Jakarta (Antara News) - Calon tunggal Kepala Kepolisian RI (Kapolri) untuk menggantikan Jenderal Pol Badrodin Haiti yang memasuki masa pensiun pada 1 Agustus 2016, Komjen Pol Tito Karnavian, memiliki segudang prestasi dan rekam jejak yang baik.

         Prestasinya di lingkungan Polri itu diawalinya ketika dia meraih bintang Adhi Makayasa, penghargaan khusus bagi lulusan terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1987.

         Setelah resmi berkarir di kepolisian, prestasi demi prestasi diukirnya. Di antara prestasi gemilang itu adalah keberhasilan tim Kobra yang dipimpinnya menangkap Tommy Soeharto serta menghentikan sepak-terjang dua gembong teroris asal Malaysia, Dr. Azahari Husin dan Noordin M. Top, yang kerap merepotkan Indonesia pada 2000-an.

         Di samping kinerjanya yang sangat baik sebagai perwira Polri itu, penyandang gelar doktor dari Sekolah Studi Internasional Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang, Singapura, ini juga terbukti piawai dalam menghadapi wartawan asing.

         Kepiawaiannya itu dia tunjukkan tatkala meladeni wawancara eksklusif Mark Davis, wartawan investigatif stasiun televisi SBS Australia, di rumah dinasnya selaku Kapolda Papua pada Mei 2014. Momen yang disaksikan langsung Antara itu memunculkan kesan bahwa Tito Karnavian merupakan sosok yang cerdas dan tegas.

         Kecerdasan dan ketegasan pria kelahiran Sumatera Selatan, 26 Oktober 1964, itu tercermin dari caranya merespons pertanyaan maupun jawaban-jawaban yang dia berikan atas berbagai pertanyaan Mark Davis tentang kondisi Papua, khususnya isu pelanggaran HAM dan pelaksanaan demokrasi yang terkait dengan penanganan demonstrasi para pihak yang menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

         Selaku Kapolda Papua, Tito Karnavian yang saat itu masih berpangkat Inspektur Jenderal dengan tangkas menjawab semua pertanyaan wartawan kawakan Australia yang telah menyabet berbagai penghargaan bergengsi di negaranya, termasuk Gold Walkley, dalam bahasa Inggris yang mumpuni.

         Dengan penguasaan bahasa Inggris yang demikian baik itu, yang terbangun dari wawancaranya dengan Mark Davis yang berlangsung selepas magrib di ruang bagian belakang rumah dinas Kapolda Papua selama sekitar satu jam adalah sebuah dialog yang hidup.

         Jurnalis Australia yang pengalaman dan hasil liputannya di Papua pada 1990-an telah diterbitkan jurnal ilmiah "Pacific Journalism Review" di bawah judul "Blood on the Cross" (2000) itu berupaya menggali informasi yang dirasanya penting untuk melengkapi bingkai pemberitaan yang hendak dibangunnya dalam wawancaranya dengan Tito Karnavian.

    
                                                                                    Sosok yang Tepat
         Dipandang dari berbagai prestasi sejak di Akpol dan sepanjang karirnya selaku perwira Polri serta kepiawaiannya menghadapi jurnalis sekelas Mark Davis seperti yang dia tunjukkan pada Mei 2014 itu, penilaian Presiden Joko Widodo bahwa Tito adalah sosok yang tepat untuk memimpin Polri tidaklah berlebihan.

         Menurut Kepala Negara, sosok yang pernah memimpin Densus 88 /Antiteror Polri serta Polda Papua dan Polda Metro Jaya sebelum kemudian diangkat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini  "cerdas" serta memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik.

         Di tangannya, Presiden Joko Widodo menitipkan tugas untuk meningkatkan profesionalisme Polri dengan melakukan reformasi internal sehingga, dengan demikian, pelayanan dan perlindungan terhadap warga masyarakat diharapkan semakin baik dan tak ada lagi anggota Polri yang terjerat kasus korupsi.

         Keterlibatan oknum anggota Polri dalam tindak kejahatan korupsi telah banyak diulas media. Pada 2010 misalnya, publik Tanah Air pernah dihebohkan oleh pemberitaan media massa tentang laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang transaksi mencurigakan di rekening sejumlah perwira Polri.

         Dalam tiga tahun terakhir, media nasional berulang kali menyoroti sepak terjang Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus yang dilaporkan PPATK merupakan pemilik rekening bank senilai Rp1,5 triliun. Perihal kepemilikan rekening gendut oknum polisi yang pernah bertugas di Polres Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, itu pada mulanya juga diumumkan oleh Tito Karnavian saat masih menjadi Kapolda Papua pada 14 Mei 2013.  

         Rangkaian kasus rekening gendut yang menimpa sejumlah oknum anggota Polri ini merupakan bagian dari pekerjaan rumah yang dititipkan Presiden Joko Widodo kepada Tito Karnavian jika DPR RI menerima usul Kepala Negara guna membenahi internal kepolisian.

         Keputusan Kepala Negara untuk mengajukan Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri itu bukan tanpa kritik. Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, misalnya, menilai penunjukan Tito Karnavian akan berdampak kurang baik bagi sistem kaderisasi Polri mengingat ada lima angkatan yang lebih senior daripada Tito yang bisa dipertimbangkan menjadi Kapolri.

         Pane tidak menampik bahwa keputusan tentang pencalonan Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri itu merupakan hak prerogatif Presiden, namun Kepala Negara juga selayaknya memperhatikan jenjang karir dan kepangkatan seperti yang diamanatkan Pasal 11 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

         "Artinya kalau Tito dijadikan Kapolri tentunya harus diperhatikan dia masih terlalu muda. Pensiunnya pun masih lama, tahun 2022," kata Pane dalam satu pernyataannya.

         Kritik terhadap usul Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri seperti disuarakan Neta S. Pane dipandang sebagai hal yang biasa dalam alam demokrasi Indonesia dewasa ini. Namun bagi Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat yang juga presiden keenam RI, apa yang sudah diputuskan Presiden Joko Widodo tersebut sudah tepat.

    
                                                                                    "Cakap dan Mampu"
         Di mata Yudhoyono, Tito Karnavian merupakan sosok yang "cakap dan mampu" mengemban tugas sebagai Kapolri. Dia pun memandang masalah pencalonan penulis buku berjudul "Explaining Islamist Insurgencies : The Case of al-Jamaah al-Islamiyyah and the Radicalisation of the Poso Conflict, 2000-2007" (2014) ini sebagai calon Kapolri juga merupakan hak prerogatif Presiden yang selayaknya steril dari proses politik.

         Seperti disampaikannya dalam saluran youtube yang ada di mikroblog Twitter resminya (https://twitter.com/sbyudhoyono?lang=id), Yudhoyono menilai Tito Karnavian sebagai perwira Polri yang luar biasa dan memiliki potensi, prestasi, dan rekam jejak yang baik.

         Di era pemerintahannya yang berusia 10 tahun, Yudhoyono mengatakan dia menaikkan pangkat Tito tiga kali lebih cepat dari para perwira Polri lainnya karena prestasinya. Karena itu, pilihan Presiden Joko Widodo ini sudah tepat dan dia meyakini apa yang telah disampaikan Kapolri saat ini Jenderal Pol Badrodin Haiti bahwa "tidak akan ada gejolak internal (di tubuh Polri) walau dia (Tito Karnavian) junior".

         Mengapa? Karena, menurut Yudhoyono, prajurit TNI maupun Polri yang mendapat tugas dari atasan akan menjalankan tugas itu kendati dalam soal promosi jabatan dikenal masalah kapasitas dan senioritas. "Dari dua hal ini, kapasitas yang utama dari senioritas."

         Seperti halnya Presiden Joko Widodo yang meyakini kapasitas, prestasi dan rekam jejak Tito Karnavian yang baik, Yudhoyono pun percaya bahwa "Tak ada masalah bagi Pak Tito. Kalau ada yang kecewa, ya pasti ada lah. Kecewa itu hak setiap orang, jangan dimarahi. Tetapi pada akhirnya yang disebut para senior Pak Tito itu akan menghormati Pak Tito."

Pewarta : Rahmad Nasution
Editor :
Copyright © ANTARA 2024