Jakarta (ANTARA) - Direktur Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Dwiana Andayani memaparkan bawa tren pengajuan uji praklinik dan uji klinik obat tradisional meningkat di tengah COVID-19.

Berdasarkan data yang dihimpun BPOM, pengajuan protokol uji praklinik dan uji klinik masing-masing hanya sebesar 9 dan 13 pada 2019. Angka uji tersebut kemudian meningkat menjadi 24 dan 15 pada 2020, dan meningkat kembali menjadi 31 dan 30 pada 2021.

“Pada tahun 2020, BPOM menerbitkan aturan terkait teknis pelaksanaan uji klinik obat tradisional selama pandemi COVD-19 dengan kriteria fleksibilitas untuk obat bahan alam. Produk uji klinik diutamakan pengguna bahan baku yang berasal atau tumbuh dan dibudidayakan di Indonesia,” kata Dwiana dalam “Forum Nasional Kemandirian dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi” yang dipantau di Jakarta, Selasa.

Selain itu, bahan baku pada yang sudah digunakan ratusan tahun oleh nenek moyang, tapi tidak dapat tumbuh di Indonesia, juga bisa digunakan sebagai bahan baku untuk produk uji klinik. Begitu pula bahan baku yang diklaim sebagai komplementer pengobatan COVID-19.

“Selain harus memenuhi ketentuan dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Klinik, pelaksanaan uji klinik juga harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang uji klinik,” ucapnya.

Selain itu, di tengah COVID-19, BPOM juga tidak mengharuskan produk-produk empiris yang sudah memiliki Nomor Izin Edar (NIE) dengan klaim dapat menangani COVID-19 untuk melakukan uji praklinik.

Di samping itu, uji praklinik pada manusia dapat menggunakan dosis pada penggunaan empiris.

“Sementara itu, fase I uji klinik tidak harus dilakukan apabila produk berasal dari jamu empiris dan/atau jamu dengan profil keamanan dan manfaat telah sesuai untuk hewan coba. Uji klinik fase II dan III juga dapat digabung,” ucapnya.
 


Pewarta : Sanya Dinda Susanti
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024