Baubau (Antara News) - Sejumlah warga Desa Kamelanta Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton terhenti melakukan aktifitas penambangan pasir di pesisir laut desa tersebut karena alat mesin penyedot bahan galian itu telah disita pihak Kementrian Kelautan dan Parikanan.

Salah seorang warga Desa Kamelanta, La Musa di lokasi penambangan pasir itu, Jumat mengatakan enam kelompok penambang pasir yang terdiri lima orang per kelompok itu saat ini tidak bisa melakukan penambangan di selat Pulau Panjang desa tersebut karena enam unit mesin telah diamankan petugas.

"Pekerjaan penambangan pasir itu merupakan mata pencaharian kami yang sudah menghidupi keluarga dan membiayai sekolah anak kami, tapi sekarang dengan disitanya alat mesin penambang kami, membuat hidup semakin susah," ujarnya.

Padahal, kata dia, alat mesin penyedot pasir itu dibeli dengan cara kredit senilai Rp30 juta hingga Rp40 juta, dan setiap kelompok penambang pasir membayar sejumlah uang kepada Kepala Desa Kamelanta sebesar Rp350 ribu per bulan.

"Ironisnya mesin yang ditarik oleh pihak Kementerian Keluatan dan Perikanan itu dilakukan tanpa pemberitahuan yang jelas kepada setiap kelompok penambang pasir selaku pemilik mesin," ujar La Musa didampingi rekannya La Edi dan La Ode Zaau.

Menurut dia, selama ini para penambang bisa mengambil pasir dalam satu hari sebanyak lima ret per kelompok, yang kemudian pasir tersebut dijual ke wilayah Kota Baubau dan sekitarnya dengan harga Rp570 ribu per ret.

Sementara itu, Kepala Desa Kamelanta, Supardi membenarkan adanya penahanan alat mesin penyedot pasi milik penambang oleh pihak Kementerian Perikanan dan Kelautan yang disaksikan pemerintah setempat karena tidak memiliki izin untuk mengolah tambang bahan galian itu.

"Saya selaku pemerintah di tingkat bawah menjalankan perintah sesuai amanat pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi hingga pemerintah pusat. Dan penyitaan mesin itu tidak diambil begitu saja, tapi sudah tiga kali kami melayangkan surat untuk menghentikan penambangan itu karena tidak dibenarkan dalam aturan yang berlaku," ujarnya.

Supardi menambahkan, sebelum dilakukan penarikan mesin itu, pihaknya juga sudah melakukan pendekatan secara persuasif dan kekeluargaan untuk tidak melanggar hukum karena masalah penambangan pasir itu melanggar aturan.

Ia mengatakan, penambangan pasir di lokasi itu bukan hanya dilakukan warga setempat, tetapi juga warga dari luar Desa Kamelanta, sehingga aktifitas penambangan tersebut diduga telah berdampak pada lingkungan ekosistem pesisir terutama terhadap aktifitas masyarakat yang mengembangkan budiaya karambah ikan dan rumput laut.

"Kalau saya kalkulasi kerugian Desa Kamelanta dengan adanya penambangan pasir ilegal itu minimal Rp170 juta per bulan karena potensi sumber daya alam desa kami dikeruk begitu saja oleh sekelompok oknum untuk kepentingan pribadi," katanya.

Supardi juga membenarkan, adanya pembayaran dari penambang pasir sebesar Rp250 hingga Rp350 ribu setiap bulan, dan dana tersebut digunakan untuk kepentingan membangun desa dan biaya keperluan yang dibutuhkan masyarakat setempat.

Ia menambahkan, kalau penambang dari luar Desa Kamelanta dikenakan Rp350 ribu, sedangkan masyarakat Desa Kamelanta sebesar Rp250 ribu per bulan, dan besaran itu tidak disamakan agar tidak ada kecemburuan sosial.

"Ini sudah ada dalam peraturan desa (perdes), ta[i kalau memang pungutan itu merugikan masyarakat perlu dikaji ulang untuk, tapi kenyataannya juga terjadi di lapangan tidak semua membayar," ujarnya.

Supardi mengatakan, saat ini pihaknya terus berkoordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buton agar para penambang itu bisa dibantu dengan alat penambang pasir secara tradisional, sehingga tidak mengancam hasil laut yang ada di perairan laut desa tersebut.

Pewarta : Yusran
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024