Kendari (ANTARA) - Lembaga pemasyarakatan (lapas) tidak saja bermakna sebagai bagian dari proses menjalani hukuman, melainkan juga sebagai proses pendidikan dan tempat menemukan nilai-nilai spiritualitas.

Beberapa narapida penghuni Lapas Kelas IIA Kendari justru menemukan jalan hidayah untuk lebih mengenal diri serta untuk jalan menuju harapan seluruh Muslim di dunia ini, yaitu mendapat ridha Allah SWT.

Salah seorang narapidana bernama Jibran Aksa, saat berbincang dengan ANTARA menyampaikan bahwa hidup di dalam lapas sangat berbeda dengan kehidupan yang ia jalani semasa dirinya berada di luar.

Dalam kurun waktu tiga tahun, Aksa yang awalnya sama sekali tidak mengetahui cara membaca Al Quran, kini mulai mempelajarinya dengan guru santri di lapas tersebut, mulai dari Iqra hingga bisa membaca juz demi juz, lengkap dengan ilmu tajwid.

Aksa dan kawan-kawan Muslimnya belajar mengaji di masjid lapas yang gurunya adalah santri yang didatangkan oleh pemimpin lapas secara berkala. 

Bahkan, Aksa kini perlahan-lahan mulai menghafal beberapa juz, sembari mengisi waktu kosongnya saat menjalani hukuman di dalam lapas, sesuai dengan putusan hakim yang dijatuhkan saat dirinya menjalani sidang di pengadilan. Saat ini dia sudah hafal Juz 28, 29, dan Juz 30.

Beberapa narapidana lainnya juga mengakui bahwa ketika mereka masih berkeliaran bebas di luar lapas belum tentu akan mendapat petunjuk dan bimbingan dari Tuhan untuk lebih mengenal dan mempelajari ayat-ayat suci-Nya. Hal terpenting yang bisa mereka syukuri adalah berubahnya akhlak, dari awalnya yang sangat buruk, kini menjadi lebih baik.

Data Humas Lapas Kelas IIA Kendari menunjukkan bahwa saat ini lapas itu dihuni oleh 865 orang dan untuk yang beragama Islam sebanyak 841 orang.

Selama menjalani hukuman di dalam Lapas Kendari, terdapat dua jenis pembinaan yang diberikan kepada para narapidana, yakni pembinaan kepribadian yang meliputi kerohanian dan mental spiritual, serta pembinaan kemandirian yang lebih menekankan pada pembinaan bakat dan mengasah keterampilan para narapidana tersebut untuk bekal menjalani hidup setelah mereka berada di luar lapas.

Terkait pembinaan kerohanian di lapas, khususnya bagi yang beragama islam, Lapas Kendari menggandeng dua yayasan yang bergerak dalam pembinaan keagamaan. Para narapidana yang belajar mengaji. (Antara/La Ode Muh Deden Saputra)
Materi-materi pembinaan yang diajarkan kepada para narapidana beragama Islam itu, antara lain kewajiban mendengarkan ceramah, kajian Al Quran, belajar mengaji, dan juga berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai agama.

Untuk memudahkan petugas dalam mengawasi proses pembinaan para narapidana tersebut, Lapas Kelas IIA Kendari mengelompokkan dan menggabungkan mereka di dalam kamar tersendiri, yang biasa disebut dengan "kamar santri".

Dalam satu kelompok terdiri dari 40 orang narapidana yang akan mengikuti pembinaan selama empat bulan. Setelah menamatkan program pembinaan tersebut, para narapidana akan diberikan sertifikat kelulusan dari santri yang membina mereka.

Pemimpin lapas mencatat bahwa dari pembinaan kerohanian bagi para narapidana tersebut sangat banyak memberikan manfaat positif, baik bagi para narapidana sendiri, maupun bagi personel lapas. Sebab, dengan adanya kegiatan-kegiatan positif seperti itu, mereka akan teratur dan bisa mengubah kebiasaan mereka menjadi lebih baik lagi.

Karena itu, pemimpin lapas akan terus melestarikan bahwa mengembangkan program pembinaan rohani tersebut sehingga lebih berdaya guna untuk membimbing para narapidana menjadi lebih baik dan nantinya siap untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat, setelah proses hukuman selesai dijalani.

Sementara itu, guru mengaji para narapidana Muhammad Sultan mencatat bahwa hingga kini sudah ada sekitar 1.600 narapidana yang diajarnya selama menjadi guru mengaji di Lapas Kendari sejak Tahun 2010.

Sultan yang juga pegawai itu mengabdikan dirinya kepada negara sekaligus juga menunaikan perintah Allah SWT untuk mengajarkan hal-hal yang baik kepada sesama, khususnya untuk mengajarkan para narapidana untuk membaca kitab suci Al Quran.

Dalam satu kelompok itu ada 40 orang, dan satu kelompok itu diajar mengaji sampai empat bulan. Jadi, dalam satu tahun itu sekitar 120 orang (narapidana) yang diajar mengaji oleh satu orang ustadz.

Sultan bercerita pengalaman awal mengajar narapidana mengaji dan nilai-nilai dalam Islam, yakni saat ia bertugas di Rutan Kolaka. Saat itu, awalnya dia merasa takut dan canggung berhadapan langsung dengan para narapidana yang berbadan kekar serta bertato.
Seiring berjalannya waktu, mereka saling bertemu, Sultan kemudian merasa aman dan nyaman berhadapan dengan para pelaku pelanggar hukum itu. Lama-lama ia menemukan kenikmatan batin bahwa apa yang ia lakukan itu merupakan wujud kepatuhan kepada perintah Allah SWT.

Sultan mengajar mengaji para narapidana itu betul-betul dari awal, yakni mulai dari mengenali atau mengetahui huruf hijaiyah hingga bisa menamatkan bacaan dengan metode bacaan Iqra.

Setelah fasih dalam pelajaran iqra, para narapidana itu umumnya sudah bisa membaca rangkaian huruf-huruf Arab dan selanjutnya, ketika sudah masuk ke praktik mengaji pada juz, mereka sudah bisa mandiri atau membaca sendiri di waktu-waktu luang di kamar masing-masing atau di dalam masjid lapas.

Dari pergaulan dengan narapidana, Sultan menemukan bahwa tidak semua dari mereka itu kaku dan sulit diubah perilakunya. Ia menemukan beberapa narapidana yang sangat rajin belajar mengaji dan juga rajin membersihkan masjid dan lingkungan sekitar masjid.

Berkaca pada pengalaman pembinaan rohani lapas di Kendari itu menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pemasyarakatan sesungguhnya adalah lembaga pembinaan yang fungsinya juga tidak lebih rendah dari pada lembaga pendidikan lainnya.
 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mereka menemukan hidayah di lembaga pemasyarakatan

Pewarta : La Ode Muh. Deden Saputra
Editor : Zabur Karuru
Copyright © ANTARA 2024