Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir melontarkan wacana tentang ikhtiar mendatangkan pakar dari luar negeri untuk menjadi rektor di perguruan tinggi negeri guna mendongkrak mutu hingga ke kelas dunia.

         Sebagai sebuah wacana, ide mengimpor rektor asing itu pun menangguk pro dan kontra. Para penentangnya berargumen bahwa maju tidaknya sebuah lembaga pendidikan tinggi bukan semata karena kualitas rektor, tapi kualitas dosen dan penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai.

         Dalam perspektif pihak penentang ide tentang impor rektor itu, justru pemberian otonomi yang riil dan pendanaan yang mencukupilah yang bisa mendongkrak kualitas perguruan tinggi.

         Sementara kubu yang mendukung berpendapat bahwa mengimpor rektor itu perlu dicoba dengan sejumlah catatan. Langkah awal yang perlu dilakukan Menristek dan Dikti adalah menetapkan kriteria kemampuan rektor yang dibutuhkan.

         Setelah menemukan sosok yang memenuhi syarat, dipilihlah satu atau dua perguruan tinggi negeri yang dijadikan kelinci percobaan untuk dipimpin oleh rektor asing tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, entah tiga atau empat tahun, dilihat seberapa jauh kemajuan yang dicapai.

         Tampaknya, pandangan yang mendukung ide mengenai impor rektor itu lebih bisa diterima karena di sana terbuka untuk menguji kemungkinan keberhasilan atau kegagalan sebuah ide baru.

         Di era persaingan global ini, keterbukaan untuk menerima orang asing berkiprah di ranah domestik tak perlu ditanggapi dengan menutup diri. Bukankah impor rektor itu bukan sesuatu yang benar-benar baru, dalam arti sudah ada beberapa negara yang menerapkannya.

         Malahan dalam ranah sepak bola ide mengundang pelatih asing untuk melatih tim nasional sudah menjadi fenomena lumrah. Terbukti bahwa nasionalisme tak serta merta meredup dengan kedatangan pelatih sepak bola dari luar negeri untuk memimpin tim sepak bola nasional.

         Para pelatih dan rektor yang profesional sadar bahwa ketika mereka dikontrak oleh negara lain, mereka harus membuktikan profesionalitas mereka. Mereka tak akan melakukan tindakan bodoh dengan memerosotkan nilai-nilai nasionalisme dari pihak pengundang mereka.

         Sebenarnya, ukuran kualitas persepakbolaan, pengajaran di perguruan tinggi sudah bisa dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Semakin naik peringkat yang diperoleh sebuah persatuan sepak bola nasional atau perguruan tinggi sebuah bangsa, semakin berkualitaslah persatuan sepak bola dan perguruan tinggi itu.

         Jika ada pelatih asing yang bisa membawa timnas sepak bola Indonesia menembus kualifikasi Piala Dunia lewat kompetisi di level Asia, itulah ukuran sukses sang pelatih. Begitu juga dengan peringkat perguruan tinggi. Jika ada rektor asing yang berhasil membawa perguruan tinggi negeri Indonesia menjadi 500 besar perguruan tinggi kaliber internasional, rektor asing itu memperlihatkan keberhasilan yang diharapkan.

         Yang jadi masalah, rektor perguruan tinggi di sini punya sejarah yang berkelindan dengan aksi politis. Bukankah Forum Rektor, yang merupakan wadah pertemuan para rektor di Indonesia, beberapa kali berkiprah dalam arena politik, dengan memperlihatkan sikap-sikap politiknya ketika negeri ini dilanda krisis politik.

         Jika menimbang bahwa forum itu bukanlah wadah yang mewajibkan setiap rektor untuk menjadi anggota di sana, tak perlulah dirisaukan persoalan yang beraroma politis itu. Bukankah tujuan prinsip mendatangkan rektor itu adalah untuk kepentingan profesional ilmiah dan bukan untuk urusan politis?

         Mendatangkan orang asing untuk memimpin sebuah lembaga milik bangsa seperti perguruan tinggi negeri atau institusi persepakbolaan nasional memang selalu mengandung sisi negatif. Sedikitnya peluang anak bangsa untuk mengisi lowongan yang ditempati orang asing itu jadi terkunci.

         Namun, pada saat bersamaan, ketika orang asing itu berkiprah di sini, terjadilah apa yang disebut sebagai transfer pengetahuan. Mereka yang bekerja sebagai asisten dari orang asing itu bisa mengambil pelajaran bagaimana cara orang asing itu mempraktikkan keahliannya.

         Di samping itu, mengundang rektor asing bukanlah keputusan permanen yang tak bisa dihentikan sewaktu-waktu. Dengan demikian, segi positif mengundang rektor asing lebih besar dibandingkan segi negatifnya.

         Dari rektor asing itu barangkali para akademisi di Tanag Air bisa banyak belajar tentang pentingnya sikap demokratis, tegas, menjauhi primordialisme dalam memimpin sebuah perguruan tinggi yang ditarget menjadi berkelas internasional.

         Tak perlu dimungkiri bahwa sebagian dari kalangan pemimpin di lingkungan lembaga milik negara masih mengidap sikap-sikap politis sektarian primordial dalam menjalankan kepemimpinan.

         Unsur kedekatan atau kesamaan etnisitas dan religiositas sering menjadi bahan pertimbangan dalam mengangkat pejabat di bawahnya sehingga profesionalisme yang mestinya dikedepankan malah terkesampingkan.

         Siapa tahu dengan adanya rektor asing maka banyak orang dari kalangan perguruan tinggi bisa mengambil hikmah yang bernilai.

         Mengundang rektor asing untuk memimpin perguruan tinggi negeri tak harus dimaknai sebagai pelecehan terhadap kemampuan anak bangsa sebagaimana dilontarkan kalangan yang tak sepakat dengan gagasan Menristek dan Dikti itu.

         Bukankah hanya satu dua perguruan tinggi yang diujicobakan untuk dipimpin oleh rektor yang didatangkan dari luar negeri? Sungguh afdal jika rektor yang diimpor itu adalah orang-orang yang bepengalaman dalam memajukan perguruan tinggi di sejumlah negara.

         Tampaknya, upaya mendatangkan rektor asing itu perlu juga dibarengi dengan mengundang profesor asing yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan sains di sini.

         Sejumlah pakar Indonesia seperti Muhamad Chatib Basri telah diundang menjadi guru besar di luar negeri. Bahkan profesor ekonomi Iwan Jaya Azis telah lama direkrut universitas terkemuka di AS. Jadi tak perlulah khawatir mengundang orang asing untuk berkiprah di lembaga-lembaga strategis di Tanah Air.

Pewarta : M Sunyoto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024