Kendari, Antara Sultra - Harga kakao gelondongan di tingkat pedagang antardaerah di Kota kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) mencapai Rp24.000 per kilogram atau mengalami kenaikan cukup singnifikan dibanding periode yang sama pada bulan sebelumnya berkisar Rp20.000-Rp22.000 per kilogram.
Keterangan dari petugas Pelayanan Informasi Pasar dan Analisa Pasar Hasil Pertanian (PIP-APHP) Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra di Kendari, Jumat menyebutkan, capaian harga kakao yang cukup tinggi itu disebabkan permintaan pasar yang selama ini cukup tinggi baik di pasaran anatarpulau maupun untuk ekspor.
"Capaian harga Rp24.000 per kilogram itu, terjadi pada transaksi penjualan tingkat pedagang antardaerah dengan standar kakao `unfermented` atau kadar air sekitar tujuh persen," ujar Adnan Jaya, petugas PIP-APHP.
Sementara untuk kakao biji kering dengan kadar air di atas sepuluh persen harga pada tingkat pedagang antardaerah mencapai Rp23.000 hingga Rp23.500 per kilogram.
Menurut Adnan, harus diakui bahwa adanya perbedaan harga kakao antara tingkat petani produsen, pedagang pengumpul hingga pada tingkat pedagang antar daerah, merupakan hal biasa terjadi sepanjang itu masih memnuhi syarat penjualan dan pembelian, karena di dalamnya ada hitungan angkutan transportasi.
"Untuk harga ditingkat petani produsen saat ini, kakao dengan kadar air yaang sama dijual masih pada kisaran Rp19.500 hingga Rp20.000 per kilogram, dan pada harga ditingkat pedagang pengumpul mencapai Rp21.500 hingga Rp22.000 per kilogram," imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa harga komoditas perkebunan yang tidak hanya pada kakao yang biasanya mengalami fluktuasi harga juga terjadi pada jenis komoditas unggulan lainnya seperti jambu mete, cengkeh, lada dan kelapa karena sesuai dimana produk perkebunan itu berasal.
Sebagai contoh, harga mete gelondongan yang dihasilkan dari petani di wilayah kepulauan (Muna dan Buton) sedikit lebih tinggi dengan produk mete yang dihasilkan di wilayah daratan seperti di Konawe, Konawe Selatan dan Bomban.
"Biasanya ada selisih perbedaan harga antara produk mete di wilayah kepulauan dan daratan antara Rp2.000 hingga Rp3.500 per kilogram," ujarnya.
Keterangan dari petugas Pelayanan Informasi Pasar dan Analisa Pasar Hasil Pertanian (PIP-APHP) Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sultra di Kendari, Jumat menyebutkan, capaian harga kakao yang cukup tinggi itu disebabkan permintaan pasar yang selama ini cukup tinggi baik di pasaran anatarpulau maupun untuk ekspor.
"Capaian harga Rp24.000 per kilogram itu, terjadi pada transaksi penjualan tingkat pedagang antardaerah dengan standar kakao `unfermented` atau kadar air sekitar tujuh persen," ujar Adnan Jaya, petugas PIP-APHP.
Sementara untuk kakao biji kering dengan kadar air di atas sepuluh persen harga pada tingkat pedagang antardaerah mencapai Rp23.000 hingga Rp23.500 per kilogram.
Menurut Adnan, harus diakui bahwa adanya perbedaan harga kakao antara tingkat petani produsen, pedagang pengumpul hingga pada tingkat pedagang antar daerah, merupakan hal biasa terjadi sepanjang itu masih memnuhi syarat penjualan dan pembelian, karena di dalamnya ada hitungan angkutan transportasi.
"Untuk harga ditingkat petani produsen saat ini, kakao dengan kadar air yaang sama dijual masih pada kisaran Rp19.500 hingga Rp20.000 per kilogram, dan pada harga ditingkat pedagang pengumpul mencapai Rp21.500 hingga Rp22.000 per kilogram," imbuhnya.
Ia juga menambahkan bahwa harga komoditas perkebunan yang tidak hanya pada kakao yang biasanya mengalami fluktuasi harga juga terjadi pada jenis komoditas unggulan lainnya seperti jambu mete, cengkeh, lada dan kelapa karena sesuai dimana produk perkebunan itu berasal.
Sebagai contoh, harga mete gelondongan yang dihasilkan dari petani di wilayah kepulauan (Muna dan Buton) sedikit lebih tinggi dengan produk mete yang dihasilkan di wilayah daratan seperti di Konawe, Konawe Selatan dan Bomban.
"Biasanya ada selisih perbedaan harga antara produk mete di wilayah kepulauan dan daratan antara Rp2.000 hingga Rp3.500 per kilogram," ujarnya.