Kawasan pegunungan Mekongga di wilayah Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menyimpan `harta karun` berupa tumbuh-tumbuhan yang diduga bisa menyembuhkan penyakit kanker.

Selain itu, di sana juga terdapat beberapa spesies baru biota air tawar yang hidup di hulu sejumlah sungai di kawasan pegunungan tersebut. Biota air tersebut antara lain jenis ikan, udang dan kepiting.

Kedua jenis kekayaan alam, flora dan fauna, itu ditemukan tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Universitas California, Amerika Serikat.

Tim peneliti LIPI sebagai penemu tumbuh-tumbuhan yang diduga mengandung zat penyembuh kanker itu memang belum merilis nama jenis tumbuhan tersebut.

Para peneliti LIPI baru menyebut tumbuhan yang bisa menyembuhkan kanker di kawasan itu ada enam jenis. Namun, untuk memastikan keakuratan temuan itu, LIPI masih melakukan pengujian laboratorium lebih detail, soal kandungan zat dalam tubuh enam jenis tumbuhan tersebut.

"Kami baru bisa mengumumkan nama enam jenis tumbuhan yang hidup di kawasan pegunungan Mekongga itu setelah uji laboratorium secara detail di Laboratorium Universitas California selesai," kata salah seorang tim peneliti LIPI, DR Daisy Wawor seusai melakukan penelitian keragaman hayati (biodiversity) di kawasan pengungan Mekongga baru-baru ini.

Menurut Daisy, di hulu Sungai Ranteangin, salah satu sungai di lembah kawasan pegunungan Mekongga, terdapat sepuluh jenis `Crustaceae`. Salah satu dari jenis udang dan satu dari jenis kepiting dalam koleksi tersebut diduga adalah jenis baru.

"Salah satu jenis kepiting dan udang kemungkinan besar adalah jenis baru. Kami menduga seperti itu, karena dari bentuk fisik kedua jenis crustase itu, kami belum pernah melihatnya," kata Daisy.

Meski demikian, ujarnya, untuk memastikan dua jenis crustase itu temuan baru atau bukan, masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. Yang pasti, bentuk dua jenis crustase itu belum pernah dijumpai para peneliti LIPI sebelumnya.



Perlu dilindungi

Terlepas dari adanya kedua jenis flora dan fauna tersebut, keragaman hayati di kawasan Pegunungan Mekongga perlu dilindungi dan dijaga kelestariannya.

Sebab selain di dalam kawasan tersebut terdapat keragaman hayati yang bisa menjadi sumber kehidupan manusia, juga kawasan itu memiliki andil besar dalam menahan laju perubahan iklim global yang menjadi momok masyarakat dunia saat ini.

"Kalau kawasan itu dirusak, bukan hanya mengancam kepunahan buah-tumbuhan yang diduga mengandung zat penyembuh kanker dan jenis hewan temuan baru, akan tetapi juga mengganggu kehidupan ekosistem di dalamnya," kata Daisy.

Dampaknya yang lebih buruk, ujar Daisy, suhu udara atau iklim di kawasan itu akan ikut terganggu, sehingga menimbulkan suhu bumi terus meningkat. Sementara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pegunungan tersebut akan hidup di bawah bayang-bayang ancaman banjir setiap kali terjadi hujan deras.

Dalam pandangan Daisy, melindungi kawasan Mekongga dari berbagai ancaman kerusakan, bukan hanya karena keragaman hayati di kawasan itu mengandung sumber kehidupan bagi jutaan kehidupan penduduk, melainkan juga penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama sebagai tempat pengembangan penelitian keragaman hayati.

"Di situlah perlunya kita mempertahankan kelestarian hayati dan ekosistem di dalam kawasan Mekongga, menjaga dua kepentingan sekaligus, melindungi sumber kehidupan manusia dari kepunahan dan kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai tempat penilitian," ujarnya.



Amankan kawasan

Gubernur Sulawesi Tenggara H Nur Alam, meminta LIPI agar menyampaikan hasil penelitiannya di dalam kawasan Mekongga kepada Pemerintah Provinsi Sultra. Hal itu penting, untuk menentukan kebijakan yang akan ditempu dalam mengamankan kawasan tersebut.

"Kita belum bisa menentukan kebijakan seperti apa, sebelum mengetahui persis hasil penelitian dari LIPI itu," kata Nur Alam kepada ANTARA baru-baru ini.

Menurut Gubernur, ada dua alternarif untuk mengamankan keragaman hayati di dalam kawasan pegunungan Mekongga. Pertama, menjadikan kawasan itu sebagai kawasan terlarang dari berbagai aktvitas penduduk, kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Kedua, membudidayakan jenis tumbuhan yang diduga mengandung zat penyembuh penyakit kanker sesuai hasil penelitian LIPI.

"Alternatif mana yang akan diambil sebagai kebijakan, kita masih harus mempelajari rekomendasi dari hasil penelitian LIPI. Makanya, kami sangat membutuhkan hasil penelitian itu," katanya.

Keragaman hayati di dalam kawasan pengunungan Mekongga tersebut kini terancam punah, menyusul banyaknya aktivitas pertambangan nikel di wilayah tersebut yang menyerobot kawasan hutan.

Menurut anggota DPRD Sultra, Nursalam Lada, sejumlah perusahaan yang menambang nikel di kawasan pegunungan Mekongga ada yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan Pemerintah Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara, dan ada juga perusahaan yang menyerobot hutan tanpa izin.

"Kami banyak mendengar laporan dari masyarakat, bahwa di wilayah Kolaka dan Kolaka Utara, terutama di sekitar pegunungan Mekongga ada sejumlah perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di kawasan itu," katanya.

Aktivitas pertambangan itu, kata Nursalam, jelas menjadi ancaman serius bagi kelestarian lingkungan setempat.

Gubernur Sultra sendiri, Nur Alam, sudah meminta aparat kepolisian untuk menyelidiki aktivitas perusahaan tambang yang berpotensi merusakan kawasan hutan di sekitar pegunungan Mekongga tersebut.

Namun sampai sejauh ini, belum satu perusahaan tambang pun yang dinyatakan melanggar ketentuan undang-undang dari aktivitas penambangan tersebut.

Sejumlah perusahaan masih terus melakukan penambangan, meski Pemerintah Provinsi Sultra sudah meminta mereka menghentikan kegiatan penambangan di kawasan itu.

Diharapkan aparat kepolisian segera bisa menyeret sejumlah pengelola perusahaan tambang yang menambang di dalam kawasan itu tanpa izin resmi ke ranah hukum.

Dengan begitu, kerusakan hutan di wilayah itu tidak terus meluas dan kelestarian hayati yang ada di dalamnya tetap terjaga, katanya (Ant).

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor :
Copyright © ANTARA 2025