Kendari (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Kendari dan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulawesi Tenggara (Sultra) berbeda pendapat terhadap meninggalnya tahanan kasus narkoba Fahrun di ruangan sel.
DPRD meminta BNNP Sulawesi Tenggara untuk bertanggungjawab terkait meninggalnya tahanan kasus narkoba Fahrun di ruangan sel.
"Soal kasus kematian Almarhum BNNP harus bertanggungjawab ini bukan tanggung jawab moril, tapi kewajiban hukum," kata Ketua Komisi III DPRD Kendari La Ode Azhar saat melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama keluarga korban membahas kejanggalan meninggalnya Fahrun yang dinilai tak wajar di Kendari, Senin.
Azhar mengatakan dari keterangan BNNP yang disampaikan saat RDP ada beberapa kejanggalan dan pernyataan berbeda dengan pihak keluarga korban.
Dimana dari keterangan BNNP, bahwa korban ditemukan sudah meninggal dengan posisi lehernya terikat celana dan tergantung di ruang sel tahanan.
Namun, kata Azhar, dari bukti foto saat korban ditemukan petugas, Fahrun tergantung dengan kondisi tangan terikat.
"Selain itu pada jenazah korban dimandikan, keluarga melihat ada bekas memar di leher, masa iya bunuh diri bekas ikatannya di tengah leher," ujarnya.
La Ode Azhar juga menilai penggunaan celana jeans warna hitam yang digunakan korban bunuh diri karena BNNP melarang tahanan memakai celana panjang kecuali untuk kebutuhan ibadah.
"Seberapa kuat si celana jeans bisa menggenggam leher korban dengan kondisi tangan terikat. Baru bagaimana cara korban bunuh diri kalau tangan terikat begitu," jelas Azhar.
Untuk itu, DPRD menduga BNNP tidak memiliki alasan kuat dengan menyebut korban bunuh diri tetapi dibunuh.
DPRD Kendari meminta BNNP Sultra bersama Polda Sultra harus serius menindaklanjuti kasus meninggalnya Fahrun.
Apalagi, ada pernyataan BNNP Sultra yang tidak konsisten sehingga menimbulkan keraguan dalam pemahaman (ambiguitas).
"Bahwa dari keterangan BNNP yang berbeda dengan istri Almarhum menunjukkan ada yang disembunyikan BNNP Sultra dari kasus ini," sebut Azhar.
Kemudian lanjut, kejanggalan lainnya adanya pernyataan BNNP soal kamera CCTV yang rusak pada saat kejadian. Kamera CCTV itu rusak sudah lebih dari setahun.
Namun, pernyataan BNNP dibantah oleh Istri almarhum yang mengaku pernah ditegur petugas untuk menjenguk diluar jam besuk karena ada kamera CCTV. Pernyataan tersebut beberapa hari sebelum korban ditemukan meninggal dunia.
DPRD menyampaikan BNNP harus terbuka dengan proses hukum yang dijalani dalam menindaklanjuti kasus kematian Fahrun apakah murni gantung diri atau dibunuh.
"Sehingga DPRD meminta BNNP dan aparat penegak hukum lain mengawal kasus ini," ungkap La Ode Azhar.
Sementara itu, Kabid Brantas dan Penindakan BNNP Sultra, Kombes Alam Kusuma menegaskan bahwa pihaknya meyakini tahanan Fahrun meninggal karena bunuh diri
"Karena dengan tanda-tanda yang ada dan kasat mata ditambah keterangan visum di rumah sakit korban ini meninggal karena gantung diri,"ujarnya.
Meski demikian, Alam menyampaikan BNNP siap terbuka jika ada proses hukum yang dilakukan oleh Polda Sultra untuk mengungkap meninggalkan tahanan tersebut.
BNNP Sultra juga tidak menutup-nutupi jika dalam proses penyelidikan ditemukan adanya kelalaian petugas sehingga menyebabkan korban meninggal.
"Yang jelas dari Polda sudah ada yang melakukan investigasi, kami juga melakukan investigasi internal di BNN," ucap Alam.
Terkait pernyataan pihak keluarga yang berbeda dengan keterangan BNNP, Alam menyampaikan hal tersebut wajar saja.
Tetapi pihaknya tetap menduga korban meninggal karena bunuh diri sesuai bukti yang ditemukan.