasional, baik forum para pejabat maupun anak-anak muda," katanya.

Tentu, pemerintah juga harus menyiapkan produksi batik nasional secara masif, sehingga ekspor batik yang selama ini sudah berlangsung ke Brasil (Amerika Selatan), beberapa negara Asia (Jepang) dan Afrika, akan terus berkembang.

Sebagai penulis buku tentang batik dari seantero Jatim, Lintu mengaku batik itu bukan sekadar pakaian, karena ada filosofi di balik batik, seperti Batik Gringsing dan Kawung di Jawa Timur.

"Ada misteri di balik motif batik, karena itu KiBaS yang didukung HoS dan Jamu Iboe memamerkan 30 kain batik bermotif Kawung dan Gringsing di Galeri Seni HoS Surabaya pada 28 September-4 November 2012," papar Lintu.

Ada misteri di balik batik?. "Kita mengangkat Gringsing dan Kawung, karena motif itulah yang tergolong kuno dan tersebar di Tuban, Trenggalek, Sidoarjo, Madura, Banyuwangi," tukasnya.

    
                                            Filosofi Batik
Bagi Lintu, misteri batik itu antara lain terlihat pada Batik Gringsing itu lebih bersifat ritual, sedangkan Batik Kawung lebih menggambarkan status pemakainya.

"Misalnya, Gringsing Paled di Tuban yang diyakini mampu menyembuhkan sakit, atau Gringsing Moto Iwak di Tuban yang diyakini mampu mendatang ikan bila diletakkan di kapal nelayan," timpalnya.

Didampingi Manajer Museum HoS Rani Anggraini, ia mengatakan Batik Kawung menunjukkan status sosial pemakainya, apakah ningkrat, pejabat, tokoh masyarakat, atau masyarakat awam.

"Intinya, batik itu merujuk pada keseimbangan kehidupan, apakah manusia dengan alam atau antarmanusia itu sendiri," kilahnya.

Oleh karena itu, ia berharap melalui pengenalan filosofi di balik batik akan mengedukasi masyarakat, sehingga kepedulian masyarakat terhadap batik khas Jawa Timur akan lebih meningkat.

Dalam pameran yang didominasi Batik Gringsing itu antara lain dipamerkan Batik Gringsing Gedok (Tuban), Kawung Rambut dan Kawung Beton (Sidoarjo), Gringsing Klusu (Trenggalek), Kawung Banyuwangi, dan Gringsing Wer Ower (Tuban).

Selain itu, Gringsing Ter Oter (Madura), Sesse Bulu Mata Tanjungbumi (Bangkalan), Sesse Pamekasan, Kerang-kerangan Sabut Tanjungbumi (Bangkalan), Cacah Gori (Tuban), Sisik (Sidoarjo).

Tidak hanya pameran, acaranya juga dimeriahkan dengan pelatihan batik (6/10), diskusi pewarna herbal untuk batik (13/10), diskusi misteri Batik Gringsing (20/10), dan Trip to Batik Center di Tanjungbumi, Bangkalan, Madura (27/10).

Sentra batik Tanungbumi itu terletak 50 kilometer sebelah utara kota Bangkalan dan dapat ditempuh dengan mobil pribadi selama 45-60 menit. Namun, jika Anda menggunakan angkutan umum, dari kota Bangkalan ke Tanjung Bumi cukup merogoh kocek Rp8.000 hingga Rp10.000 sudah tiba di perkampungan batik Tanjung Bumi.

Agaknya, misteri batik menjadi lengkap dengan kehadiran Sanggar Batik "Rumpoko Mulyo" Gresik, yang dipimpin Anang Samsu Arifin, yang menyemarakkan pameran Batik Gringsing dan Kawung itu.

Ia mengenalkan batik kuno yang menggunakan warna alam. "Pewarnaan alam tertua adalah Indigo (biru) dan Kesumba (merah) yang dikenalkan Belanda kepada masyarakat Indonesia," tukas Anang.

Kedua pewarna alam itu merupakan pewarna tua yang dimanfaatkan untuk batik, tentunya pewarna alam itu perlu diikat melalui fiksasi agar tidak luntur.

"Cara fiksasi adalah warna yang ada dikunci dengan tawas, air kapur, atau batu ijo (E2SO4)," paparnya.

Ia mencontohkan tanaman untuk pewarna alam pada batik antara lain kesumba, trenguli, ulin, jalawe, nilai, kembang teleng, bawang merah, mahoni, jambe/pinang, gambir, jambu biji, pulutan, kepel, srigading, mangga, andong, alpukat, dan sebagainya.

Ya, misteri di balik batik yang menjadi tradisi berbusana dan dipadu dengan warna alam agaknya menegaskan Batik Indonesia bukan sekadar busana yang asal dipakai, namun ada filosofi di dalamnya.

Pewarta : Oleh Edy M. Yakub
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024