Kendari (ANTARA News) - Masyarakat nelayan tangkap, petani rumput laut, petani padi sawah dan petani tambak di kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) cemas akibat aktivitas pertambangan yang mulai mencemari lingkungan sekitar.

Pantauan pada sejumlah desa di Kecamatan Tinanggea --sekitar 120 kilometer selatan Kota Kendari--, awal pekan ini bahwa mobilisasi sekitar 50 unit mobil bak terbuka milik perusahaan PT. Ifisdecho mulai mencemari kawasan budidaya rumput laut, saluran tambak warga dan debu merusak padi sawah yang mulai berbunga.

"Masyarakat kecil hanya akan kebagian kerugian dari kehadiran investor tambang. Contohnya, sebelum ada penimbunan jalan dan dermaga nelayan tangkap tidak kesulitan menangkap ikan karena hanya beberapa ratus meter dari pantai tetapi sekarang ikan sudah hilang," kata nelayan tangkap Kasmin (34).

Hal senada juga disampaikan petani tambak ikan bandeng dan udang bahwa air yang masuk di areal tambak saat air pasang sudah tidak sehat karena warna sudah berubah menjadi kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan.

"Sejak kegiatan penimbunan yang melalui kawasan hutan bakau dan sungai-sungai kecil air tidak berwarna biru tetapi sudah berubah menjadi kuning dan coklat-coklatan," kata Kani (31).

Oleh karena itu, kami mengharapkan perhatian pemerintah dan DPRD untuk mengontrol kegiatan pertambangan yang mengancam keselamatan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Kondisi kesehatan warga di sekitar lokasi kegiatan tambang di Kecamatan Tinanggea, Sultra terancam karena menghasilkan debu tebal.

Atap rumah warga sudah berubah warna menjadi kecoklat-coklatan dan kemerah-merahan sesuai warna tanah di lokasi tambang di daerah tersebut.

Warga yang biasanya bebas menjemur pakaian di samping atau di depan rumah menjadi kesulitan karena debu berterbangan di mana-mana.

"Warga hanya kebagian penyakit dan resah dari kegiatan penambangan nikel. Sudah ada warga yang jatuh karena licin setelah kendaraan menyiram badan jalan," kata warga Desa Watumelewe Saharuddin (43).

Warga pun terancaman penyakit saluran pernapasan akibat debu kering.

"Kesan hidup nyaman di desa dengan udara segar karena masih banyak pepohonan tidak lagi dirasakan warga yang tinggal di sekitar aktivitas pertambangan," katanya.

Selain debu mengancam ketenangan warga juga ruas jalan yang dilalui iring-iringan kendaraan angkutan tambang merusak konstruksi jalan beraspal.

"Anda lihat sendiri aspal tergulung seperti kue dadar (kue tradisional, red) karena kekuatan jalan tidak sebanding dengan beban muatan dan kendaraan yang melintas," kata warga lainnya Hartono.

Instansi teknis maupun pemerintah berbagai tingkatan harus tanggap menyikapi permasalahan ini.

"Kepala desa, camat, bupati dan anggota dewan jangan diam karena bisa disinyalir mendapat sesuatu dari kegiatan tambang sementara dampak buruknya rakyat yang rasakan," katanya.(Ant).

Pewarta : Sarjono
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024