Jakarta (ANTARA) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah saat ini masih membahas rencana kenaikan harga bahan bakar minyak jenis Pertalite sebagai respons atas tingginya harga minyak mentah dunia.
 
"(Harga Pertalite) lagi dibahas masih dikoordinasikan dengan Pak Airlangga (Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian)," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif saat diwawancarai usai Sidang Tahunan MPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa.
 
Ia menjelaskan pemerintah harus mengubah peraturan presiden terlebih dahulu sebelum keputusan itu resmi terbit menjadi kebijakan terbaru terkait perubahan harga bahan bakar.
 
Arifin Tasrif menambahkan pemerintah juga akan mensosialisasikan terlebih dahulu mengenai rencana kenaikan harga Pertalite tersebut untuk mengurangi kepanikan berbelanja masyarakat.
 
Sampai Juli 2022 Pertamina melaporkan konsumsi Pertalite telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.
 
Apabila pemerintah menambah kuota BBM subsidi, maka beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp600 triliun. Namun jika pemerintah tidak menambah kuota BBM subsidi, maka kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU yang berpotensi menyulut keresahan sosial.
 
Sebelumnya Ahli Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi sempat mengusulkan agar Pertamina menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax untuk mempersempit disparitas harga antara kedua jenis BBM tersebut.
 
Menurutnya, kebijakan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp1.500 per liter diharapkan akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara sukarela.
 
Lebih lanjut ia menambahkan pemerintah dan Pertamina harus melakukan komunikasi publik secara masif mengenai penggunaan Pertamax yang lebih bagus untuk mesin kendaraan dan lebih irit supaya menarik minat masyarakat agar beralih dari mengonsumsi Pertalite ke Pertamax.


  Arsip - Petugas melayani pengisian BBM di SPBU Tol Sidoarjo 54.612.48, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (11/4/2022).  Pemerintah menetapkan Pertalite sebagai jenis BBM khusus penugasan yang dijual dengan harga Rp7.650 per liter dan Biosolar Rp5.510 per liter, sementara jenis Pertamax harganya disesuaikan untuk menjaga daya beli masyarakat yakni menjadi Rp12.500 per liter di mana Pertamina masih menanggung selisih Rp3.500 dari harga keekonomiannya sebesar Rp16.000 per liter di tengah kenaikan harga minyak dunia. ANTARA FOTO/Zabur Karuru/wsj.



Persempit Disparitas

Ahli Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengusulkan agar Pertamina menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax untuk mempersempit disparitas harga antara kedua jenis BBM tersebut.

"Dengan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan maksimal selisih harga sebesar Rp1.500 per liter. Kebijakan harga ini diharapkan akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela," ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Sabtu.

Komunikasi publik secara masif, kata Fahmy, perlu dilakukan mengenai penggunaan Pertamax yang lebih bagus untuk mesin kendaraan dan lebih irit supaya menarik minat masyarakat untuk beralih dari mengonsumsi Pertalite ke Pertamax.

Sampai Juli 2022, Pertamina melaporkan konsumsi bahan bakar minyak jenis Pertalite telah menembus angka 16,8 juta kiloliter atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota yang ditetapkan tahun ini sebesar 23 juta kiloliter. Angka konsumsi yang tinggi itu membuat kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kiloliter.

Kalau upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil, maka kuota BBM subsidi diproyeksikan jebol paling lama pada akhir Oktober 2022.

Kondisi itu menimbulkan dilema bagi pemerintah yang dalam hal ini adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai bendahara negara, karena jika kuota Pertalite ditambah akan meningkatkan beban APBN untuk subsidi menjadi lebih dari Rp600 triliun.

Namun, jika kuota Pertalite tidak ditambah bisa memicu kelangkaan BBM di berbagai SPBU yang berpotensi menyulut keresahan sosial.

Sementara itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif sejauh ini hanya bisa menghimbau agar orang kaya tidak menggunakan BBM subsidi. Ia beralasan konsumen adalah makhluk rasional yang mempunyai price elasticity akan tetap mengkonsumsi BBM dengan harga lebih murah selama belum ada larangan.

"Arifin melupakan tabung elpiji tiga kilogram tertulis 'hanya untuk orang miskin', faktanya lebih 60 persen konsumen yang bukan miskin tetap mengkonsumsi gas melon karena distribusi terbuka," ucap Fahmy.

Selain memperkecil disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax, lanjut Fahmy, pemerintah harus menetapkan segera Peraturan Presiden yang menegaskan bahwa Pertalite dan Solar hanya untuk sepeda motor dan kendaraan angkutan orang serta angkutan barang untuk mencegah kuota BBM bersubsidi agar tak jebol.

Menurutnya, pembatasan yang tegas dan lugas dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi tersebut.

Fahmy menilai platform MyPertamina tidak akan berhasil membatasi BBM subsidi agar tepat sasaran, bahkan justru menimbulkan ketidaktepatan sasaran dan ketidakadilan bagi konsumen yang tidak punya akses.

"Untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dengan mengeluh dan menghimbau saja. Namun, perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan," pungkasnya.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menteri ESDM: Rencana kenaikan harga Pertalite masih dibahas

Pewarta : Sugiharto Purnama
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024