Jakarta (ANTARA News) - Anggota Ombudsman RI Dr Laode Ida menilai,
desakan agar Presiden Jokowi segera melakukan "reshuffle" atau
perombakan kabinet sangat kental dengan kepentingan akomodasi kelompok
politisi daripada perbaikan kinerja pemerintahan.
Berbicara dengan wartawan di Jakarta, Senin, Laode mengemukakan, desakan "reshuffle" terasa sangat kental dengan kepentingan politis, sementara hasil survei terakhir menunjukkan kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Jk kini tengah menanjak.
Jika hasil survei Marketing Research Concultant (MRC) yang dipimpin Saiful Mujani valid, maka yang perlu dilakukan bukan mengganti menteri, melainkan sebaliknya memberi apresiasi karena para menteri telah berada dalam tim yang menjadikan masyarakat puas atas kinerja mereka.
"Kalau masih ada kinerja menteri yang kurang bagus, maka yang perlu dilakukan ialah adanya perbaikan. Jangan juga membayangkan kalau penggantian menteri akan otomatis bisa menggenjot kinerja kabinet. Bahkan bukan mustahil terjadi sebaliknya, yakni kinerja yang memburuk," tuturnya.
Alasannya, menururt dia, pertama adalah bahwa figur baru harus melakukan penyesuaian dengan program dan lingkungan kerjanya, sehingga niscaya akan memakan waktu lagi untuk bisa bekerja dalam ritme birokrasi kementerian/lembaga.
Kedua, tahun produktivitas kerja bagi para pejabat politik relatif tinggal beberapa bulan lagi. Pada 2017 nanti para pejabat, termasuk menteri dari parpol akan mulai sibuk melakukan konsolidasi bagi kepentingan parpol dan dirinya menghadapi pemilu (legislatif dan presiden) tahun 2019.
Maka, jabatan sebagai menteri bukan mustahil hanya akan dijadikan lahan atau sumber untuk mengisi "pundi-pundi" parpol dan pribadinya untuk bertarung pada 2019.
"Begitu juga dengan loyalitas para menteri yang boleh jadi akan kian terbagi. Ada yang loyal kepada Presiden dan ada yang setia kepada pimpinan parpolnya. Lalu, apakah dapat diyakini bisa memperbaiki kinerja dengan kecenderungan seperti itu?" imbuh Laode.
Anggota Ombudsman itu juga mengingatkan Presiden terkait komitmen atau janji politiknya untuk tidak akan membagi-bagi jatah jabatan menteri sebagai kompensasi dukungan politik, apalagi juga berjanji akan menghadirkan kabinet yang profesional.
Selain itu, perlu diingat komitmen terhadap partai-partai politik yang memberi dukungan sejak awal. Mereka tidak boleh dikecewakan atau disingkirkan hanya dengan alasan berbagi pada parpol yang memberi dukungan belakangan.
Lebih dari itu, parpol pendukung dan kadernya yang ada di kabinet sampai saat ini tetap menunjukkan derajat loyalitas yang tinggi kepada Presiden, sementara sebagian parpol yang belakangan memberi dukungan berada pada posisi berhadapan, bahkan tidak sedikit yang secara terbuka menyerang saat kampanye Pilpres 2014.
"Secara pribadi saya memiliki sejumlah catatan parpol dan kader-kadernya yang begitu kasar menyerang Jokowi, namun kini terkesan minta jatah di kabinet melalui reshuffle," tambah Laode.
Maka, lanjutnya, sangat masuk akal jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberi isyarat agar Presiden menghargai loyalitas partai yang sejak awal mendukung Jokowi-Jk, termasuk sejumlah kadernya yang saat ini duduk di kabinet.
Kendati begitu bukan berarti Presiden tidak bisa melakukan reshuffle. Pertama, karena penggantian kabinet adalah hak prerogatifnya. Kedua, beberapa figur memang lebih terkesan belum matang dan kerap membuat masalah di publik seperti ditunjukkan dengan kebijakan atau pernyataannya yang kontroversial.
"Ketiga, jika pun terjadi penggantian menteri, maka akan lebih tepat memasukkan figur-figur yang profesional independen, sehingga loyalitasnya bisa tunggal, yakni hanya untuk mengabdi dengan membantu Presiden," demikian Laode.
Berbicara dengan wartawan di Jakarta, Senin, Laode mengemukakan, desakan "reshuffle" terasa sangat kental dengan kepentingan politis, sementara hasil survei terakhir menunjukkan kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Jk kini tengah menanjak.
Jika hasil survei Marketing Research Concultant (MRC) yang dipimpin Saiful Mujani valid, maka yang perlu dilakukan bukan mengganti menteri, melainkan sebaliknya memberi apresiasi karena para menteri telah berada dalam tim yang menjadikan masyarakat puas atas kinerja mereka.
"Kalau masih ada kinerja menteri yang kurang bagus, maka yang perlu dilakukan ialah adanya perbaikan. Jangan juga membayangkan kalau penggantian menteri akan otomatis bisa menggenjot kinerja kabinet. Bahkan bukan mustahil terjadi sebaliknya, yakni kinerja yang memburuk," tuturnya.
Alasannya, menururt dia, pertama adalah bahwa figur baru harus melakukan penyesuaian dengan program dan lingkungan kerjanya, sehingga niscaya akan memakan waktu lagi untuk bisa bekerja dalam ritme birokrasi kementerian/lembaga.
Kedua, tahun produktivitas kerja bagi para pejabat politik relatif tinggal beberapa bulan lagi. Pada 2017 nanti para pejabat, termasuk menteri dari parpol akan mulai sibuk melakukan konsolidasi bagi kepentingan parpol dan dirinya menghadapi pemilu (legislatif dan presiden) tahun 2019.
Maka, jabatan sebagai menteri bukan mustahil hanya akan dijadikan lahan atau sumber untuk mengisi "pundi-pundi" parpol dan pribadinya untuk bertarung pada 2019.
"Begitu juga dengan loyalitas para menteri yang boleh jadi akan kian terbagi. Ada yang loyal kepada Presiden dan ada yang setia kepada pimpinan parpolnya. Lalu, apakah dapat diyakini bisa memperbaiki kinerja dengan kecenderungan seperti itu?" imbuh Laode.
Anggota Ombudsman itu juga mengingatkan Presiden terkait komitmen atau janji politiknya untuk tidak akan membagi-bagi jatah jabatan menteri sebagai kompensasi dukungan politik, apalagi juga berjanji akan menghadirkan kabinet yang profesional.
Selain itu, perlu diingat komitmen terhadap partai-partai politik yang memberi dukungan sejak awal. Mereka tidak boleh dikecewakan atau disingkirkan hanya dengan alasan berbagi pada parpol yang memberi dukungan belakangan.
Lebih dari itu, parpol pendukung dan kadernya yang ada di kabinet sampai saat ini tetap menunjukkan derajat loyalitas yang tinggi kepada Presiden, sementara sebagian parpol yang belakangan memberi dukungan berada pada posisi berhadapan, bahkan tidak sedikit yang secara terbuka menyerang saat kampanye Pilpres 2014.
"Secara pribadi saya memiliki sejumlah catatan parpol dan kader-kadernya yang begitu kasar menyerang Jokowi, namun kini terkesan minta jatah di kabinet melalui reshuffle," tambah Laode.
Maka, lanjutnya, sangat masuk akal jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memberi isyarat agar Presiden menghargai loyalitas partai yang sejak awal mendukung Jokowi-Jk, termasuk sejumlah kadernya yang saat ini duduk di kabinet.
Kendati begitu bukan berarti Presiden tidak bisa melakukan reshuffle. Pertama, karena penggantian kabinet adalah hak prerogatifnya. Kedua, beberapa figur memang lebih terkesan belum matang dan kerap membuat masalah di publik seperti ditunjukkan dengan kebijakan atau pernyataannya yang kontroversial.
"Ketiga, jika pun terjadi penggantian menteri, maka akan lebih tepat memasukkan figur-figur yang profesional independen, sehingga loyalitasnya bisa tunggal, yakni hanya untuk mengabdi dengan membantu Presiden," demikian Laode.