Jakarta (ANTARA) - "Xn nián kuài lè."
"Nian nian you yu."
"Xìng fú n kng."


Begitu riuh ucapan yang bermakna positif dan membuncahkan semangat kebaikan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian pada setiap momentum perayaan Imlek. Rangkaian doa juga tersemat kepada leluhur seiring asap hio yang membubung ke angkasa. Asanya, tahun demi tahun, segala keberkahan dan perlindungan senantiasa menaungi, tak hanya bagi masyarakat keturunan Tionghoa, namun juga semua entitas di muka Bumi.

Semburat doa beriringan dengan kemeriahan yang mewarnai setiap sudut rumah, perkantoran, kelenteng, pusat perbelanjaan, dan banyak tempat lainnya. Fasad yang didominasi hiasan warna merah, aneka festival lampion, parade atraksi barongsai nan menghibur, penganan -kue keranjang yang menggugah selera-, serta teriakan anak-anak yang berlarian menggenggam erat amplop merah, menjadi ciri paling khas perayaan tahun baru yang mengacu perhitungan bulan sistem penanggalan China itu.

Pemandangan semacam itu lazim terlihat di Indonesia saat ini, setidaknya telah berjalan selama lebih dari dua dekade terakhir. Sejak presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid menetapkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, atmosfer keberagaman yang lebih dinamis pun lahir, utamanya bagi masyarakat Tionghoa. Aturan tersebut merupakan tonggak sejarah yang memberikan ruang bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk menjalankan kepercayaan dan adat istiadat mereka, termasuk perayaan budaya, seperti Imlek.

Memperoleh hak-hak sipil sebagai warga negara sesuai amanat undang-undang, masyarakat Tionghoa kemudian mendapatkan nuansa beragam dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Ada banyak makna yang terkandung di dalam setiap dimensi: perilaku, perasaan, dan pikiran yang bersih menjadi esensi tradisi sosiokultural ini. Seringkali nostalgia masa lalu kembali menyeruak, seolah mengingatkan kembali akan arti penting Imlek, lebih dari sekadar tradisi atau perayaan belaka. Salah satunya adalah nilai toleransi.

"Masa kecil saya adalah masa paling membahagiakan dan tidak terlupakan. Hidup di keluarga multireligi dan multikultur mengajarkan saya bagaimana hidup bertoleransi dan saling menghargai dari usia dini," ujar Putri Indonesia 2018, Sonia Fergina Citra. Selebritas Sonia Fergina Citra (instagram/@soniafergina) Sosok kelahiran Tanjung Pandan, Belitung, 27 April 1993, ini memang tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga multireligi. Sang ayah adalah penganut Konghucu, ibunya beragama Kristen, kakak bagian dari umat Muslim, sedangkan Sonia memilih Katolik sebagai jalan hidup.

Setiap tahunnya, di hari raya masing-masing agama, keluarga Sonia selalu saling mengucapkan dan mengunjungi satu sama lain. Perayaan-perayaan ini akan selalu menjadi kenangan indah karena mereka bisa berkumpul, bersenda gurau, karena mereka merayakan hari tersebut dengan tetap menjaga kerukunan antarsesama.

"Jadi, di dalam keluarga menjalin hubungan dengan orang yang berbeda keyakinan bisa terbilang mudah," katanya.

Orang tua adalah teladan nyata dan sederhana dalam bersikap toleran yang menjadi acuan Sonia cilik. Baik ayah maupun ibunya selalu menerima perbedaan setiap orang, dengan tangan selalu terbuka.

Papa dan mama dari Soni menunjukkan kasih sayang kepada siapapun yang mereka temui, tidak pernah berburuk sangka, dan selalu menghargai perbedaan pendapat. Karena itu, saat masih belia, dia termasuk cepat memahami konsep keberagaman ini karena tidak pernah dibatasi dalam pertemanan. Orang tuanya menanamkan bahwa manusia dinilai dari perbuatan, bukan dari agama, ras, suku, atau pun budayanya.

Sosok yang masuk jajaran Top 20 Miss Universe 2018 ini mencerap nilai toleransi bahwa setiap manusia berbeda dan tidak bisa lepas dari perbedaan. Untuk dapat menghadapinya, bagi Sonia, manusia harus menerima dan menghargai perbedaan, sehingga mampu bekerja sama, tanpa melihat perbedaan.

Soal memaknai perbedaan sejak usia dini, selebritas Olga Lydia juga memiliki cerita sendiri. Pemeran Mila di film "Ave Maryam" ini tumbuh sebagai seorang anak yang tidak pernah menilai perbedaan orang lain.

Awalnya, pemahaman Olga saat kecil adalah semua orang yang tinggal di Pulau Jawa adalah orang Jawa. Karena dia tinggal di Jakarta yang ada di Pulau Jawa, berarti dia menganggap dirinya orang Jawa. Makanya dia sempat protes kalau ada pegawai di rumahnya yang berpamitan pulang ke Jawa.

"Loh, kan kita ini di Jawa, kenapa harus pulang ke Jawa lagi? Harusnya semua orang di Pulau Jawa ini ya orang Jawa,' pikir saya saat itu," kata Olga, tertawa. Ketika menginjak usia sekolah dasar, barulah Olga Lydia menyadari bahwa Indonesia berkarakter multietnis, bahwa tidak semua orang yang tinggal di Pulau Jawa disebut orang Jawa. Meski demikian, model, aktris, presenter dan produser film ini beranggapan tumbuh sebagai seorang anak yang tidak pernah menilai perbedaan setiap orang adalah hal yang baik.

Tidak ada dalam benaknya untuk merasa berbeda, apalagi melihat orang lain berbeda. Pada saat seseorang merasa berbeda, maka belum tentu hal tersebut berdampak positif.


Stigma dan perundungan

Berbicara mengenai stigma dan perundungan, Olga Lydia memiliki penilaian tersendiri. Sebagai sosok yang terlahir dari keluarga Tionghoa, perempuan kelahiran 4 Desember 1976 ini mengaku sempat merasakan stigma dari teman-temannya di masa kecil.

Saat SD, dia sudah menerima ucapan-ucapan bernada rasisme. Di situ Olga merasa bingung dan cenderung denial,

"Kok saya dianggap etnis yang kadang diceletukin tidak enak?'. Tapi beberapa tahun kemudian saya sampai pada satu kesadaran bahwa saya menjadi etnis Tionghoa karena kehendak Tuhan," kata lulusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan Bandung tersebut.

Maka muncullah di pikirannya, anggap saja ini pekerjaan rumah dan tantangan yang diberikan Tuhan. Kalau kita memang percaya Tuhan, ya kita harus terima diri kita dan orang lain.

Senada dengan Olga, Sonia juga sempat mencermati realitas perundungan, bahkan hingga ia tumbuh dewasa. Tetapi Sonia memilih untuk tidak mengacuhkannya dan mempunyai cara untuk menghadapinya.

Sonia kecil juga pernah mengalami perundungan. Akan tetapi kejadian tersebut tidak terlalu signifikan. Malah, perundungan yang dia alami justru terjadi ketika menjadi Putri Indonesia 2018.

Bagi perempuan yang hingga kini terus berkampanye lewat #BeDiverseBeTolerant itu, salah satu senjata dalam menghadapi perundungan adalah kepercayaan diri. Selama perundungan itu tidak menimbulkan kerugian dan melewati batas kewajaran, ya sebaiknya diabaikan saja,.


Moderasi beragama

Semangat kebersamaan dalam bingkai keberagaman masyarakat yang selama ini telah terjalin juga menjadi salah satu agenda utama Pemerintah. melalui Kementerian Agama. Pemerintah Indonesia mengedepankan apa yang dinamakan sebagai penguatan moderasi beragama.

Penguatan ini berpijak pada semangat keagamaan yang tumbuh secara masif dan toleransi sebagai wujud kerukunan dan persatuan dalam keberagaman. Layaknya sebuah pohon besar, moderasi beragama memiliki akar kuat menghunjam, kemudian menumbuhkan empat ranting utama, yaitu kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan kerukunan. Buah manis yang bisa dipetik setiap orang dari pohon besar ini adalah harmoni dan rasa damai.

Dalam konteks umat Konghucu, Pemerintah berupaya menerapkan nilai-nilai moderasi beragama melalui sosialisasi dalam bentuk seminar maupun penguatan kapasitas bagi sumber daya manusia, baik guru, penyuluh, maupun masyarakat akademik di Sekolah Tinggi Konghucu Indonesia di Purwokerto.

Sedangkan dari sisi layanan bimbingan ke masyarakat, Kemenag sudah membuat buku panduan untuk bimbingan perkawinan Konghucu.

"Tahun ini kami upayakan penguatan kapasitas para rohaniwan agar mereka dapat berperan memberikan penasehatan perkawinan," kata Kepala Pusat Bimbingan dan Pendidikan Khonghucu Sekretariat Jenderal Kementerian Agama, Dr. H. Susari.

Kemenag mencatat tantangan yang dihadapi saat ini berada di sektor pendidikan. Masyarakat belum memiliki satuan pendidikan umum yang bercirikan Konghucu. Guna menjawab tantangan itu, Kemenag saat ini tengah menyusun beberapa draf regulasi terkait penyelenggaraan pendidikan Konghucu.

Salah satunya ada belum punya satuan pendidikan dasar dari PAUD sampai SMA. Karena itu tengah disiapkan regulasi peraturan menteri dan yang terkait dengan kurikulum pendidikan Konghucu.

"Kami juga berencana melakukan penguatan kapasitas rohaniwan Konghucu melalui pelatihan-pelatihan terstandar," katanya.

Selain itu, saat ini Pusat Litbang Lektur Khazanah Keagamaan Kementerian Agama juga berkolaborasi dengan Majelis Tinggi Agama Konghucu untuk menyelesaikan proses penerjemahan Kitab Chun Qiu Jing.

Kitab Chun Qiu Jing adalah bagian dari Kitab Wujing yang merupakan kitab suci bagi umat Khonghucu, selain kitab Sishu. Sejak mulai dikerjakan tahun lalu, kitab yang terdiri atas 12 bab itu telah setengah rampung dan diupayakan selesai pada tahun ini. Bila sudah selesai, kitab ini akan dibagikan kepada rohaniwan dan umat Konghucu seluruh Indonesia.


Merawat keberagaman

Tak hanya berharap kebaikan dan keberkahan hidup, Imlek dapat diartikan sebagai momentum merayakan kebersamaan dalam keragaman. Baik Sonia Fergina Citra maupun Olga Lydia, keduanya sama-sama membuncahkan rasa optimistis bahwa semangat mulia tersebut akan selalu terpelihara dengan baik.

Kerukunan hidup antarumat beragama dan antaretnis di Indonesia secara umum sudah relatif membaik. Hal itu terlihat dari terpeliharanya kedamaian dan kerukunan di beberapa daerah, sebagai contoh di Bangka Belitung. Harapan Sonia, semua dapat hidup berdampingan dengan damai dan rukun.

Sedangkan Olga Lydia berharap setiap orang mau untuk mengusahakan, merawat, dan menjaga kebaikan dalam bingkai pluralitas Indonesia. Ia juga ingin mengajak sebanyak mungkin anak muda untuk membuka sekat dan terbiasa dengan perbedaan.

Kita sekarang hidup dalam gelembung-gelembung masing-masing, menghabiskan banyak waktu di sosial media. Ini menyebabkan kehidupan sosial, pertemanan, atau pertemuan kita banyak diatur oleh algoritma komputer. Kita digiring untuk bertemu orang-orang sejenis.

"Saya ingin mengajak sebanyak mungkin anak muda untuk berteman dengan orang yang berbeda. Hal itu akan membuat kita menjadi lebih kaya. Sebab kaya bukan hanya soal uang, tetapi pengalaman itulah yang paling penting," kata Olga, memungkasi.

Merawat keberagaman sejak dini menjadi salah satu pilihan yang bisa diterapkan di setiap lini. Berdamai dengan perbedaan sejatinya menjadi hal paling elementer, hingga akhirnya muncul pemahaman rasa menyayangi ketidaksamaan tadi, lalu mengerucut pada solidaritas dalam rajutan kuat Bhinneka Tunggal Ika.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Merawat keberagaman lewat momentum Imlek

Pewarta : Ahmad Faishal Adnan
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024