Kendari (ANTARA) - Institut Teknologi Kelautan (ITK) Buton, meskipun baru lahir setahun telah mampu menunjukkan eksistensi dirinya hingga ke tingkat nasional, yang ditandai dengan masuknya universitas perguruan tinggi tersebut ke dalam Workshop “Strategi Blue Carbon Indonesia" untuk pencapaian target Nationally Determined Contribution dan Implementasi Nilai Karbon..
Ketua Yayasan Sultra Raya Dua Ribu Dua Puluh, Alvin Akawijaya Putra di Kendari, Senin mengatakan ITK Buton masuk dalam strategi Blue Carbon Indonesia setelah pihak Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan pada tanggal 24 Januari 2023 lalu.
"Dan juga mengikuti “the 38th Strategic Talks tentang Peran Strategis Blue Economy dalam Pembangunan Ekonomi Nasional” yang diselenggarakan oleh Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB University," ujar Alvin.
Ia mengatakan, ITK Buton terus melakukan pengembangan diri, agar ke depan perguruan tinggi ini kian siap mengambil peran sebagai salah satu pilar masa depan pembangunan sektor kelautan dan perikanan untuk kemajuan daerah dan bangsa Indonesia menuju Indonesia 2045.
Rektor ITK Buton, Prof Ir H La Sara MSi PhD, mengatakan keikutsertaan ITK Buton dalam pembahasan Strategi Blue Carbon Indonesia menjadi motivasi tersendiri bagi seluruh jajaran ITK Buton untuk terus berlari hingga mampu sejajar dengan perguruan tinggi ternama yang telah lama ada di Sulawesi Tenggara bahkan di Indonesia.
"Launching blue carbon Indonesia ini dikemas dalam kegiatan workshop, dalam rangka mendorong sektor kelautan atau blue carbon dalam konteks perubahan iklim nasional maupun global, oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang bekerja sama dengan UNDP Indonesia, sehingga Pencapaian Target Nationally Determined Contibution (NDC) dan Implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) bisa terwujud," jelas Rektor ITK Buton ini.
Dia menambahkan, adapun tujuan dari kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan komitmen dan visi serta misi bersama dari seluruh pemangku kepentingan sektor kelautan dan perikanan, dalam kebijakan perubahan iklim melalui tata kelola eksositem karbon biru (blue carbon ecosystems).
Pembina Yayasan Sultra Raya 2020, Asrun Lio, menjelaskan, yang melatarbelakangi kegiatan tersebut sebagaimana diuraikan oleh Dirjen PRL KKP adalah Indonesia termasuk negara rentan terdampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut 0,8-1,2 cm/tahun, sementara sekitar 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir.
Risiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim ini, antara lain kelangkaan air, kerusakan ekosistem pesisir, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, hingga kelangkaan pangan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
"Pemerintah menilai, jika hal ini tidak di mitigasi, maka yang terjadi adalah perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidro-meteorologi dan potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari total PDB serta pada tahun 2030, Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Memitigasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan komitmen-komitmen global dalam penanganan perubahan iklim, seperti protokol kyoto, Bali Roadmap, Copenhagen Accord, Paris Agreement, Katowice Climate Package, dan Glasgow Pacts.
Konsekuensi kesepakatan ini adalah pemenuhan target penurunan emisi dan konsekuensi pembiayaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan laju emisi sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan hingga 41 persen," papar Asrun yang juga Sekda Provinsi Sultra ini.
Ia mengatakan, salah satu inovasi kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah berupa kebijakan Nilai Ekonomi Karbon atau NEK (Carbon Pricing), termasuk dari karbon biru (blue carbon). NEK merupakan valuasi atas emisi/kandungan/potensi emisi GRK dan bentuk intervensi market failure dengan memanfaatkan kekuatan pasar.
"Ekosistem pesisir merupakan salah satu potensi penyerap karbon yang tidak kalah besar dibanding ekosistem hutan. Ekosistem pesisir tersebut adalah hutan mangrove dan padang lamun yang mampu menyerap karbon dari atmosfer dan lautan.
Berkaitan dengan tema yang dibahas ini, salah satu misi ITK Buton adalah mengembangan teknologi berkaitan penguatan blue economy, selain pengembangan teknologi lainnya pada bidang kelautan dan perikanan.
Untuk itu, ITK Buton memiliki peran untuk turut serta menyukseskan strategi tersebut, apalagi sebagai perguruan tinggi yang bergelut di bidang kelautan," tuturnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ITK Buton masuk dalam strategi blue carbon Indonesia
Ketua Yayasan Sultra Raya Dua Ribu Dua Puluh, Alvin Akawijaya Putra di Kendari, Senin mengatakan ITK Buton masuk dalam strategi Blue Carbon Indonesia setelah pihak Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan pada tanggal 24 Januari 2023 lalu.
"Dan juga mengikuti “the 38th Strategic Talks tentang Peran Strategis Blue Economy dalam Pembangunan Ekonomi Nasional” yang diselenggarakan oleh Direktorat Publikasi Ilmiah dan Informasi Strategis IPB University," ujar Alvin.
Ia mengatakan, ITK Buton terus melakukan pengembangan diri, agar ke depan perguruan tinggi ini kian siap mengambil peran sebagai salah satu pilar masa depan pembangunan sektor kelautan dan perikanan untuk kemajuan daerah dan bangsa Indonesia menuju Indonesia 2045.
Rektor ITK Buton, Prof Ir H La Sara MSi PhD, mengatakan keikutsertaan ITK Buton dalam pembahasan Strategi Blue Carbon Indonesia menjadi motivasi tersendiri bagi seluruh jajaran ITK Buton untuk terus berlari hingga mampu sejajar dengan perguruan tinggi ternama yang telah lama ada di Sulawesi Tenggara bahkan di Indonesia.
"Launching blue carbon Indonesia ini dikemas dalam kegiatan workshop, dalam rangka mendorong sektor kelautan atau blue carbon dalam konteks perubahan iklim nasional maupun global, oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, yang bekerja sama dengan UNDP Indonesia, sehingga Pencapaian Target Nationally Determined Contibution (NDC) dan Implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) bisa terwujud," jelas Rektor ITK Buton ini.
Dia menambahkan, adapun tujuan dari kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan komitmen dan visi serta misi bersama dari seluruh pemangku kepentingan sektor kelautan dan perikanan, dalam kebijakan perubahan iklim melalui tata kelola eksositem karbon biru (blue carbon ecosystems).
Pembina Yayasan Sultra Raya 2020, Asrun Lio, menjelaskan, yang melatarbelakangi kegiatan tersebut sebagaimana diuraikan oleh Dirjen PRL KKP adalah Indonesia termasuk negara rentan terdampak perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut 0,8-1,2 cm/tahun, sementara sekitar 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir.
Risiko yang ditimbulkan dari perubahan iklim ini, antara lain kelangkaan air, kerusakan ekosistem pesisir, kerusakan ekosistem lautan, penurunan kualitas kesehatan, hingga kelangkaan pangan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
"Pemerintah menilai, jika hal ini tidak di mitigasi, maka yang terjadi adalah perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidro-meteorologi dan potensi kerugian ekonomi Indonesia dapat mencapai 0,66 persen hingga 3,45 persen dari total PDB serta pada tahun 2030, Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.
Memitigasi hal tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan komitmen-komitmen global dalam penanganan perubahan iklim, seperti protokol kyoto, Bali Roadmap, Copenhagen Accord, Paris Agreement, Katowice Climate Package, dan Glasgow Pacts.
Konsekuensi kesepakatan ini adalah pemenuhan target penurunan emisi dan konsekuensi pembiayaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Indonesia berkomitmen untuk menurunkan laju emisi sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan hingga 41 persen," papar Asrun yang juga Sekda Provinsi Sultra ini.
Ia mengatakan, salah satu inovasi kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah berupa kebijakan Nilai Ekonomi Karbon atau NEK (Carbon Pricing), termasuk dari karbon biru (blue carbon). NEK merupakan valuasi atas emisi/kandungan/potensi emisi GRK dan bentuk intervensi market failure dengan memanfaatkan kekuatan pasar.
"Ekosistem pesisir merupakan salah satu potensi penyerap karbon yang tidak kalah besar dibanding ekosistem hutan. Ekosistem pesisir tersebut adalah hutan mangrove dan padang lamun yang mampu menyerap karbon dari atmosfer dan lautan.
Berkaitan dengan tema yang dibahas ini, salah satu misi ITK Buton adalah mengembangan teknologi berkaitan penguatan blue economy, selain pengembangan teknologi lainnya pada bidang kelautan dan perikanan.
Untuk itu, ITK Buton memiliki peran untuk turut serta menyukseskan strategi tersebut, apalagi sebagai perguruan tinggi yang bergelut di bidang kelautan," tuturnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ITK Buton masuk dalam strategi blue carbon Indonesia