Jakarta (ANTARA) - Membaca judul tulisan ini kita menjadi tergiring untuk mengulas tiga kuncinya, yakni pertama: konflik agraria. Kedua, penguatan kelembagaan, dan ketiga adalah mandat konstitusi. Ketiga kata kunci itu merupakan hal yang terkait dan saling memengaruhi satu dengan lainnya.

Berpangkal tolak dari urgensi dan vitalnya mandat konstitusi yang dikaitkan dengan dengan berbagai konflik agraria yang marak terjai saat ini, maka penguatan kelembagaan akan solusi dan merupakan suatu keniscayaan yang sangat urgen untuk dijadikan fokus perhatian kita saat ini.

Konstitusi kita, UUD 1945 dalam pasal 33 ayat (3) mengamanatkan, "Bumi dan air, beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Sangat jelas pesan kebijaksanaan yang tertuang dalam mandat konstitusi ini bahwa sumber daya alam (SDA) yang terkandung di dalamnya haruslah didedikasikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mandat ini kemudian ditindaklanjuti dan dijabarkan lebih lanjut dan rinci dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Dasar Pokok Pokok Agraria, khususnya dalam pasal 2, yang berbunyi pada ayat (1), Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, "Bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".

Sedangkan pada ayat (2), hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk, (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Kemudian (b), menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Selanjutnya (c), menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Pengelolaan dan penyelenggaraan urusan-urusan SDA agraria, dalam kenyataannya hingga kini mengalami degradasi dan permasalahan yang serius dalam berbagai aspeknya.

Akibatnya, harapan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat semakin sulit terwujud. Bahkan, dapat dikatakan "jauh panggang dari api"

Timbul pertanyaan, apa pasalnya? Apa sebabnya? Apa masalahnya? Jawabannya adalah terjadinya "konflik agraria" dan berbagai aspeknya tersebut.

Menurut Prof Maria SW Sumarjono -- Kepala Pusat Pengkajian Hukum Tanah (PPHT) Fakultas Hukum UGM (1995–sekarang), Penasihat Ahli Menteri Negara Agraria/Kepala BPN (1995–2000), dan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (2002–2005) --setidaknya ada empat (4) sumber konflik agraria yang melilit dan membelenggu upaya-upaya mewujudkan harapan "sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keempat sumber konflik agraria tersebut adalah pertama, konflik "interest", kedua: konflik data, ketiga: konflik nilai, dan keempat konflik struktural

Konflik "interest" merupakan konflik antarindividu, sengketa pernyataan dan pemilikan tanah antarpribadi, yang menjadi marak akibat tidak terlaksananya secara menyeluruh, secara lengkap, bidang-bidang tanah yang ada, serta lemahnya kekuatan jaminan kepastian atas sertifikat hak atas tanah yang telah dikeluarkan, yang diindikasikan dengan adanya sertifikat yang kalah dalam perkara sengketa di pengadilan.

Contohnya, sengketa penguasaan dan pemilikan tanah antara individu perorangan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) dan tela diputus perkaranya di PN Baubau, antara lain, putusan PN Baubau Nomor 16/Pdt.G/2018/PN Baubau tahun 2018, yakni sengketa antara penggugat a/n Hj Wa Ode Rukayah melawan tergugat a/n Sahiyah Taslim dkk (sebanyak 7 orang). Ada juga kasus sejenis, yakni putusan PN Baubau Nomor 29/Pdt.G/2018/PN Baubau tahun 2019.

Konflik data, adalah konflik atau sengketa atau masalah yang timbul sebagai akibat perbedaan data-data tentang sumber daya agraria yang diakses dan dikeluarkan oleh berbagai lembaga/institusi yang masing-masing mempunyai kewenangan dan kompetensi dalam mengurus, mengelola sumber daya agraria itu.

Perbedaan data-data sumber daya agraria ini, ujung-ujungnya berakhir menjadi kerugian materi, bahkan tidak jarang berbuah bencana.

Terkait hal ini, Gubernur Sultra, Ali Mazi, seperti dilansir media, meminta instansi terkait mendata ulang izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah, terutama pelanggaran yang dilakukan selama ini. Dia ingin meng-"clear"-kan semua persoalan tersebut supaya tidak menjadi sorotan masyarakat.

Sedangkan Wakil Ketua KPK, La Ode Mohammad Syarif, menilai ada yang salah dengan pengelolaan tambang di Sultra. Ia menyebut IUP jumlahnya ratusan, namun kontribusinya untuk daerah sangat minim. Lebih parahnya lagi, tidak ada dana jaminan reklamasi sehingga kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sangat luar biasa.

Persoalan perizinan dan pengelolaan tambang yang berujung pada sengketa dan masalah lingkungan, bukan saja terjadi di Sultra, akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

Di antaranya, yang ada di Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Provinsi Bangka Belitung (Babel), Sulawesi Tengah (Sulteng), dan daerah lain, di mana lokasi tambang dan kawasan hutan beroperasi.

Apabila hal ini tidak ditangani secara serius dan koordinatif, maka akan semakin memperparah kondisi lingkungan dan akan terjadi konflik yang berkepanjangan, sehingga mandat konstitusi untuk menjadikan sumber daya agraria, berupa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan sulit terwujud.

Konflik nilai, adalah adanya perbedaan-perbedaan persepsi pemahaman terhadap definisi-definisi dan batasan tentang berbagai hal mengenai bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan di dalamnya. Misalnya, menyangkut pengertian mengenai tanah adat, tanah ulayat, hak ulayat, tanah adat, serta banyak istilah-istilah lain yang didefinisikan dan dipahami secara berbeda-beda.

Bahkan, seringkali pemahaman dan definisi itu cenderung menurut kepentingannya masing-masing. Hal itu, juga diperparah lagi bahwa lembaga/institusi yang menangani dan mengelola sumber daya agraria, berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi dan sinkronisasi yang terpadu.

Beberapa contoh kasus yang mengindikasikan terjadinya masalah tersebut, di antaranya sengketa tanah ulayat di Provinsi Jambi, yang melibatkan masyarakat Suku Anak Dalam.

Sengketa tanah ulayat yang terjadi di Papua, yang melibatkan masyarakat suku asli Papua, dan lain-lainnya di berbagai daerah di Tanah Air.

Konflik struktural, adalah akumulasi dari berbagai konflik yang mendera sumber-sumber daya agraria. Konflik struktural ini dimaknai sebagai konflik yang bersumber pada "ego sektoral", di mana masing-masing lembaga/institusi yang mempunyai kewenangan dan yang menangani sumber daya agraria secara sektoral, tanpa koordinasi.

Dalam kaitan sumber daya agraria, setidaknya secara kewenangan ada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kemnenterian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pertanian.

Masing-masing kementerian mempunyai kewenangan sendiri-sendiri dengan dukungan UU-nya sendiri.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan UU RI Nomor 5 tahun 20160, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan UU RI Nomor 41 tahun 1999, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan UU RI Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambangan dan UU RI Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.

Kementerian Perikanan dan Kelautan dengan UU RI Nomor 31 tahun 2004, serta Kementerian Pertanian dengan UU RI Nomor 41 tahun 2009, tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Dengan demikian dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, secara leluasa mereka melaksanakan tugas-tugas tanpa adanya koordinasi yang terpadu, dan terkesan terjadi "ego sektoral" dalam pengelolaan tugas masing-masing.

Kalau mau jujur, sesungguhnya telah sering terjadi benturan kewenangan di lapangan antara lembaga/institusi pengelola sumber daya agraria tersebut.

Benturan yang terjadi ada yang mencuat ke permukaan, namun ada pula yang teredam, tapi membentuk fenomena gunung es, yang sewaktu-waktu bisa meledak dan mencuat ke permukaan.

Hal ini sebagai buah dari "ego sektoral" yang antara lain akibat tumpang tindihnya perizinan, terhambatnya program-program tertentu karena tidak adanya koordinasi dan sinkronisasi antarlembaga/kementerian, yang masing-masing memiliki kewenangan dengan landasan UU yang mendasari pelaksanaan operasional tugas-tugasnya.

Malahan, tidak jarang berujung pada kerusakan lingkungan dalam bentuk bencana alam, seperti banjir, gundulnya kawasan tertentu, dan bencana ekologis lainnya.

Benturan di lapangan itu, tidak jarang terjadi antara kehutanan dengan pertambangan, kehutanan dengan pertanian, kehutanan dengan pemerintah daerah, bahkan dengan masyarakat. Lalu, benturan antara pertambangan dengan pemerintah daerah, dan masyarakat, pertambangan dengan pertanian dan juga dengan masyarakat.

Sedemikian rupa konflik-konflik itu terjadi dan tidak mudah menyelesaikannya, tidak tuntas, dan malah berkepanjangan, yang kian lama makin parah.

Karena itu, dibutuhkan suatu lembaga/institusi yang bisa memayungi dan mengkoordinasikan tugas-tugas yang tercakup dalam bidang sumber daya agraria, sebagaimana mandat konstitusi dalam UUD 1945 pasal 3 (3).

Wujudnya, dalam struktur kepemerintahan saat ini dan ke depan harus ada ada penguatan kelembagaan, yakni urusan portofolio agraria ditangani oleh seorang Menko Agraria dan Kemaritiman yang mengkoordinasikan tugas-tugas dan sektor-sektor yang tercakup dalam pasal 33 ayat (3) UU 1945.

Persoalan agraria itu bukan sekadar persoalan tanah saja sehingga tugas portofolio agraria dalam "payung besar"nya harus dan layak ditangani oleh Kementerian Kooordinator Agraria yang juga mencakup bidang maritim, yang mengkoordinasikan beberapa kementerian seperti pertanahan, tata ruang, kehutanan, pertambangan, termasuk kemaritiman agar tidak lagi terjadi ego sektoral seperti sekarang ini.

Keberadaan Kemenko Agraria dan maritim ini, adalah sebuah mandat konstitusi, agar tidak terjadi lagi "ego sektoral" seperti sekarang ini, yang menimbulkan konflik "interest", konflik data, konflik nilai, dan konflik struktural, yang sulit diurai masalahnya.

Dalam penempatan personel yang mengelola tugas-tugas itu seharusnyan menerapkan prinsip "the right man on the right place", yakni penempatan SDM juga sesuai dengan bidang keahliannya.

*) Dr H AS Tamrin MH adalah pengajar Universitas Muhammadiyah Buton (UM Buton), meraih gelar doktor di Ilmu Pemerintahan program pascasarjana Institut Praja Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Direktur Pemberdayaan Masyarakat dan Kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2009-2011, dan Ketua Umum Pengurus Pusat Alumni Pendidikan Tinggi (Kapti) Agraria 2007-2011.



 

Pewarta : Hernawan Wahyudono
Editor : Hernawan Wahyudono
Copyright © ANTARA 2024