Kupang (ANTARA News) - Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur Ramilee Siahaan mengaku pihaknya kesulitan dalam membongkar mafia imigran gelap yang sering tertangkap di wilayah perairan NTT ketika hendak menyeberang ke Australia secara ilegal.
"Mereka bekerja sangat rapi dan terorganisir sehingga sulit dideteksi oleh aparat," katanya di Kupang, Selasa, ketika ditanya soal sulitnya jajaran imigrasi membongkar sindikat mafia imigran gelap yang hingga kini masih terus terjadi.
Menurut dia, aktor intelektual dibalik mafia imigran gelap ini bermarkas di Jakarta dengan sistem kerja "jaring terputus" sehingga sulit dideteksi keberadaannya.
"Mereka bekerja sangat rapi dan hanya melakukan komunikasi melalui jaringan telepon untuk seluruh agen yang berada di daerah, termasuk di Kota Kupang dan Kabupaten Rote Ndao yang pintu masuk utama menuju Australia," ujarnya.
Ia menjelaskan di Kota Kupang dan Rote anggota dari jaringan sindikat imigran gelap ini menyewa perahu nelayan untuk mengangkut imigran ilegal ke gugusan Pulau Pasir di wilayah perairan Australia.
Pemilik perahu atau nelayan tergiur dengan harga tinggi lalu menjual perahu atau menyewakan perahu kepada imigran gelap untuk melanjutkan perjalanan ke Australia.
Belum lama ini 23 dari 55 imigran gelap yang dideportasi dari Kabupaten Rote Ndao, Jumat (9/12) kabur dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang, Sabtu (10/12) dan aparat keamanan baru menangkap 13 orang, sementara yang lainnya masih dalam pencarian petugas.
Sebanyak 55 imigran gelap asal Timur Tengah yang tertangkap saat berlayar dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) hendak berangkat ke Australia, namun kapal yang mereka tumpangi kandas di pesisir pantai di Desa Satimore, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Jumat (9/12).
Menurut Siahaan kaburnya 23 imigran gelap itu ketika pihak imigrasi sedang melakukan berita acara pemeriksaan (BAP) dan waktu pergantian petugas berlangsung.
"Saat BAP 23 imigran kabur saat pergantian petugas jaga, kita langsung cari dan berhasil menangkap 13 orang dan sisanya sepuluh orang masih dalam pencarian petugas," ujarnya.
Ia menambahkan pihaknya sudah bekerja sama dengan pihak keamanan untuk terus mencari sepuluh imigran gelap tersebut dana kepada masyarakat yang menemukan imigran ilegal itu supaya menginformasikan kepada pihak imigrasi atau polisi terdekat.
Lebih lanjut Siahaan menjelaskan penanganan nahkoda dan anak buah kapal (ABK) perahu pengangkut imigran ditangani penyidik Polda NTT.
Perahu pengangkut imigran gelap itu dinahkodai oleh Amin Bere warga Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, NTT sedangkan dua ABK yakni Hamka (29) dan Husein (54) berasal dari Bima, NTB. Sedangkan pemilik perahu adalah Haji Nasrulah juga asal Bima, NTB. (Ant)
"Mereka bekerja sangat rapi dan terorganisir sehingga sulit dideteksi oleh aparat," katanya di Kupang, Selasa, ketika ditanya soal sulitnya jajaran imigrasi membongkar sindikat mafia imigran gelap yang hingga kini masih terus terjadi.
Menurut dia, aktor intelektual dibalik mafia imigran gelap ini bermarkas di Jakarta dengan sistem kerja "jaring terputus" sehingga sulit dideteksi keberadaannya.
"Mereka bekerja sangat rapi dan hanya melakukan komunikasi melalui jaringan telepon untuk seluruh agen yang berada di daerah, termasuk di Kota Kupang dan Kabupaten Rote Ndao yang pintu masuk utama menuju Australia," ujarnya.
Ia menjelaskan di Kota Kupang dan Rote anggota dari jaringan sindikat imigran gelap ini menyewa perahu nelayan untuk mengangkut imigran ilegal ke gugusan Pulau Pasir di wilayah perairan Australia.
Pemilik perahu atau nelayan tergiur dengan harga tinggi lalu menjual perahu atau menyewakan perahu kepada imigran gelap untuk melanjutkan perjalanan ke Australia.
Belum lama ini 23 dari 55 imigran gelap yang dideportasi dari Kabupaten Rote Ndao, Jumat (9/12) kabur dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kupang, Sabtu (10/12) dan aparat keamanan baru menangkap 13 orang, sementara yang lainnya masih dalam pencarian petugas.
Sebanyak 55 imigran gelap asal Timur Tengah yang tertangkap saat berlayar dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) hendak berangkat ke Australia, namun kapal yang mereka tumpangi kandas di pesisir pantai di Desa Satimore, Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, Jumat (9/12).
Menurut Siahaan kaburnya 23 imigran gelap itu ketika pihak imigrasi sedang melakukan berita acara pemeriksaan (BAP) dan waktu pergantian petugas berlangsung.
"Saat BAP 23 imigran kabur saat pergantian petugas jaga, kita langsung cari dan berhasil menangkap 13 orang dan sisanya sepuluh orang masih dalam pencarian petugas," ujarnya.
Ia menambahkan pihaknya sudah bekerja sama dengan pihak keamanan untuk terus mencari sepuluh imigran gelap tersebut dana kepada masyarakat yang menemukan imigran ilegal itu supaya menginformasikan kepada pihak imigrasi atau polisi terdekat.
Lebih lanjut Siahaan menjelaskan penanganan nahkoda dan anak buah kapal (ABK) perahu pengangkut imigran ditangani penyidik Polda NTT.
Perahu pengangkut imigran gelap itu dinahkodai oleh Amin Bere warga Kecamatan Rote Timur, Kabupaten Rote Ndao, NTT sedangkan dua ABK yakni Hamka (29) dan Husein (54) berasal dari Bima, NTB. Sedangkan pemilik perahu adalah Haji Nasrulah juga asal Bima, NTB. (Ant)