Kupang,   (ANTARA News) - Sebanyak 281 perusahaan pemilik modal asing dan modal dalam negeri menanamkan investasi di Nusa Tenggara Timur (NTT) setelah surat permohonan penanaman modal dan izin prinsip mendapat persetujuan untuk melakukan kegiatan usaha sejak 1969-2010.

"Dari total perusahaan tersebut, sebanyak 151 perusahaan bergerak pada Penanaman Modal Asing (PMA) dan 130 lainnya merupakan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)," kata Sekretaris Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKMPD) Nusa Tenggara Timur, Gabriel Ndawa, SE,MM, di Kupang, Rabu.

Gabriel Ndawa mengatakan hal tersebut di sela-sela pelaksanaan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Perencanaan dan Kebijakan Penanaman Modal yang diikuti utusan dari Provinsi Maluku, Papua dan NTT.

Ia mengatakan total modal yang diinvestasikan untuk PMA mencapai 600 juta Dollar AS dan PMDN mencapai Rp18,6 triliun.

"Hingga akhir 2010 dari total perusahaan itu termasuk rencana total dana yang diinvestasikan, realisasinya baru 107 perusahaan atau hanya sekitar 38 persen dari total perusahaan yang memegang surat persetujuan penamaman modal dan surat izin prinsip," ujar Gabriel Ndawa.

Jadi dari 107 perusahaan itu, 19 perusahaan di antaranya merupakan PMA dan sisanya 88 perusahaan dengan realisasi investasi untuk PMA sebesar 50,5 juta Dollar AS atau sebesar 8,4 persen dan PMDN sebesar Rp1,1 triliun atau mencapai 5,5 persen.

"Perusahaan-perusahaan dengan total dana yang diinvestasikan itu, tersebar pada 21 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur, sehingga perlu mendapat dukungan dari seluruh masyarakat di wilayah ini agar investor senantiasa merasa aman dan nyaman di daeerah ini," harap Gabriel Ndawa.

Dia mengakui, masih ada sejumlah kendala yang menyelimuti investor yang akan dan telah menanamkan modal di daerah ini, termasuk di NTT seperti masalah kepastian hukum, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung, akses infrastruktur dari dan ke lokasi, masalah perizinan serta ketersediaan sumber daya manusia belum sepenuhnya memenuhi harapan investor.

Masalah kepastian hukum yang cenderung menonjol adalah kepastian hak atas tanah bagi investor yang telah memegang surat persetujuan penanaman modal dan persetujuan prinsip dari daerah yang ditujui itu.

"Sering terjadi di lapangan ada saling klaim antarwarga masyarakat yang mangaku memiliki hak atas tanah yang telah disetujui pemeirintah daerah setempat, agar melakukan investasi, sehingga membuat investor sering mengeluh karena tidak dapat melaksanakan kegiatan dengan baik," katanya.

Demikian pula kata Gabriel Ndawa, mekanisme perizinan yang masih dikeluhkan investor, meskipun telah ada perbaikan dalam sistem pelayanan perizinan melalui satu atap yang saat ini sedang berjalan dan diharapkan ke depan tidak ada lagi hambatan-hambatan tersebut.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Gubernur NTT Frans Lebu Raya pada kesempatan membuka Diklat yang akan berlangsung hingga tanggal 14 Oktober itu telah menyatakan perlu reformasi di bidang penanaman modal yang berkaitan dengan iklim investasi dalam pengembangan otonomi daerah.

Seperti reformasi institusi berupa peningkatan dan pengembangan perangkat kelembagaan yang terpadu, peningkatan kualitas aparatur dan jaminan pendanaan dalam program kerja atau kegiatan.

Berikut reformasi untuk mendorong pelaku usaha, koordinasi antarsektor maupun lintas sektor, memprioritaskan pembangunan sarana prasarana infrastruktur, khususnya jalur koneksitas dari dan ke potensi-potensi investasi yang dimiliki agar dapat dieksploitasi untuk kesejahteraan masyarakat di NTT.

"Selain itu, perlu juga reformasi pemberdayaan masyarakat di sekitar lokasi kegiatan, agar masyarakat memberikan peran yang sama dalam program "community development" dan mendukung setiap investor yang akan menanamkan modalnya sebagai upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif," katanya. (Ant)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024