Jakarta (ANTARA) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang diketuai Wahyu Iman Santoso menjatuhkan vonis pidana 1 tahun dan 6 bulan penjara terhadap terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu di Jakarta, Rabu.

Mantan ajudan eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo tersebut terbukti bersalah dan turut melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Vonis tersebut jauh di bawah tuntutan jaksa yakni hukuman 12 tahun penjara. Bharada Richard Eliezer dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Vonis tersebut menuai respons positif dari masyarakat yang menilai sudah selayaknya Richard mendapatkan hukuman lebih ringan.

“Dia sosok justice collaborator (penguak fakta), sudah sepantasnya mendapatkan hukuman ringan. Tanpa pengakuan Icad (panggilan Richard) tentu kasus ini tidak akan terungkap,” kata seorang warga Tangerang, Yanti (35), yang menyaksikan jalannya sidang melalui siaran televisi.

Yanti tak kuasa menahan haru saat hakim menyatakan vonis satu tahun enam bulan pada Richad. Hakim Anggota Alimin Ribut Sujono menyebut sejumlah pertimbangan dalam putusan itu yakni hakim menilai Richard telah berkata jujur dan berani menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada 8 Juli 2022.

Hakim menilai untuk menjadi seorang penguak fakta, seseorang tidak boleh berstatus sebagai pelaku utama di dalam perkara yang tengah diadili. Richard bukanlah pelaku utama meskipun dirinya merupakan eksekutor Brigadir Yosua.

Dalam hal itu, Ferdy Sambo menjadi aktor intelektual pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, sementara Richard hanya dianggap melakukan eksekusi atas perintah atasannya.

Kemudian menimbang banyaknya barang bukti yang tidak ditemukan, dirusak, dihilangkan, diganti, ditambah, bahkan melibatkan berbagai pihak yang mengaburkan, merekayasa, serta menyesatkan, majelis hakim menilai kejujuran Richard telah membuat terang perkara ini.

Meskipun atas kejujuran itu menempatkan diri Richard dalam posisi dan situasi yang sangat membahayakan jiwanya, mengingat terdakwa praktis berjalan sendirian. Dengan demikian, majelis hakim memberikan "penghargaan" kepada Richard Eliezer berupa hukuman yang lebih ringan dibandingkan dengan empat terdakwa lainnya.

Selain itu, ada sejumlah pertimbangan yang meringankan, di antaranya saksi pelaku yang bekerja sama, bersikap sopan selama persidangan, belum pernah dihukum, masih muda dan diharapkan mampu memperbaiki dirinya di kemudian hari, terdakwa menyesali perbuatannya, serta berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi, dan keluarga korban Nofriansyah Yosua Hutabarat juga telah memaafkan perbuatan terdakwa.

Sebelumnya, Ferdy Sambo mendapatkan vonis hukuman mati. Kemudian Putri Candrawathi mendapatkan vonis 20 tahun penjara, Kuat Ma’ruf dipidana penjara 15 tahun, dan Ricky Rizal mendapatkan vonis 13 tahun penjara. Kedua terdakwa kasus pembunuhan yakni Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf langsung menyatakan akan mengajukan banding. Sementara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi belum menyatakan banding atas putusan hakim tersebut.

Pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanagara (Untar) Dr. Hery Firmansyah mengatakan masih banyak episode yang masih bisa disaksikan dalam perjalanan kasus hukum tersebut. Hal itu karena terdakwa masih bisa mengajukan banding terkait putusan hakim itu.

Selain itu, jaksa juga diperbolehkan mengajukan banding jika putusan hakim di bawah dua pertiga dari tuntutan jaksa. Banding tersebut dapat diajukan ke pengadilan tinggi dan bahkan ke tingkat kasasi.

Dengan demikian, diharapkan masyarakat memiliki energi yang cukup untuk mengikuti jalannya proses penegakan hukum Ferdy Sambo dkk. tersebut.
1

1,6 tahun atau 1,5 tahun?

Sebagian warganet menulis vonis hukuman satu tahun enam bulan Richard Eliezer tersebut 1,6 tahun. Seorang warganet, Evy (40), bahkan bersikukuh bahwa hukuman tersebut ditulis 1,6 tahun.

“1,6 tahun, bukan 1,5 tahun,” katanya yakin.

Begitu juga dengan warganet lainnya, yang bersikukuh bahwa vonis hukuman tersebut ditulis 1,6 tahun, bukan 1,5 tahun. Akun @jaya.******, misalnya,  menulis bernada satire, “Makasih Icad, kamu pantas mendapatkan 1,6 tahun atas kejujuranmu”.

Bahkan sebagian media massa pun turut menulis jika Bharada Richard Eliezer divonis 1,6 tahun. Lalu, apakah penulisan tersebut benar?

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbduristek), Prof. E. Aminudin Azis mengatakan penulisan yang benar adalah vonis hukuman 1,5 tahun penjara dan bukan 1,6 tahun.

“Atau dalam istilah hukum satu tahun dan enam bulan. Mengapa 0,5 tahun dan 0,6 tahun, sebab hitungan 0,5 itu kan selalu berarti setengah dari sebuah himpunan,” terang Amin.

Jika dalam satu tahun itu terdapat 12 bulan, maka enam bulan adalah setengah dari 12 bulan sehingga harus ditulis 1,5 tahun atau tetap satu tahun dan enam bulan.

“Jadi kalau ditulis 1,6 bulan itu memiliki makna yang berbeda. Itu berarti satu tahun ditambah dengan 0,6 tahun dikalikan 12 bulan atau sekitar 7,2 bulan. Jadi 1,6 tahun itu bukan satu tahun dan enam bulan, melainkan satu tahun dan 7,2 bulan,” jelas Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London periode 2016 -- 2020 itu.

Dengan demikian, Amin mengingatkan bahwa 1 tahun dan 6 bulan tersebut 1,5 tahun, bukan 1,6 tahun.

Oleh karena itu, Amin berharap masyarakat tak salah lagi menulis vonis hukuman Richard Eliezer tersebut yakni satu tahun enam bulan atau cukup ditulis 1,5 tahun.

Sebenarnya penulisan desimal seperti itu sudah dipelajari sejak sekolah dasar. Namun, pada era media sosial inilah sejumlah orang salah hitung berani ngeyel.

Jangan-jangan mereka yang ngotot itu lupa kalau 1 tahun itu 12 bulan, bukan 10 bulan, sehingga mereka menganggap 1,6 tahun setara dengan 1 tahun 6 bulan.






 



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Vonis 1,5 tahun atau 1,6 tahun untuk Sang Penguak Fakta?

Pewarta : Indriani
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024