Kendari (ANTARA) - Desa pesisir Boneatiro dan Boneatiro Barat di Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, dapat ditempuh kurang lebih 60 menit dengan menggunakan kendaraan roda empat dari pusat Kota Baubau.
Ketika menapaki jalan desa itu, pelancong akan disuguhkan dengan senyuman warga pesisir seakan menyambut sanak keluarga yang datang dari rantau.
Tak hanya menunjukkan keramahan antarsesama, warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan di daerah itu rupanya juga memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga alam khususnya laut.
Mereka menyadari penuh bahwa laut sebagai habitat ikan yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan baik, sebab jika hal itu tak dilakukan, maka akan berdampak buruk pada hasil tangkapan para nelayan itu sendiri.
Di perairan desa ini dapat ditemukan berbagai macam jenis ikan seperti katamba (lethrinus lentjan), mata besar (priacanthus macracanthus), dan mada (lutjanus vitta).
Upaya menjaga ekosistem bawah laut dalam mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di daerah tersebut, saat ini dilakukan oleh Organisasi Rare Indonesia dengan menggandeng pemerintah setempat.
Rare bersama Dinas Perikanan Buton melibatkan masyarakat pesisir Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat melakukan konservasi ekosistem bawah laut sebagai upaya melestarikan habitat ikan yang menjadi tempat perkembangbiakannya.
Meski demikian, kala wilayah perairan mereka menjadi sasaran dari aksi nelayan daerah lain yang tidak bertanggung jawab yakni menggunakan bom atau peledak saat melaut, menjadi tantangan yang cukup ekstrem bagi warga di kedua desa itu.
Tantangan itu adalah kala nelayan lain datang melaut di perairan Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat dengan menggunakan bahan peledak dalam menangkap ikan, maka saat dilarang juga berpotensi menimbulkan ancaman nyawa bagi masyarakat pesisir tersebut.
Mengancam nyawa
Menjaga laut rupanya tak semudah membalikan telapak tangan, tetapi juga berisiko pada nyawa nelayan itu sendiri. Kisah ini diceritakan oleh seorang nelayan bernama Saidi, pria berusia 39 tahun saat ditemui di kediamannya di Desa Boneatiro.
Sembari ditemani segelas air putih, ia menuturkan bahwa dirinya pernah menemukan orang yang seprofesi dengan dirinya sedang melaut di kawasan perairan desanya.
Pria empat anak ini mengetahui bahwa orang tersebut hendak melakukan bom ikan di daerah itu, namun apalah daya dia yang seorang diri di lautan diperhadapkan dengan orang yang belum diketahui karakternya, apalagi pada malam hari.
Saidi pun mengaku bimbang, jika ia tidak melarang orang tersebut maka keberlangsungan hidup nelayan di desanya akan pupus di tangan nelayan yang hendak melakukan bom itu karena menyebabkan kerusakan biota laut.
Namun, di sisi lain jantung dia berdetak kencang sedikit merasakan keraguan dan ketakutan, jika dia mendekat untuk menghentikan nelayan itu, maka bom akan melayang ke perahu dan dirinya.
Pikiran itu terlintas di benaknya yang penuh kebimbangan. Sehingga keputusan berat dan terpaksa pun dia ambil yaitu meninggalkan orang yang tidak bertanggung jawab itu.
Menurut dia, jika pelaku bom ikan merupakan warga di desanya bukan menjadi suatu kendala bagi dirinya untuk mengingatkan bahwa menangkap ikan dengan bom dapat merusak karang sehingga ikan-ikan tidak dapat berkembang biak.
"Makanya kita setengah matinya di situ, yang menggunakan bom bukan orang dari sini. Kalau dari sini mungkin bisa kita sampaikan secara kekeluargaan, tapi ini orang jauh," ujar dia.
Tak sampai di situ, ia pun terkadang dianggap mata-mata oleh nelayan lainnya. Pria ini mengaku melaut dengan sistem pancing rawe, yaitu cara memancing secara tradisional yang dilakukan sejak menikah pada tahun 2012 silam.
Pria yang ramah dan murah senyum ini berharap hadirnya organisasi Rare Indonesia yang bekerjasama dengan Dinas Perikanan Buton dapat mencegah aksi-aksi yang dapat merusak keberlangsungan hidup ekosistem bawah laut melalui program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) dan kawasan larang ambil (KLA).
Sembari tertawa, dia berkata bahwa mencari ikan di laut bukan mencari tangkapan yang banyak, namun tetap bisa menghidupi keluarga kecilnya.
Ketika maraknya aksi pemboman ikan, ia juga terpaksa turun melaut dari pukul 01.00 WITA dini hari dan kembali pukul 07.00 WITA karena harus melaut di perairan yang cukup jauh.
Namun, setelah adanya program PAAP dan KLA kini, ia turun melaut pukul 03.00 WITA bahkan bisa kembali ke rumah usai memasang rawe dan kemali melihat pancingnya pukul 06.00 WITA, karena lokasinya tak sejauh saat adanya aksi-aksi pemboman.
Senada, Kepala Desa Boneatiro Barat Ilyas mengakui bahwa sebelumnya memang ada nelayan dari luar desa tersebut melakukan bom ketika melaut. Bahkan pada Juli 2021 ada nelayan yang ditangkap lalu diproses secara hukum.
Lalu, seiring dengan berjalannya sampai bulan September 2021 masyarakat tidak lagi menemukan nelayan lain melakukan bom di perairan desa itu.
Sebenarnya harapan masyarakat desa itu tidak mempermasalahkan jika nelayan di luar daerah itu menggunakan alat tangkap yang sama ketika melaut, karena sama-sama mencari kehidupan untuk keluarga masing-masing.
Menurutnya, desanya yang merupakan pemekaran dari Desa Boneatiro pada tahun 2011 silam, merupakan salah satu daerah penyumbang hasil perikanan di Pasar Wameo, Kota Baubau.
Transplantasi karang
Setelah terumbu karang dirusak oleh nelayan daerah lain yang menggunakan bom, kini puluhan nelayan Desa Boneatiro dan Bonaetiro Barat, melakukan pelestarian atau rehabilitasi terumbu karang yang terdegradasi melalui teknik pencangkokan atau transplantasi karang.
Penyuluh Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Buton Sri Hermawaty mengatakan nelayan yang melakukan tranplantasi karang yakni mereka yang tergabung dalam kelompok pengelolaan akses area perikanan (PAAP) yang merupakan program dari Organisasi Rare Indonesia.
Transplantasi karang dilakukan para nelayan yang didampingi pihak Dinas Perikanan dan Organisasi Rare Indonesia yang dilakukan di suatu kawasan yang telah disepakati bersama masyarakat pesisir setempat untuk menjadi kawasan larang ambil (KLA) atau zona larang tangkap.
Kawasan larang tangkap tersebut nantinya akan menjadi tanggung jawab para nelayan yang tergabung dalam kelompok PAAP baik pengurus maupun anggota dalam melakukan pengawasan.
Dalam pengawasan nantinya, sudah ada kapal yang disediakan dari pihak Rare, yang sudah dianggarkan termasuk patok-patok tapal batas zona larang tangkap atau tempat konservasi daerah itu.
Kepala Desa Boneatiro Barat Ilyas menyambut baik program dari Rare Indonesia yakni mendorong nelayan menciptakan ekosistem bawah laut yang berkelanjutan sehingga tercipta habitat ikan.
Sebagai pemerintah desa yang memiliki 155 kepala keluarga (KK), Ilyas sangat mendukung karena warganya notabene 90 persen semua bermata pencaharian atau kehidupannya bergantung dari hasil perikanan.
Alumnus Fakultas Perikanan, Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari ini menilai transplantasi karang memiliki manfaat yang sangat besar terutama terhadap perlindungan habitat ikan yang tentu akan menjadi kawasan perkembangbiakan ikan-ikan nantinya.
Selain itu, tambah dia, transplantasi karang yang kemudian bersamaan dengan kegiatan budidaya rumput laut diperkirakan akan menambah banyak ikan sehingga nelayan bisa menghasilkan banyak tangkapan pula.
Ia mengungkapkan, sebelumnya pihaknya pernah mencoba melakukan budidaya rumput laut dan berjalan empat bulan, yang hasilnya kala itu ikan-ikan besar masuk sampai di karang-karang daerah itu.
La Uma (28), seorang nelayan asal Boneatiro yang mengikuti kegiatan transplantasi karang, mengatakan dirinya berpartisipasi pada kegiatan merawat terumbu karang agar ke depannya ikan-ikan di perairan desa setempat bisa berkembangbiak dengan baik.
Pria satu anak ini mengutarakan harapannya dengan adanya transplantasi karang, ke depannya tidak lagi harus pergi memancing ke tempat yang jauh, namun bisa dilakukan di daerah perairan sekitar desa itu.
"Kalau bisa mancing di daerah sini dan tidak pergi di tempat yang jauh, sampai lewat pulau di depan ini (menunjuk pulau yang ada di depan desanya), kan menghemat bahan bakar juga, tangkapan juga sama saja," kata La Uma.
Perikanan berkelanjutan
Organisasi Rare Indonesia bersama pemerintah Kabupaten Buton mengkampanyekan kawasan zona konservasi laut di daerah Desa Bonaetiro dan Boneatiro Barat agar dapat mempertahankan sistem perikanan berkelanjutan.
Program Manager Rare Indonesia Imanda Hikmat Pradana mengatakan, dalam waktu empat tahun terakhir, pihaknya bersama pemda Sultra telah menjalankan program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) dan kawasan larang ambil (KLA) di 11 kabupaten salah satunya di Kabupaten Buton.
Program PAAP di Sultra telah berjalan sejak 2017 dengan 11 kabupaten pesisir sebagai sasaran implementasi program. Provinsi ini sekaligus menjadi pilot projek perdana mitra implementasi PAAP oleh Rare Indonesia.
PAAP mengedepankan pentingnya mengelola ekosistem secara holistik agar jasa lingkungan dapat terjaga dengan baik.
Program PAAP mendorong masyarakat pesisir di 22 lokasi di Sultra untuk membentuk kelompok, membuat kawasan larang ambil, mendefinisikan kawasan memancingnya, melakukan kegiatan penjangkauan dan melaksanakan kampanye perubahan perilaku salah satunya di Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton.
Program PAAP dan KLA untuk mendorong konservasi wilayah laut dan perikanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, kebijakan tata kelola dan pendanaan berkelanjutan. Secara khusus PAAP diartikan sebagai wilayah yang diizinkan untuk para nelayan melakukan aktivitas tangkap ikan.
Sementara KLA atau zona larang tangkap akan menjadi kawasan konservasi biota laut yang dimana tidak ada seorang pun yang dizinkan melakukan aktifitas melaut di daerah yang telah disepakati secara bersama sebelumnya.
Program itu diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir pada umumnya.
Dengan menjaga terumbu karang, maka itu sama dengan upaya menciptakan habitat ikan yang berkelanjutan bagi anak cucu kita.
Ketika menapaki jalan desa itu, pelancong akan disuguhkan dengan senyuman warga pesisir seakan menyambut sanak keluarga yang datang dari rantau.
Tak hanya menunjukkan keramahan antarsesama, warga yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan di daerah itu rupanya juga memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga alam khususnya laut.
Mereka menyadari penuh bahwa laut sebagai habitat ikan yang perlu dijaga dan dilestarikan dengan baik, sebab jika hal itu tak dilakukan, maka akan berdampak buruk pada hasil tangkapan para nelayan itu sendiri.
Di perairan desa ini dapat ditemukan berbagai macam jenis ikan seperti katamba (lethrinus lentjan), mata besar (priacanthus macracanthus), dan mada (lutjanus vitta).
Upaya menjaga ekosistem bawah laut dalam mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di daerah tersebut, saat ini dilakukan oleh Organisasi Rare Indonesia dengan menggandeng pemerintah setempat.
Rare bersama Dinas Perikanan Buton melibatkan masyarakat pesisir Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat melakukan konservasi ekosistem bawah laut sebagai upaya melestarikan habitat ikan yang menjadi tempat perkembangbiakannya.
Meski demikian, kala wilayah perairan mereka menjadi sasaran dari aksi nelayan daerah lain yang tidak bertanggung jawab yakni menggunakan bom atau peledak saat melaut, menjadi tantangan yang cukup ekstrem bagi warga di kedua desa itu.
Tantangan itu adalah kala nelayan lain datang melaut di perairan Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat dengan menggunakan bahan peledak dalam menangkap ikan, maka saat dilarang juga berpotensi menimbulkan ancaman nyawa bagi masyarakat pesisir tersebut.
Mengancam nyawa
Menjaga laut rupanya tak semudah membalikan telapak tangan, tetapi juga berisiko pada nyawa nelayan itu sendiri. Kisah ini diceritakan oleh seorang nelayan bernama Saidi, pria berusia 39 tahun saat ditemui di kediamannya di Desa Boneatiro.
Sembari ditemani segelas air putih, ia menuturkan bahwa dirinya pernah menemukan orang yang seprofesi dengan dirinya sedang melaut di kawasan perairan desanya.
Pria empat anak ini mengetahui bahwa orang tersebut hendak melakukan bom ikan di daerah itu, namun apalah daya dia yang seorang diri di lautan diperhadapkan dengan orang yang belum diketahui karakternya, apalagi pada malam hari.
Saidi pun mengaku bimbang, jika ia tidak melarang orang tersebut maka keberlangsungan hidup nelayan di desanya akan pupus di tangan nelayan yang hendak melakukan bom itu karena menyebabkan kerusakan biota laut.
Namun, di sisi lain jantung dia berdetak kencang sedikit merasakan keraguan dan ketakutan, jika dia mendekat untuk menghentikan nelayan itu, maka bom akan melayang ke perahu dan dirinya.
Pikiran itu terlintas di benaknya yang penuh kebimbangan. Sehingga keputusan berat dan terpaksa pun dia ambil yaitu meninggalkan orang yang tidak bertanggung jawab itu.
Menurut dia, jika pelaku bom ikan merupakan warga di desanya bukan menjadi suatu kendala bagi dirinya untuk mengingatkan bahwa menangkap ikan dengan bom dapat merusak karang sehingga ikan-ikan tidak dapat berkembang biak.
"Makanya kita setengah matinya di situ, yang menggunakan bom bukan orang dari sini. Kalau dari sini mungkin bisa kita sampaikan secara kekeluargaan, tapi ini orang jauh," ujar dia.
Tak sampai di situ, ia pun terkadang dianggap mata-mata oleh nelayan lainnya. Pria ini mengaku melaut dengan sistem pancing rawe, yaitu cara memancing secara tradisional yang dilakukan sejak menikah pada tahun 2012 silam.
Pria yang ramah dan murah senyum ini berharap hadirnya organisasi Rare Indonesia yang bekerjasama dengan Dinas Perikanan Buton dapat mencegah aksi-aksi yang dapat merusak keberlangsungan hidup ekosistem bawah laut melalui program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) dan kawasan larang ambil (KLA).
Sembari tertawa, dia berkata bahwa mencari ikan di laut bukan mencari tangkapan yang banyak, namun tetap bisa menghidupi keluarga kecilnya.
Ketika maraknya aksi pemboman ikan, ia juga terpaksa turun melaut dari pukul 01.00 WITA dini hari dan kembali pukul 07.00 WITA karena harus melaut di perairan yang cukup jauh.
Namun, setelah adanya program PAAP dan KLA kini, ia turun melaut pukul 03.00 WITA bahkan bisa kembali ke rumah usai memasang rawe dan kemali melihat pancingnya pukul 06.00 WITA, karena lokasinya tak sejauh saat adanya aksi-aksi pemboman.
Senada, Kepala Desa Boneatiro Barat Ilyas mengakui bahwa sebelumnya memang ada nelayan dari luar desa tersebut melakukan bom ketika melaut. Bahkan pada Juli 2021 ada nelayan yang ditangkap lalu diproses secara hukum.
Lalu, seiring dengan berjalannya sampai bulan September 2021 masyarakat tidak lagi menemukan nelayan lain melakukan bom di perairan desa itu.
Sebenarnya harapan masyarakat desa itu tidak mempermasalahkan jika nelayan di luar daerah itu menggunakan alat tangkap yang sama ketika melaut, karena sama-sama mencari kehidupan untuk keluarga masing-masing.
Menurutnya, desanya yang merupakan pemekaran dari Desa Boneatiro pada tahun 2011 silam, merupakan salah satu daerah penyumbang hasil perikanan di Pasar Wameo, Kota Baubau.
Transplantasi karang
Setelah terumbu karang dirusak oleh nelayan daerah lain yang menggunakan bom, kini puluhan nelayan Desa Boneatiro dan Bonaetiro Barat, melakukan pelestarian atau rehabilitasi terumbu karang yang terdegradasi melalui teknik pencangkokan atau transplantasi karang.
Penyuluh Perikanan Dinas Perikanan Kabupaten Buton Sri Hermawaty mengatakan nelayan yang melakukan tranplantasi karang yakni mereka yang tergabung dalam kelompok pengelolaan akses area perikanan (PAAP) yang merupakan program dari Organisasi Rare Indonesia.
Transplantasi karang dilakukan para nelayan yang didampingi pihak Dinas Perikanan dan Organisasi Rare Indonesia yang dilakukan di suatu kawasan yang telah disepakati bersama masyarakat pesisir setempat untuk menjadi kawasan larang ambil (KLA) atau zona larang tangkap.
Kawasan larang tangkap tersebut nantinya akan menjadi tanggung jawab para nelayan yang tergabung dalam kelompok PAAP baik pengurus maupun anggota dalam melakukan pengawasan.
Dalam pengawasan nantinya, sudah ada kapal yang disediakan dari pihak Rare, yang sudah dianggarkan termasuk patok-patok tapal batas zona larang tangkap atau tempat konservasi daerah itu.
Kepala Desa Boneatiro Barat Ilyas menyambut baik program dari Rare Indonesia yakni mendorong nelayan menciptakan ekosistem bawah laut yang berkelanjutan sehingga tercipta habitat ikan.
Sebagai pemerintah desa yang memiliki 155 kepala keluarga (KK), Ilyas sangat mendukung karena warganya notabene 90 persen semua bermata pencaharian atau kehidupannya bergantung dari hasil perikanan.
Alumnus Fakultas Perikanan, Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari ini menilai transplantasi karang memiliki manfaat yang sangat besar terutama terhadap perlindungan habitat ikan yang tentu akan menjadi kawasan perkembangbiakan ikan-ikan nantinya.
Selain itu, tambah dia, transplantasi karang yang kemudian bersamaan dengan kegiatan budidaya rumput laut diperkirakan akan menambah banyak ikan sehingga nelayan bisa menghasilkan banyak tangkapan pula.
Ia mengungkapkan, sebelumnya pihaknya pernah mencoba melakukan budidaya rumput laut dan berjalan empat bulan, yang hasilnya kala itu ikan-ikan besar masuk sampai di karang-karang daerah itu.
La Uma (28), seorang nelayan asal Boneatiro yang mengikuti kegiatan transplantasi karang, mengatakan dirinya berpartisipasi pada kegiatan merawat terumbu karang agar ke depannya ikan-ikan di perairan desa setempat bisa berkembangbiak dengan baik.
Pria satu anak ini mengutarakan harapannya dengan adanya transplantasi karang, ke depannya tidak lagi harus pergi memancing ke tempat yang jauh, namun bisa dilakukan di daerah perairan sekitar desa itu.
"Kalau bisa mancing di daerah sini dan tidak pergi di tempat yang jauh, sampai lewat pulau di depan ini (menunjuk pulau yang ada di depan desanya), kan menghemat bahan bakar juga, tangkapan juga sama saja," kata La Uma.
Perikanan berkelanjutan
Organisasi Rare Indonesia bersama pemerintah Kabupaten Buton mengkampanyekan kawasan zona konservasi laut di daerah Desa Bonaetiro dan Boneatiro Barat agar dapat mempertahankan sistem perikanan berkelanjutan.
Program Manager Rare Indonesia Imanda Hikmat Pradana mengatakan, dalam waktu empat tahun terakhir, pihaknya bersama pemda Sultra telah menjalankan program pengelolaan akses area perikanan (PAAP) dan kawasan larang ambil (KLA) di 11 kabupaten salah satunya di Kabupaten Buton.
Program PAAP di Sultra telah berjalan sejak 2017 dengan 11 kabupaten pesisir sebagai sasaran implementasi program. Provinsi ini sekaligus menjadi pilot projek perdana mitra implementasi PAAP oleh Rare Indonesia.
PAAP mengedepankan pentingnya mengelola ekosistem secara holistik agar jasa lingkungan dapat terjaga dengan baik.
Program PAAP mendorong masyarakat pesisir di 22 lokasi di Sultra untuk membentuk kelompok, membuat kawasan larang ambil, mendefinisikan kawasan memancingnya, melakukan kegiatan penjangkauan dan melaksanakan kampanye perubahan perilaku salah satunya di Desa Boneatiro dan Boneatiro Barat, Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton.
Program PAAP dan KLA untuk mendorong konservasi wilayah laut dan perikanan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, kebijakan tata kelola dan pendanaan berkelanjutan. Secara khusus PAAP diartikan sebagai wilayah yang diizinkan untuk para nelayan melakukan aktivitas tangkap ikan.
Sementara KLA atau zona larang tangkap akan menjadi kawasan konservasi biota laut yang dimana tidak ada seorang pun yang dizinkan melakukan aktifitas melaut di daerah yang telah disepakati secara bersama sebelumnya.
Program itu diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi nelayan kecil dan masyarakat pesisir pada umumnya.
Dengan menjaga terumbu karang, maka itu sama dengan upaya menciptakan habitat ikan yang berkelanjutan bagi anak cucu kita.