New York, Amerika Serikat, 12/11 (Antara) - Negara adikuasa Amerika Serikat baru saja melakukan pemilihan umum untuk menunjuk pemimpin baru, dan pengusaha New York Donald Trump terpilih sebagai presiden ke-45 AS.
Akan tetapi, tidak semua pihak menyambut baik terpilihnya Trump sebagai pemimpin baru negeri Paman Sam, bahkan ada penolakan yang datang dari dalam negeri sendiri.
Hal itu karena Trump selama ini dinilai sebagai pribadi yang cenderung sulit ditebak. Dia juga sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengundang kekhawatiran.
Misalnya, Trump saat kampanye sering kali menyampaikan komentar kontroversial, seperti mendeportasi imigran, membangun tembok perbatasan antara AS dan Meksiko, mencegah kaum Muslim masuk wilayah AS, dan mengancam bahwa AS akan meninggalkan sekutu-sekutunya.
Sikap Trump itu tidak hanya mengundang kekhawatiran dari dalam negeri AS, tetapi juga membuat banyak negara lain, termasuk Indonesia, bertanya-tanya mengenai masa depan hubungan dengan AS di bawah pemerintahan baru.
Hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat berjalan dengan baik selama masa pemerintahan Presiden Barack Obama, kata Asisten Wakil Menteri Luar Negeri AS Patrick W. Murphy.
"Kita (RI-AS) mempunyai ikatan yang makin kuat selama bertahun-tahun. Di bawah kepemimpinan Obama, AS telah menyeimbangkan kebijakan dan fokus pada kepentingan di kawasan Asia-Pasifik. Saya pikir hubungan AS dengan Indonesia itu adalah simbol dari keseimbangan itu," ujarnya.
Menurut Murphy, Indonesia merupakan negara yang penting bagi Amerika Serikat, khususnya kawasan Asia Tenggara.
"Kemitraan Indonesia dan AS di bawah Obama telah mencapai banyak hal di berbagai bidang kerja sama. Kami yakin kemitraan ini akan berlanjut pada masa pemerintahan baru di AS. Kita akan meningkatkan hubungan ini, tidak hanya antarpemerintah, tetapi juga antarmasyarakat," kata dia.
Pandangan serupa disampaikan oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia di New York Abdul Kadir Jaelani. Dia meyakini pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan tetap berupaya meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat.
"Kami yakin bahwa pemerintahan Amerika Serikat yang mendatang akan terus berusaha meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-AS yang sudah ada, misalnya di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, termasuk 'people-to-people contact'," kata Kadir.
Menurut dia, pemerintah AS di bawah kepemimpinan siapa pun akan tetap melihat Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga dalam kerja sama regional.
"Kami yakin siapa pun Presiden AS akan tetap memandang Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga Indonesia memiliki arti khusus di kalangan regional, maksud saya di Asia Tenggara," katanya.
Di samping itu, lanjut Kadir, pemerintah AS juga menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu pemain kunci di tingkat global yang dapat bermitra dengan AS untuk membentuk suatu tatanan internasional yang lebih aman dan damai.
Ia menilai hubungan Indonesia dan AS semasa pemerintahan Presiden Barack Obama adalah yang terbaik sepanjang sejarah hubungan kedua negara.
"Jadi, saya rasa harapan kita adalah pemerintahan AS yang mendatang justru melanjutkan hubungan yang sudah baik adanya ini dan dapat ditingkatkan lebih jauh," ucapnya.
Meski demikian, beberapa pihak menilai AS di bawah kepemimpinan Trump akan cenderung menjadi negara yang "inward-looking" (lebih mementingkan urusan dalam negeri) sehingga tidak terlalu mementingkan hubungan luar negeri.
"Saya pikir kita tidak akan mendengar lagi istilah 'mendekat ke Asia' dari pemerintah AS, seperti kebijakan luar negeri Obama selama ini," kata Jonathan Cristol, pengamat hubungan internasional dari World Policy Institute.
Menurut Cristol, dengan melihat latar belakang Trump yang adalah seorang pebisnis dan tidak berpengalaman dalam politik maupun diplomasi, Presiden AS terpilih itu dinilai kurang mampu mengolah masalah hubungan dan kebijakan luar negeri yang pada dasarnya rumit.
"Jadi, terkait dengan urusan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan Asia, termasuk Indonesia, saya kira dia (Trump) tidak punya rencana jangka panjang untuk hal ini," ujarnya.
Selain itu, lanjut Cristol, ada beberapa sifat dan karakter tidak baik Trump yang membuatnya menjadi pribadi yang tidak disukai oleh banyak pihak.
Akan tetapi, pengamat politik dari Cato Institute (sebuah organisasi think tank peneliti kebijakan publik Amerika Serikat) David Boaz berpendapat bahwa Trump akan menyesuaikan diri dan berusaha untuk bersikap lebih baik ketika menjabat sebagai seorang presiden.
Terkait dengan kebijakan-kebijakan kontroversial yang Trump sampaikan selama masa kampanye pemilihan presiden, Boaz mengatakan bahwa tidak semua pemikiran kebijakan itu akan benar-benar dilaksanakan oleh Trump ketika menjabat sebagai presiden.
Sehubungan dengan kemampuan Trump untuk membuat kebijakan yang baik, pengamat politik Cato Institute itu mengaku tidak khawatir karena dia yakin Trump tentu akan mendapat bantuan dari para sekretaris (menteri)-nya.
"Misalnya, Trump selama ini sangat tidak konsisten ketika dia berbicara tentang arah kebijakan luar negeri AS. Namun, tentu dia nanti akan mendapat bantuan dan masukan dari para sekretarisnya untuk membuat keputusan dan kebijakan yang diperlukan," jelasnya.
Pada tahun 2017, para warga AS tentu akan menghadapi adanya kepala negara baru di negara itu, dan banyak hal yang masih belum diketahui tentang arah kebijakan dan hubungan luar negeri AS pada masa depan.
Namun, hal itu wajar karena Pemilu AS baru saja selesai, dan Donald Trump bahkan belum dilantik secara resmi untuk menjadi presiden ke-45 AS.
"Pemilihan AS baru saja selesai. Kita juga belum tahu kebijakannya akan seperti apa dan arahnya ke mana. Jadi, mungkin terlalu dini untuk memprediksi tentang arah kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Donald Trump," kata Boaz.
Akan tetapi, tidak semua pihak menyambut baik terpilihnya Trump sebagai pemimpin baru negeri Paman Sam, bahkan ada penolakan yang datang dari dalam negeri sendiri.
Hal itu karena Trump selama ini dinilai sebagai pribadi yang cenderung sulit ditebak. Dia juga sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengundang kekhawatiran.
Misalnya, Trump saat kampanye sering kali menyampaikan komentar kontroversial, seperti mendeportasi imigran, membangun tembok perbatasan antara AS dan Meksiko, mencegah kaum Muslim masuk wilayah AS, dan mengancam bahwa AS akan meninggalkan sekutu-sekutunya.
Sikap Trump itu tidak hanya mengundang kekhawatiran dari dalam negeri AS, tetapi juga membuat banyak negara lain, termasuk Indonesia, bertanya-tanya mengenai masa depan hubungan dengan AS di bawah pemerintahan baru.
Hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat berjalan dengan baik selama masa pemerintahan Presiden Barack Obama, kata Asisten Wakil Menteri Luar Negeri AS Patrick W. Murphy.
"Kita (RI-AS) mempunyai ikatan yang makin kuat selama bertahun-tahun. Di bawah kepemimpinan Obama, AS telah menyeimbangkan kebijakan dan fokus pada kepentingan di kawasan Asia-Pasifik. Saya pikir hubungan AS dengan Indonesia itu adalah simbol dari keseimbangan itu," ujarnya.
Menurut Murphy, Indonesia merupakan negara yang penting bagi Amerika Serikat, khususnya kawasan Asia Tenggara.
"Kemitraan Indonesia dan AS di bawah Obama telah mencapai banyak hal di berbagai bidang kerja sama. Kami yakin kemitraan ini akan berlanjut pada masa pemerintahan baru di AS. Kita akan meningkatkan hubungan ini, tidak hanya antarpemerintah, tetapi juga antarmasyarakat," kata dia.
Pandangan serupa disampaikan oleh Konsul Jenderal Republik Indonesia di New York Abdul Kadir Jaelani. Dia meyakini pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump akan tetap berupaya meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat.
"Kami yakin bahwa pemerintahan Amerika Serikat yang mendatang akan terus berusaha meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-AS yang sudah ada, misalnya di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, termasuk 'people-to-people contact'," kata Kadir.
Menurut dia, pemerintah AS di bawah kepemimpinan siapa pun akan tetap melihat Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga dalam kerja sama regional.
"Kami yakin siapa pun Presiden AS akan tetap memandang Indonesia sebagai mitra strategis, tidak hanya dalam konteks kerja sama bilateral, tetapi juga Indonesia memiliki arti khusus di kalangan regional, maksud saya di Asia Tenggara," katanya.
Di samping itu, lanjut Kadir, pemerintah AS juga menyadari bahwa Indonesia adalah salah satu pemain kunci di tingkat global yang dapat bermitra dengan AS untuk membentuk suatu tatanan internasional yang lebih aman dan damai.
Ia menilai hubungan Indonesia dan AS semasa pemerintahan Presiden Barack Obama adalah yang terbaik sepanjang sejarah hubungan kedua negara.
"Jadi, saya rasa harapan kita adalah pemerintahan AS yang mendatang justru melanjutkan hubungan yang sudah baik adanya ini dan dapat ditingkatkan lebih jauh," ucapnya.
Meski demikian, beberapa pihak menilai AS di bawah kepemimpinan Trump akan cenderung menjadi negara yang "inward-looking" (lebih mementingkan urusan dalam negeri) sehingga tidak terlalu mementingkan hubungan luar negeri.
"Saya pikir kita tidak akan mendengar lagi istilah 'mendekat ke Asia' dari pemerintah AS, seperti kebijakan luar negeri Obama selama ini," kata Jonathan Cristol, pengamat hubungan internasional dari World Policy Institute.
Menurut Cristol, dengan melihat latar belakang Trump yang adalah seorang pebisnis dan tidak berpengalaman dalam politik maupun diplomasi, Presiden AS terpilih itu dinilai kurang mampu mengolah masalah hubungan dan kebijakan luar negeri yang pada dasarnya rumit.
"Jadi, terkait dengan urusan hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan Asia, termasuk Indonesia, saya kira dia (Trump) tidak punya rencana jangka panjang untuk hal ini," ujarnya.
Selain itu, lanjut Cristol, ada beberapa sifat dan karakter tidak baik Trump yang membuatnya menjadi pribadi yang tidak disukai oleh banyak pihak.
Akan tetapi, pengamat politik dari Cato Institute (sebuah organisasi think tank peneliti kebijakan publik Amerika Serikat) David Boaz berpendapat bahwa Trump akan menyesuaikan diri dan berusaha untuk bersikap lebih baik ketika menjabat sebagai seorang presiden.
Terkait dengan kebijakan-kebijakan kontroversial yang Trump sampaikan selama masa kampanye pemilihan presiden, Boaz mengatakan bahwa tidak semua pemikiran kebijakan itu akan benar-benar dilaksanakan oleh Trump ketika menjabat sebagai presiden.
Sehubungan dengan kemampuan Trump untuk membuat kebijakan yang baik, pengamat politik Cato Institute itu mengaku tidak khawatir karena dia yakin Trump tentu akan mendapat bantuan dari para sekretaris (menteri)-nya.
"Misalnya, Trump selama ini sangat tidak konsisten ketika dia berbicara tentang arah kebijakan luar negeri AS. Namun, tentu dia nanti akan mendapat bantuan dan masukan dari para sekretarisnya untuk membuat keputusan dan kebijakan yang diperlukan," jelasnya.
Pada tahun 2017, para warga AS tentu akan menghadapi adanya kepala negara baru di negara itu, dan banyak hal yang masih belum diketahui tentang arah kebijakan dan hubungan luar negeri AS pada masa depan.
Namun, hal itu wajar karena Pemilu AS baru saja selesai, dan Donald Trump bahkan belum dilantik secara resmi untuk menjadi presiden ke-45 AS.
"Pemilihan AS baru saja selesai. Kita juga belum tahu kebijakannya akan seperti apa dan arahnya ke mana. Jadi, mungkin terlalu dini untuk memprediksi tentang arah kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Donald Trump," kata Boaz.