Jakarta (ANTARA) - Dibutuhkan beberapa lapis pakaian untuk Muhaimin memastikan tubuhnya tetap hangat saat berada dalam ruangan pengoperasian Tsunami Early Warning System Indonesia (Ina-TEWS). Perangkat ini berada di lantai 2 Gedung C Komplek Perkantoran Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta.

Kondisi ruangan untuk pengoperasian Ina-TEWS  tak terlalu luas tapi penuh dengan layar monitor berukuran besar, berikut perangkat komputer beresolusi tinggi. Perangkat ini  beroperasi tiada henti setiap hari selama 24 jam. Hal ini membuat temperatur ruang kerja Muhaimin harus dijaga dengan suhu 18-20 Celcius supaya peralatan elektronik yang ada tidak panas (overheat) dan error.

Muhaimin merupakan seismolog sekaligus supervisi para operator Ina-TEWS, sebuah sistem yang menjadi tulang punggung Indonesia untuk cepat mengetahui keberadaan gempa sekaligus mendeteksi potensi tsunami setelah gempa terjadi. Informasi itu kemudian dipublikasikan kepada masyarakat luas.

Dalam melaksanakan tugasnya, pria bertubuh mungil ini ditemani oleh 14 orang anggota tim lainnya dari Kedeputian Geofisika BMKG. Dia harus memastikan setiap anggota tim tetap fokus melaksanakan tugas sesuai prosedur operasional mulai dari mengawasi garis data seismik pada layar monitor, mengolah data numerik untuk memperbaharui parameter getaran hingga merilis publikasi.

Pergerakan para operator Ina-TEWS ini tampak sangat terbatas. Bahkan mesti berhati-hati untuk sekadar ngobrol atau memalingkan muka guna menonton siaran televisi. Mereka harus memastikan ada yang menggantikan tugas ketika mereka hendak meninggalkan ruangan untuk beristirahat. Para operator harus tetap berada dalam ruangan dengan mata dan telinga yang selalu awas, sehingga tidak ada aktivitas getaran yang terlewatkan.

Ada ratusan unit alat seismometer yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang mereka awasi dari ruangan dingin itu secara bergantian dalam empat  jam kerja (shift) mulai dari pagi, siang, sore malam dan dini hari. Mereka dituntut untuk tidak boleh mengalami kesalahan dalam menganalisa data dan cepat mengambil keputusan. Sebab,  kesalahan sedikit saja akan menimbulkan masalah yang besar bagi masyarakat.

Ina-TEWS yang dibuat pada 2008 ini dirancang untuk memberikan peringatan dini tsunami kepada masyarakat sesegera mungkin setelah gempa terdeteksi. Oleh karena itu, para operatornya mesti berpacu dengan waktu memanfaatkan setiap detik yang sangat berarti.

Sampai saat ini sebanyak 600 menara seismometer yang tersebar dari ujung barat Aceh - timur Merauke. Setiap seismometer memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi getaran (seismic) mulai dari yang berkekuatan rendah 1,0 - 5,0 magnitudo atau di bawahnya, sampai yang berkekuatan lebih dari 5,0 magnitudo, sekaligus yang paling berpotensi merusak dengan titik episentrum puluhan kilometer di daratan/bawah laut. Untuk mendeteksi potensi tsunami, dalam sistem Ina-TEWS sudah terintegrasi dengan alat pasang surut air laut berupa tide guage sejumlah 250 unit yang terpasang di dermaga kapal seluruh Indonesia.

Dalam waktu kurang dari dua menit tim di pusat monitoring Ina-TEWS harus dapat menentukan apakah getaran gempa yang terdeteksi berpotensi menimbulkan tsunami dengan analisis yang sangat akurat. Proses ini melibatkan algoritma canggih yang memproses data geofisika, memodelkan skenario penyebaran gelombang tsunami, dan memprediksi waktu serta tinggi gelombang yang akan tiba di daratan.

“Hampir setiap hari Indonesia terjadi gempa dengan jumlah yang bervariasi berkisar antara 2-6 kali dan tidak ada getaran gempa yang terlewatkan. Bahkan yang terkecil sekalipun semua dianalisis dan diinformasikan kepada masyarakat,” kata Muhaimin yang ditemui di kantornya belum lama ini.

Semua yang diterapkan oleh para seismolog operator Ina-TEWS tersebut merupakan hasil evaluasi dari tragedi bencana gempa dahsyat berkekuatan 9,1--9,3 magnitudo dan disusul gelombang tsunami Samudera Hindia yang meluluhlantahkan Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004. Peristiwa itu menewaskan lebih kurang 170 ribu warga “Bumi Serambi Mekkah”. Indonesia tidak ingin dampak serupa terjadi kembali.

Oleh karena itu, fungsi mereka adalah memastikan informasi pertama peristiwa gempa bisa segera tersampaikan kepada masyarakat. Hal ini yang belum bisa dilakukan 20 tahun silam karena masih minimnya peralatan pendeteksi bencana kala itu dan sebagian besar masih dilakukan secara analog.

Suasana ruangan operator Tsunami Early Warning System Indonesia (Ina-TEWS) di Gedung C komplek perkantoran Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jalan Angkasa, Kemayoran, Jakarta. ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Seiring perkembangan zaman yang bertransformasi ke digital, maka catatan waktu terbaik Indonesia untuk distribusi peringatan dini tsunami saat ini adalah kurang dari tiga menit setelah gempa terjadi. Atau satu menit setelah para seismolog berhasil mendiseminasi data yang terdeteksi sensor Ina-TEWS hingga mendapatkan hasil parameter akurat. Catatan waktu peringatan dini ini jauh lebih baik dibanding 8-10 tahun lalu yang membutuhkan waktu rata-rata 10 menit.

Pemanfaatan gelombang jaringan internet media sosial, pemancar siaran televisi dan radio digital yang dikelola Kementerian Telekomunikasi dan Digital (Komdigi) turut menyempurnakan ketersampaian informasi peringatan dini tsunami dan pendeteksian gempa. Kecepatan waktu ini seharusnya cukup untuk memberikan kesempatan berharga bagi masyarakat lokasi berbahaya untuk segera melakukan evakuasi.

“Kami tidak bisa memprediksi gempa, tapi yang bisa kami lakukan adalah mendeteksinya secepat mungkin dan memberikan peringatan untuk mengurangi dampaknya,” kata Muhaimin (47), salah satu seismolog senior BMKG jebolan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu.

Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG belum menemukan adanya gempa yang berpotensi tsunami sampai dengan di penghujung tahun 2024 ini.  Namun, BMKG mencatat setidaknya sudah lebih dari 17.000 gempa yang terdeteksi melanda Indonesia.

Satu di antaranya digolongkan sebagai gempa bumi berkekuatan sedang dengan dampak paling merusak tahun ini, yaitu gempa 5,0 magnitudo yang mengguncang Kabupaten Bandung - Kabupaten Garut, Jawa Barat. Hasil diseminasi operator Ina-TEWS mendapati gempa ini dipicu oleh aktivitas Sesar Garsela (Garut selatan) yang berpusat di darat 25 kilometer arah tenggara Kabupaten Bandung.

Muhammad Obie, salah satu anggota operator Ina-TEWS mengatakan dirinya terlibat dalam proses pemantauan gempa bumi yang melanda Jawa Barat ini. Peristiwa itu terjadi pada Rabu, 18 September 2024 sekitar pukul 09.41 WIB, atau beberapa saat setelah pergantian shift jaga yang mereka menyebutnya dengan istilah “on duty”. Seluruh anggota tim melaksanakan tugasnya dengan adrenalin yang luar biasa karena mereka tahu keputusan yang diambil bisa menentukan keselamatan banyak orang.

Aktivitas gempa ini terus dalam pantauan dan dilaporkan secara berkala oleh BMKG sejak tiga menit pertama kejadian.Laporan ini menjadi rujukan upaya tanggap darurat dan pemulihan dampak bencana sampai benar-benar tidak ada lagi pergerakan aktivitas sesar Garsela itu.

Beruntung tidak ada kondisi lanjutan yang menyertai gempa tersebut. Dengan demikian, penanganan terhadap sebanyak 45.325 orang warga terdampak bisa berhasil dan berlangsung aman. Tim pencarian dan pertolongan saat itu dapat melakukan operasi terhadap satu orang korban yang sempat dilaporkan hilang kemudian jasadnya bisa dievakuasi dari runtuhan material bangunan rumah sebelum masa operasi berakhir.

Tantangan

Meski sudah memiliki ratusan alat pemantau gempa dan potensi tsunami dalam sistem Ina-TEWS, tapi jumlah tersebut masih belum bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menjadi tantangan besar khususnya bagi wilayah terpencil di kawasan Indonesia bagian timur.

Sebagai seorang seismolog yang pernah bertugas di BMKG Kota Ambon, Maluku, maka Obie tahu betul tantangan pendeteksian gempa – peringatan dini tsunami di Indonesia timur itu.

Menurut Obie, akses data dari sensor sering kali mengalami keterlambatan akibat kendala jaringan atau lokasi geografis yang sulit dijangkau. Begitu pula vandalisme juga menjadi masalah serius. Sensor pendeteksi gempa dan potensi tsunami yang berada di lokasi-lokasi strategis seperti dekat pemukiman penduduk atau jalur perlintasan kapal nelayan sering dirusak atau bahkan hilang.

Kondisi tersebut sebagaimana yang terjadi pada alat Ina-Buoy. Alat ini merupakan salah satu komponen sensor yang digunakan dalam Ina-TEWS untuk mendeteksi pasang tsunami di tengah laut. Dari delapan lokasi pemasangan satu di antaranya ada di laut selatan Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada medio 2019-2020.

Alat canggih tersebut saat ini sudah tidak lagi beroperasi karena menjadi korban tangan jahil oknum masyarakat dan biaya perawatannya yang sangat mahal per unitnya bisa memakan anggaran senilai Rp6 miliar.

Demikian juga halnya menara pemantau untuk mendeteksi gempa bumi yang sebagian besar sudah berusia senja, seperti yang dapat ditemukan di wilayah Aceh.

Aceh memiliki sebanyak 25 unit alat pendeteksi gempa dan potensi tsunami yang dalam tiga tahun terakhir ini perawatannya menjadi tanggung jawab petugas Stasiun Geofisika (Stageo) Kelas III Mata'Ie di Aceh Besar dan Stasiun Geofisika di Aceh Selatan. Masing-masing peralatan tersebut berupa bangunan berisi sensor seismometer, menara, sirene, dan lainnya yang tersebar di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Jaya, Aceh Timur, Lhokseumawe, Bener Meriah, Pidie, Simeulue, Kota Sabang, Gempang, Jantho, dan Selimung.

Pengamat Meteorologi Geofisika Muda Stageo BMKG Mata'Ie Aceh Besar, Zaenal Abidin Al Atas, mengatakan bahwa sebagian besar peralatan itu adalah generasi pertama yang dibangun pada periode 2006-2007. Oleh karena faktor usianya yang sudah tua, ditambah faktor alam lantaran berhadapan degan terpaan angin, terik matahari dan air asin kawasan pesisir, maka saat ini alat tersebut sudah kerap mengalami gangguan.

Bahkan, ada  tiga menara yang dibangun di daratan itu sudah tidak berfungsi lagi dalam satu atau dua tahun terakhir. Padahal ia mengakui bahwa perawatan sudah rutin dilakukan selama dua kali dalam setahun.

Proses perawatan yang dilakukan meliputi pembersihan sensor, sistem pasokan daya tegangan dari perangkat panel surya dan baterai, hingga pengecekan sistem kabel dan jaringan komunikasinya. Proses ini dilakukan setiap tanggal 26 Desember yang sekaligus mengenang tragedi tsunami 2004. Tiga alat pemantau yang rusak tersebut saat ini lebih butuh untuk perbaikan atau menggantinya dengan perangkat yang baru demi dapat mengembalikan fungsinya.

Meski tidak terlalu berdampak dalam proses pendeteksian gempa dan potensi tsunami di Aceh tetapi bukan berarti tidak diperbaiki. Pihaknya menargetkan upaya perbaikan ini bisa segera dilakukan oleh petugas ahli setidaknya pada awal tahun 2025.

Maka dengan langkah-langkah strategis yang diiringi komitmen kuat, Indonesia ke depan seharusnya tidak lagi hanya menunggu datangnya gempa-tsunami, tetapi mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan keberanian dan kesiapan yang matang. Refleksi 20 tahun tsunami Aceh adalah tentang memperbesar harapan untuk generasi siap selamat dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.


Pewarta : M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor : Sarjono
Copyright © ANTARA 2024