Kendari (ANTARA) - Dinas Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Slawesi Tenggara mendorong masyarakat mengembangkan budidaya tanaman nilam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kabid Perkebunan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra, Ihlas Landu, STP, MP di Kendari, Rabu, mengatakan, prospek tanaman nilam di Sultra cukup menjanjikan bagi para petani dalam meningkatkan taraf ekeonomi  sepanjang para warga memiliki lahan yang cukup.

Data Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra (Statstik 2020-red)  disebutkan dua daerah di Sulawesi Tenggara yaitu Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan memiliki lahan tanaman nilam yang paling luas dibandingkan daerah lain.
 
Di Kabupaten Bombana areal tanam nilam saat ini mencapai 2.725 hektare dengan luas panen mencapai 1.111 hektare dengan produksi setelah menjadi minyak bisa mencapai 64,7 kg atau sekitar 71.900 kg dalam batang kering untuk prosese penyulingan.

Kemudian di Kabupaten Konawe Selatan tanam nilam seluas 1.450 hektare dengan luas panen rata-rata 804 hektare, dengan produksi panen 2.380 kg dengan rata-rata setelah menghasilkan minyak 3,0 kg per hektare.

Ia mengatakan, selain dua wilayah kabupaten (Bombana dan Konsel) yang memiliki areal tanaman nilam, juga kabupaten Konawe dan Kolaka justru lebih dulu mengembangkan tanaman nilan dengan produksi jauh lebih besar dari para petani di Bombana dan Konsel.
  Kabid Perkebunan Dinas Perkebunan dan Hortikultura Prov.Sultra, Ihlas Landu, STp,MP. (Foto ANTARA/Azis Senong)

"Bisa dibayangkan bahwa Kolaka hanya memiliki areal 750 hektare dengan luas panen sekitar 95 persen dengan capaian produksi minyak nilam bisa 121,7 kg dalam sekali panen. Begitu juga dengan Konawe dengan areal 246 hektare bisa menghasilkan minyak nilam sebanyak 82,5 kg sekali panen," ujar Ihlas.

Alasan petani Bombana dan Konsel yang produksi nilamnya masih sangat kecil itu salah satu penyebabnya adalah alat mesin yang memproses penyulingan masih sangat terbatas di daerah itu.  
Bahkan setiap panen, banyak yang terbuang percuma, karena proses penyulingan yang dimiliki masyarakat di desa ini masih sangat terbatas alias belum ada.

"Akibatnya hasil panen yang masih dalam bentuk daun setengah kering dijual dengan harga seadanya," kata Syahrudin salah seorang petani di Kecamatan Rumbia Tengah, Bombana saat dihubungi terpisah.

Ia menjelaskan, produksi sekali panen daun nilam di daerah ini mencapai 10 hingga 20 ton yang khusus wilayah Rumbia dan Poleang, sehingga dengan hanya ada satu unit alat penyuling milik warga itu akan tidak mampu melayani petani.

Kapasitas alat penyulingan nilam milik warga di daerah itu sangat terbatas, yakni hanya mampu mengolah daun nilam tidak lebih dari 500 kilogram per hari.

"Biasanya alat penyuling nilam dalam 12 jam hanya mampu melakukan penyulingan sebanyak 700-800 kilogram dan menghasilkan minyak nilam seberat 15-20 kilogram," katanya.

Syahruddin mengatakan pula, terbatasnya jumlah suling tersebut mengakibatkan kualitas produksi minyak nilam tergolong masih rendah. Sebab, daun yang mestinya segera disuling, harus menunggu waktu yang cukup lama sehingga mempengaruhi bau sedap.

"Seharusnya daun nilam yang kering siap disuling, tidak disimpan hingga berminggu-minggu, sebab kualitas minyaknya juga pasti bagus," ujarnya.
 

Pewarta : Abdul Azis Senong
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024