Rumbia (ANTARA News) - Tokoh adat masyarakat Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), Abdul Majid Ege (65), menyerukan seluruh warga Pulau Kabaena untuk menolak kehadiran perusahaan tambang di pulau tersebut, karena hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi warga.
"Saya menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di Pulau Kabaena maupun di luar Kabaena, agar menolak masuknya perusahaan tambang di daerah ini," katanya di Rumbia, Rabu.
Menurut Majid Ege yang juga Ketua Lembaga Adat Moronene (LAM) Kabaena itu, kehadiran puluhan perusahaan tambang di pulau Kabaena, telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sosial.
Di tengah masyarakat sendiri kata dia telah terjadi kecemburuan sosial karena sejumlah perusahaan tidak adil terhadap seluruh warga Pulau Kabaena.
"Dalam hal perekrutan tenaga kerja di perusahaan, warga lokal hanya dijadikan buruh kasar, sedang warga pendatang diberi tempat yang terhormat," katanya.
Selain itu kata dia, aktivitas pengerukan sumber daya alam berupa nikel, telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran di mana-mana.
Akibatnya lanjut dia, sejumlah sumber mata air di sekitar kawasan pesisir pantai sudah tertutup oleh lumpur tanah yang meluber dari kawasan penambangan nikel.
Bahkan ujarnya lahan usaha yang menjadi sumber pencaharian pokok masyarakat, seperti area budidaya rumput laut, lahan perkebunan dan tanaman enau sebagai bahan baku membuat gula aren, penyadap, saat ini sudah rusak tercemar limbah perusahaan.
"Melihat berbagai kenyataan itu, saya sebagai Ketua Lembaga Adat Moronene menyerukan kepada seluruh warga Kabaena, agar menyatakan sikap menolak kehadiran tambang nikel di Kabaena," katanya.
Menurut dia, masyarakat Kabaena sangat menjunjung tinggi tri falsafah masyarakat, `wita wutonto` yang berarti tanah adalah bagian dari tubuh kita, `wita toraanto` artinya tanah sebagai sumber kehidupan kita dan `wita petamoanto` atau tanah adalah tempat dimana kita akan dimakamkan.
"Salah satu unsur penciptaan manusia adalah dari tanah, dan kita hidup juga bersumber dari tanah, sehingga wajib bagi masyarakat Kabaena mempertahankan tanah Kabaena hingga titik darah penghabisan dari ulah perusahaan tambang," katanya.
Menjual lahan ke perusahaan tambang kata Majid Ege, merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi tiga falsafah masyarakat Kabaena, sebab hal tersebut secara tidak langsung telah menjual sumber kehidupannya.
"Yang harus diingat, bukan kita saat ini, melainkan anak cucuk yang akan terus berkembang dan memanfaatkan lahan sebgai sumber kehidupannya kelak," katanya.
Enam kecamatan di Pulau Kabaena, kata Majid Ege, sebagian besar masyarakatnya telah menjual lahannya kepada pihak perusahaan tambang, seperti di Kecamatan Kabaena Timur yang dikelola oleh PT Billy Indonesia, di Kabaena Barat yang dikelola PT Timah Eksplomin, di Kabaena Utara yang akan dikelola oleh PT Supreme Alam Resourches, di Kecamatan Kabaena yang akan dikelola PT Trias Jaya Agung dan puluhan perusahaan lannya.
"Mereka yang telah menjual lahannya itu, hanya mengejar kepentingan sesaat, sebab hasil nilai penjualan yang diberikan dari perusahaan tambang, seketika juga akan habis, sementara anak cucuk yang akan berkembang kelak, akan kesulitan mendapatkan lahan," katanya. (Ant).
"Saya menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat, baik yang berdomisili di Pulau Kabaena maupun di luar Kabaena, agar menolak masuknya perusahaan tambang di daerah ini," katanya di Rumbia, Rabu.
Menurut Majid Ege yang juga Ketua Lembaga Adat Moronene (LAM) Kabaena itu, kehadiran puluhan perusahaan tambang di pulau Kabaena, telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sosial.
Di tengah masyarakat sendiri kata dia telah terjadi kecemburuan sosial karena sejumlah perusahaan tidak adil terhadap seluruh warga Pulau Kabaena.
"Dalam hal perekrutan tenaga kerja di perusahaan, warga lokal hanya dijadikan buruh kasar, sedang warga pendatang diberi tempat yang terhormat," katanya.
Selain itu kata dia, aktivitas pengerukan sumber daya alam berupa nikel, telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan pencemaran di mana-mana.
Akibatnya lanjut dia, sejumlah sumber mata air di sekitar kawasan pesisir pantai sudah tertutup oleh lumpur tanah yang meluber dari kawasan penambangan nikel.
Bahkan ujarnya lahan usaha yang menjadi sumber pencaharian pokok masyarakat, seperti area budidaya rumput laut, lahan perkebunan dan tanaman enau sebagai bahan baku membuat gula aren, penyadap, saat ini sudah rusak tercemar limbah perusahaan.
"Melihat berbagai kenyataan itu, saya sebagai Ketua Lembaga Adat Moronene menyerukan kepada seluruh warga Kabaena, agar menyatakan sikap menolak kehadiran tambang nikel di Kabaena," katanya.
Menurut dia, masyarakat Kabaena sangat menjunjung tinggi tri falsafah masyarakat, `wita wutonto` yang berarti tanah adalah bagian dari tubuh kita, `wita toraanto` artinya tanah sebagai sumber kehidupan kita dan `wita petamoanto` atau tanah adalah tempat dimana kita akan dimakamkan.
"Salah satu unsur penciptaan manusia adalah dari tanah, dan kita hidup juga bersumber dari tanah, sehingga wajib bagi masyarakat Kabaena mempertahankan tanah Kabaena hingga titik darah penghabisan dari ulah perusahaan tambang," katanya.
Menjual lahan ke perusahaan tambang kata Majid Ege, merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi tiga falsafah masyarakat Kabaena, sebab hal tersebut secara tidak langsung telah menjual sumber kehidupannya.
"Yang harus diingat, bukan kita saat ini, melainkan anak cucuk yang akan terus berkembang dan memanfaatkan lahan sebgai sumber kehidupannya kelak," katanya.
Enam kecamatan di Pulau Kabaena, kata Majid Ege, sebagian besar masyarakatnya telah menjual lahannya kepada pihak perusahaan tambang, seperti di Kecamatan Kabaena Timur yang dikelola oleh PT Billy Indonesia, di Kabaena Barat yang dikelola PT Timah Eksplomin, di Kabaena Utara yang akan dikelola oleh PT Supreme Alam Resourches, di Kecamatan Kabaena yang akan dikelola PT Trias Jaya Agung dan puluhan perusahaan lannya.
"Mereka yang telah menjual lahannya itu, hanya mengejar kepentingan sesaat, sebab hasil nilai penjualan yang diberikan dari perusahaan tambang, seketika juga akan habis, sementara anak cucuk yang akan berkembang kelak, akan kesulitan mendapatkan lahan," katanya. (Ant).