Mataram (Antara News) - Perayaan Hari Pers Nasional 2016 kali ini berbeda dari sebelumnya karena dirayakan ditengah kritikan berbagai pihak terkait independensi, akurasi, dan kredibilitas berita yang disajikan media massa kepada masyarakat.

        Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya berjudul "Elements of Journalism" merumuskan sembilan elemen dalam jurnalisme, salah satunya adalah jurnalis harus menjaga independensi dari objek liputanya dan membuat berita yang komprehensif serta proporsional.

        Komprehensif dan proporsional itu terkait erat dengan akurasi berita yang disajikan kepada masyarakat.

        Dalam hal ini wartawan seharusnya tidak mudah menerima fakta lalu menuliskannya dalam sebuah berita namun harus melakukan kroscek ulang sehingga akurasinya dapat dipertanggung jawabkan.

        Dalam sebuah berita komprehensif, bukan sensasional yang ditonjolkan karena dinilai akan memalukan sang wartawan dan medianya sendiri.

        Selain itu, elemen independensi menunjukkan bahwa seorang jurnalis harus benar-benar independen dalam melakukan peliputan secara objektif dan tidak terpengaruh apapun dan kepentingan siapapun.

        Dalam hal ini objektifitas isi berita menjadi penting terutama sekarang penguasaan media oleh segelintir orang menjadi kritikan serius terkait independesinya.

        Di sisi lain, perkembangan media daring dan media sosial tidak bisa dielakkan, seiring dengan melesatnya teknologi informasi yang memudahkan orang mengakses berita tanpa batas.

        Kalau dahulu orang ingin mengetahui berita hari ini setelah membaca media cetak keesokan harinya namun sekarang orang bisa membaca peristiwa dalam hitungan detik pasca kejadian.

        Di satu sisi hal itu mempercepat orang mendapatkan informasi namun di sisi lain menimbulkan masalah karena akurasi dan kredibiltasnya isi berita di pertanyakan.

        "Perkembangan media daring dan media sosial tidak bisa kita elakkan. Hal itu terjadi karena perkembangan teknologi informasi yang memudahkan lalu terjadi perubahan," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan.

        Bagir menilai meskipun ada perubahan di masyarakat yang menginginkan berita cepat namun mereka ingin informasi yang disajikan itu memiliki akurasi dan kedalaman berita.

        Dia mengatakan kebutuhan masyarakat terkait akurasi dan kedalaman berita itu bisa dipenuhi oleh media cetak karena media daring tidak bisa karena mengejar kecepatan.

        Berkembangnya media sosial dan media daring tidak terlepas dari munculnya era kebebasan pers pasca reformasi, yaitu media bebas berkembang dan setiap orang diperbolehkan mendirikan perusahaan media.

        Di era orde baru, kontrol kuat ada di pemerintah termasuk terhadap pers namun kondisinya berbeda ketika reformasi, pendulumnya berbalik, yaitu pers dapat mengontrol dan menekan pemerintah.

        Saat kuatnya pendulum dan kebebasan pers semakin kuat, muncul kritik yang dihadapi di dunia pers Indonesia, bagaimana kualitas jurnalis dalam menghadapi era konvergensi media namun tetap bisa memegang teguh akurasi dan kredibilitas berita.

        Tentu saja hal itu terkait dengan isi berita yang disajikan, yaitu sumber dan akurasi informasi yang disajikan kepada masyarakat bisa dipertanggung jawabkan. Hal itu harus dilakukan karena ada kecenderungan publik menerima informasi secara an sich tanpa mengkroscek ulang.

        Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara disela-sela peringatan HPN 2016 mengatakan perlu penataan konten dan medium dalam pers Indonesia.

        "Ini perlu penataan kembali pedoman yang harus diperbaharui dari sisi konten dan medium tanpa perlu kembalikan pendulum ke arah sebelumnya (sebelum reformasi)," katanya di Mataram, Sabtu (6/2).

        Dia menjelaskan, medium dalam dunia pers Indonesia seperti cetak, elektronik, radio, daring dan bahkan sekarang beralih ke media sosial.

        Menurut dia, masing-masing medium itu memiliki konten yang berbeda-beda dan hal itu yang harus menjadi perhatian utama.

        "Media daring dan sosial media di dalamnya ada yang karyanya tidak masuk kaidah Undang-Undang Pers. Bagi insan pers dan pemerintah sangat mudah menolaknya namun bagaimana dengan masyarakat," ujarnya.

        Rudiantara mengatakan masyarakat hanya menerima informasi apapun baik dari media darling, elektronik dan sosial media sehingga menjadi tantangan bersama untuk memberikan literasi kepada publik.

        Dia menilai diperlukan literasi pada masyarakat untuk bisa memilah secara cepat dan tepat konten yang memenuhi kaidah jurnalistik dan mana yang tidak.

    
Memenuhi Unsur Akurasi Berita
   Rangkaian HPN 2016 diawali dengan perjalanan para jurnalis dari Surabaya ke Lombok NTB dengan menggunakan KRI Makassar-590 seharian penuh.

        Di atas kapal buatan tahun 2006 terdapat diskusi yang menarik, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas jurnalis sehingga berita yang disajikan tidak hanya memenuhi unsur kecepatan namun ketepatan atau akurasi.

        Menkominfo Rudiantara mengatakan kecepatan dan akurasi sebuah berita bergantung pada kapasitas serta kompetensi wartawan sehingga institusinya mendukung peningkatan kapasitas dan kompetensi wartawan.

        "Tiap kesempatan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi wartawan sehingga kompetensinya meningkat," katanya di atas KRI Makassar, Sabtu (6/2).

        Dia mengatakan Kemenkominfo mendukung peningkatan kompetensi di dunia televisi dengan menegaskan komitmen perusahaan televisi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia jurnalis.

        Menurut dia, pemerintah tidak memberikan ijin uji kompetensi untuk di media cetak dan daring karena Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers telah mengatur hal tersebut.

       "Namun untuk media elektronik masih bisa 'dipaksakan' kehendak bersama agar perusahaan memberikan kompetensi dan kapasitas jurnalis di televisi," ujarnya.

        Pengamat komunikasi Tjipta Lesmana dalam diskusi tersebut menjelaskan di Amerika Serikat dalam sepuluh tahun terakhir ada wacana bagaimana wartawan dapat menulis lebih kompeten dan menaati kode etik jurnalistik.

        Dia menilai hal yang sama harus diterapkan di Indonesia sehingga semua wartawan harus mengikuti uji kompetensi.

        "Harus ada standar minimun yang dimiliki wartawan, prinsip utamanya adalah menegakkan kebenaran," ujarnya.

        Dia mengajak semua jurnalis untuk menaati kode etik dan meningkatkan kompetensi karena penilaian masyarakat terhadap profesi wartawan semakin merosot.

        Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dalam puncak HPN 2016 juga menyoroti terkait akurasi informasi yang disajikan dalam sebuah berita.

        Dia mengatakan untuk menyajikan berita yang utuh dan objektif, faktor akurasi harus menjadi tumpuan utama informasi yang disajikan kepada publik.

        Menurut dia, selama ini faktor kecepatan menjadi pendorong utama pers menyajikan berita kepada masyarakat namun menomorduakan akurasi.

        "Saya menilai pers harus kembalikan akurasi dan kredibilitas," ujarnya.

        Dia mencontohkan, ketika peristiwa kerusuhan di Tolikara, Papua beberapa bulan lalu, dalam hitungan menit sudah menjadi berita di media daring.

        Namun, menurut dia, media televisi menahan berita tersebut sebelum ada informasi yang akurat dan kredibel.

        "(Pemberitaan media) jangan mengejar sensasi namun mari amankan informasi secara akurat," katanya.

        Tidak bisa dipungkiri, unsur ketepatan berita harus tetap menjadi nomor satu diatas kecepatan sehingga dibutuhkan peningkatan kualitas jurnalis untuk memenuhi unsur tersebut.

        Salah satu langkah yang bisa dilakukannya adalah melalui pendidikan bagi jurnalis secara berkesinambungan sehingga era konvergensi tidak menggerus salah satu ciri utama sebuah penulisan yaitu akurasi informasi yang disajikan kepada masyarakat.

Pewarta : Imam Budilaksono
Editor :
Copyright © ANTARA 2024