Jakarta (ANTARA) - Satgas Monkeypox Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan bahwa belum ada kasus terkonfirmasi infeksi cacar monyet (monkeypox) di Indonesia.

"Sampai di hari ini belum terdapat kasus konfirmasi infeksi monkeypox namun pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat harus tetap waspada," ujar Ketua Satgas Monkeypox PB IDI Hanny Nilasari dalam konferensi pers daring yang diikuti di Jakarta, Selasa.

Ia menjelaskan cacar monyet adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang (zoonosis) dengan dua moda transmisi yakni transmisi hewan ke manusia dan transmisi manusia ke manusia.

Transmisi virus monkeypox dari hewan ke manusia, lanjut dia, dapat terjadi melalui kontak dengan cairan tubuh hewan yang terinfeksi atau melalui gigitan.

"Selain itu, kontak dengan daging mentah atau daging setengah matang dari binatang liar juga disebutkan dapat menyebabkan penularan virus monkeypox," tuturnya.

Sementara transmisi manusia ke manusia, Hanny mengatakan, dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh atau lesi kulit pasien yang terinfeksi cacar monyet.

Ia menambahkan, penularan melalui kontak tidak langsung juga dapat terjadi yakni dengan media yang terkontaminasi virus cacar monyet seperti baju, kain, seprai dari pasien yang terinfeksi cacar monyet, dan kontak dengan droplet atau sekret pernapasan dari pasien yang terinfeksi.

"Laporan kasus menyebutkan juga adanya transmisi vertikal dari ibu hamil yang terinfeksi monkeypox pada janin," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, ia mengemukakan, hingga 29 Juli 2022 terdapat 76 negara yang melaporkan kejadian monkeypox di seluruh dunia dengan total kasus konfirmasi sebanyak 22.485 kasus di seluruh dunia.

Di ASEAN, terdapat tiga negara melaporkan kejadian cacar monyet hingga akhir Juli 2022, yakni Singapura 11 kasus konfirmasi, Thailand dua kasus konfirmasi, dan Filipina satu kasus konfirmasi.
 

Guna mencegah masuknya virus cacar air ke Indonesia, ia menyampaikan, Satgas Monkeypox PB IDI meminta pemerintah untuk memperluas dan memperketat skrining pada pintu masuk pelabuhan, bandara, dan pos lintas batas darat negara (PLBDN) dengan melakukan pengawasan terhadap pelaku perjalanan melalui pengamatan suhu, tanda, dan gejala.

"Pada pelaku perjalanan dengan kondisi demam sebaiknya dilakukan pemeriksaan langsung oleh dokter yang bertugas di pelabuhan, bandara, ataupun PLBDN," katanya.

Kemudian, meningkatkan kemampuan laboratorium jejaring dalam diagnosis molekuler spesimen pasien yang dicurigai menderita monkeypox sesuai rekomendasi WHO.

Lalu, meningkatkan edukasi kepada masyarakat terkait epidemi, gejala, cara penularan, dan cara langkah pencegahan pribadi dan masyarakat.

Serta meningkatkan kemampuan dalam identifikasi kontak erat pada pasien suspek dan probable monkeypox. Dan, memberikan informasi terkini kepada masyarakat mengenai situasi monkeypox secara berkala dan transparan untuk mencegah terjadinya kepanikan akibat kesimpangsiuran berita.


 

Ilustrasi - Cacar monyet atau Monkeypox. (ANTARA/HO-Sutterstock)

Sebelumnya Pemerintah mendukung upaya penguatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penyakit cacar monyet atau monkeypox yang sudah menyebar di banyak negara termasuk di kawasan Asia.
 
"Penguatan edukasi dan sosialisasi sangat diperlukan guna meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat di tanah air mengenai penyakit yang saat ini menjadi perhatian global," kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto.
 
Ketika dihubungi dari Jakarta, Senin, Agus menjelaskan bahwa edukasi dan sosialisasi mengenai penyakit cacar monyet perlu diperkuat pada tiga jalur utama.
 
"Pertama, jalur tenaga medis yakni dengan meningkatkan kualitas pengetahuan tenaga kesehatan yang menjadi salah satu garda terdepan dalam penanggulangan penyakit ini di tingkat lapangan," katanya.
 
jalur kedua, kata dia, berupa penyebarluasan informasi kepada seluruh masyarakat melalui kementerian dan lembaga terkait, baik dalam bentuk penyuluhan tatap muka maupun lewat media sosial.

Jalur ketiga, kata dia, adalah penguatan edukasi dan sosialisasi yang dila
kukan oleh pemerintah daerah hingga ke tingkat desa atau kelurahan.
 
"Tentunya berbagai elemen lain juga diharapkan ikut berperan aktif dalam menggencarkan edukasi, termasuk juga media massa," katanya.
 
Agus juga mengingatkan bahwa pada saat ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan status darurat kesehatan untuk kasus cacar monyet secara global.
 
"Karena penyakit cacar monyet saat ini menjadi perhatian internasional maka sosialisasi dan edukasi mengenai penyakit ini kepada masyarakat harus terus digencarkan, dengan demikian masyarakat juga dapat mengetahui mengenai penyakit cacar monyet, cara pencegahan, cara penularan dan cara penanganan," katanya.
 
Sementara itu, sebelumnya, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa dua fasilitas laboratorium sudah siap melakukan penyelidikan epidemiologi cacar monyet, termasuk melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi virus penyebab penyakit yang tergolong sebagai zoonosis tersebut.
 
"Ada dua laboratorium yang sudah siap, yakni di Laboratorium Penelitian Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sri Oemijati BKPK Kemenkes dan di Pusat Studi Satwa Primata IPB, Bogor," kata Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril.
 
Menurut dia, kedua fasilitas laboratorium tersebut sudah siap memeriksa sampel dari pasien-pasien yang diduga terserang cacar monyet guna mendeteksi penularan penyakit sejak dini.
 
Syahril mengatakan bahwa pemerintah akan menambah sepuluh laboratorium di daerah-daerah strategis guna mendukung upaya pelacakan kasus penularan penyakit secara masif.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Satgas Monkeypox IDI: Belum ada kasus cacar monyet di Indonesia

Pewarta : Zubi Mahrofi
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024