Bandar Udara (Bandara) Matahora Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tengagra baru saja meraih penghargaan "The Best Airport Award 2015". Perjalanan proses berdirinya Bandara ini cukup unik dan tentu tidak terlepas dari sebuah inspirasi yang melihat kondisi alam wilayah gugusan kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko, yang diakronimkan menjadi nama Wakatobi.
     Sebelum Kabupaten Wakatobi menjadi daerah otonomi baru (DOB) yang pisah dari induknya, Kabupaten Buton tahun 2003 masih menggunakan transportasi umum melalui jalur laut.
 Meskipun ada jalur udara, namun lokasi lapangan terbang dimaksud merupakan milik pribadi, sehingga masyarakat umum tidak bisa menggunakan secara bebas. Tak heran, pada musim tertentu, khususnya saat gelombang laut yang besar, transportasi laut menuju Wakatobi sering terkendala ganasnya lautan bebas yang mengelilingi pulau tersebut.
     Pascaresmi terwujud daerah otonomi baru (DOB), Bupati pertama pilihan rakyat Wakatobi, Ir Hugua langsung merancang berdirinya sebuah bandara di daerah dengan julukan "Surga Nyata Bawah Laut Di Pusat Segitiga Karang Dunia" tersebut. Impian itu akhirnya terwujud, sehingga Bandara bernama Matahora resmi terdaftar di Kementerian Perhubungan sebagai salah satu bandara di Indonesia. Sampai tahun 2012 Bandara Matahaora telah memiliki panjang landasan 2.500 meter dengan Runway 2.000 meter serta Uprond 103 x 73 meter.  Bandara Matahora juga telah dilengkapi dengan terminal penumpang. Saat ini pelayanan penerbangan di Bandara Matahora antara lain Maskapai Penerbangan Lion Air (Wings Air) yang terbang 5 kali seminggu yakni Senin, Rabu, Jumat, sabtu dan Minggu.
     Selain Bandara Matahora, di Kabupaten Wakatobi juga terdapat Bandara Maranggo di Pulau Tomia, yang dikelola PT Wakatobi Dive Resort, sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang kepariwisataan.
     Bandara Matahora saat ini mampu didarati pesawat komersial maupun pribadi dengan kapasitas kecil dan sedang, sekaligus membuktikan kepada masyarakat luas bahwa Wakatobi juga mampu membuat Bandara sendiri.
Di akhir masa kepemimpinan Hugua sebagai Bupati Wakatobi periode kedua, 2010-2015, Bandara Matahora juga resmi dihibahkan pengelolaannya kepada Kementerian Perhubungan RI. Bahkan sebagai apresiasi terhadap bandara tersebut, tanggal 17 November 2015 Bandara Matahora mendapat penghargaan sebagai Bandara Terbaik (The Best Airport Award) dari Majalah Bandara yang merupakan media terbitan hasil kerja sama Kementerian Perhubungan dan dan Kementerian Pariwisata Republik Indonesia.

     Bagaimana bisa Bandara Matahora yang berada di wilayah kepualauan itu mendapatkan predikat terbaik? Berikut petikan wawancara dengan Bupati Wakatobi dua periode sekaligus penggagas berdirinya Bandara Matahora, Ir Hugua;

Apa kiat Bandara Matahora Wakatobi sehingga dapat meraih penghargaan The Best Bandara Award di kelasnya? Bagaimana sejarah kelahirannya?

     Begini, Bandara Matahora itu sangat unik. Ia (Bandara) lahir sebelum sesungguhnya ia lahir. Ia lahir di tengah masyarakat yang belum membutuhkan kelahirannya. Tetapi ia lahir sebagai jawaban mimpi buruk bagi orang-orang  yang tidak kuat terhadap ganasnya gulungan ombak Laut Banda dan Laut Flores yang terkadang mencapai sekitar 7 meter.  Ia juga lahir dan menginspirasi sahabat tetangganya, dan banyak cerita suka duka yang tidak cukup diucapkan dengan kata-kata dan kalimat "Woooh it is amazing?"  Saya merinding dan penuh haru serta rasa syukur kepada Tuhan, jika mengingatnya. Dan saya lah yang paling menikmati terbang dari Wakatobi ke Kendari atau ke Baubau karena sepanjang perjalanan saya saksikan ganasnya gulungan ombak laut yang saya rasakan beratus-ratus kali (pergi pulang), bahkan pernah tenggelam yang nyaris memakan korban sebelum ada bandara di daerah itu.

Bisa Anda jelaskan kalimat "ia lahir sebelum sesungguhnya ia lahir”?

     Ini sangat filosofis. Begini setelah saya dilantik Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi pada bulan Juni 2006 di Wangiwangi. Saat usai pelantikan, saya bersama gubernur masih sama-sama berpakaian kebesaran putih-putih, saya ajak beliau untuk meresmikan Bandara.  Berangkatlah kami (saya belum punya ajudan saat itu) beserta sopir dan ajudan beliau ke sebuah semak-semak di Desa Komala Kecamatan Wangiwangi Selatan.  Tiba di suatu hamparan, saya minta beliau untuk meletakkan batu pertama pembangunan bandara. Beliau tanya saya, di mana batunya kita letakkan? Saya bilang bapak letakkan di tempat yang bapak suka. Ini bandara apa namanya?  Saya juga tidak tahu namanya. Dengan penuh rasa tanya, tapi hikmad kami letakkan batu pertama bandara tersebut dan setelah itu kita berempat tepuk tangan seolah kita sudah meletakkan batu pertama bandara betulan.  Di situlah bandara baru yang bernama Matahora lahir dalam doa. Hal ini terinspirasi pandangan Bung Karno yang menyatakan bahwa “Mari kita nyatakan kemerdekaan baru kitaisi kemerdekaan”. Jadi yah, kita letakkan batu pertama bandara lalu kita cari lokasi benaran dan cari anggarannya. Eeeh jadi juga kan? ha.... ha... ha.... ha...

Bagaimana dengan istilah Anda ia lahir di tengah masyarakat yang belum membutuhkannya?

     Saya dapat tantangan yang sangat serius dari semua pihak. Tantangan yang pertama datang dari mayoritas anggota DPRD saat itu. Mereka menganggap saya bupati gila. Mereka mengejek dan penuh olok serta tawa yang sinis, bahkan ada anggota DPRD yang menyindir “mending urus harga ikan dan beras di pasar daripada urus yang aneh-aneh karena bandara itu hanya orang kaya yang nikmati, tapi orang miskin tidak. Penolakan semakin hari semakin meluas dan tercatat 143 kali demonstrasi penolakan bandara dan masalah pembebasan lahan bandara itu. Namun dengan penuh percaya diri saya bertekad dalam hati bahwa suatu saat Anda pasti membenarkan niat ini karena semata-mata untuk kesejahteraan rakyat titik. Saya lebih banyak diam dan bekerja, bekerja dan bekerja. Nah, dulu orang banyak menolak dan memprovokasi keadaan saat itu, sekarang ini yang paling menikmati bandara ha.... ha.... ha.... ha....

Lalu apa berkaitan dengan ganasnya ombak?

     Pastinya tanpa bandara, Wakatobi tidak menjadi apa–apa. Dia hanya menjadi dongeng indah bagi semua peminat dan penikmatnya.  Tidak banyak orang  yang mau plesiran dengan tantangan maut gulungan ombak mengancam nyawa. Dengan adanya bandara, maka mimpi bisa jadi kenyataan. Banyak Duta Besar, Menteri, Wakil Menteri, bintang film dan selebritis nasional dan internasional termasuk bintang Hollywood, miliader dunia dan orang kaya dunia lainnya telah datang menikmati pesona alam Wakatobi, sekaligus dampaknya bisa menambah pundi-pundi ekonomi masyarakat. Jadi untuk menjadi kaya maka harus kita upayakan bersinergis dengan orang kaya, kalau hanya bersinergi dengan orang miskin yah tambah miskinlah kita, itu hukumnya. Dengan adanya bandara Matahora, maka dengan sangat signifikan mendorong dinamika ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi Wakatobi mencapai 11 persen tahun 2014 dan sebesar 45 persen dari PDRB Wakatobi disumbangkan dari Sektor Pariwisata dengan jumlah kunjungan wisatawan tahun 2015 sekitar 17,000 orang.

Apa maksudnya Matahora menginspirasi daerah tetangga?

     Ini tercatat dalam sejarah dan masih segar diingatan kita bahwa sejak tahun 2009–2011, bandara yang beroperasi selain Bandara Haluoleo (dulu Wolter Monginsidi) adalah Bandara  Matohora Wakatobi dengan menggunakan Pesawat jenis Caravan Susi Air berpenumpang 12 orang.  Wakatobi membuka rute Baubau – Wakatobi (PP) dan Kendari–Wakatobi (PP) dengan subsidi Pemda Wakatobi. Penerbangan itu bertahan dan jumlah penumpang semakin hari semakin meningkat, sehingga harus membutuhkan jenis pesawat yang lebih besar. Akhirnya Wali Kota Baubau MZ Amirul Tamim yang menginspirasi saya untuk kita bersama mensubsidi pesawat Expres Air Jenis Dornier yang berkapasitas 30 orang. Penerbangan Ekspres Air rute Makassar Bau-Bau–Wakatobi–Kendari (PP) berkembang pesat, bahkan frekuensi penerbangan rute Makassar–Baubau berkembang menjadi 2-3 kali sehari. Setelah Bandara Betoambari Baubau hidup dengan baik, maka giliran Bandara Sangia Ni Bandera Kolaka beroperasi dengan menggunakan pesawat Dornier yang sama. Selanjutnya Bandara Sugimanuru di Muna, namun tidak bertahan lama. Jadi Bandara Matahora telah menginspirasi beberapa bandara kabupaten/kota tetangga di Sultra.

Apa yang membuat Anda nekat begitu?

     Hidup ini sederhana saja. Saya selalu ajarkan anak-anak saya bahwa bukan pangkat, bukan kekayan dan hal-hal glamour lainnya yang membuat kita bermakna, tetapi prinsip hidup kita. Saya ajarkan mereka selalu pada tiga prinsip penting:  pertama, mestinya kita punya goal (tujuan hidup) yang akan menggerakkan alam bawah sadar kita ke arah tujuan itu. Kedua, mestinya kita dapat mempengaruhi orang (influence people) dengan tindakan dan ketauladan, dan ketiga, mestinya kita meninggalkan warisan (legacy) yang bermanfaat pada banyak orang.  Prinsip itu yang mendorong saya bekerja dan bekerja tanpa mengerti apa manfaat dan wujudnya bagi pribadi saya dan keluarga.

Soal penghargaan The Best Airport Award, menurut Anda apa yang menyebabkan Bandara Matahora terbaik di kelasnya?

     Saya juga bingung dan tidak menyangka prestasi bergengsi itu dapat diraih. Banyak bandara yang lebih senior dan mentereng bangunannya jika dibandingkan dengan Bandara Matahora. Setelah penerimaan The Best Airpot Award, saya bertanya kepada Bapak Hery Bakti Kumai, mantan Dirjen Perhubungan Udara yang juga Ketua Dewan Juri dan Bapak Agus Santosa, Direktur Bandara Kementerian Perhubungan. Beliau mengatakan bahwa yang kami nilai adalah antara lain dukungan pemerintah setempat, manajemen, kebersihan khususnya toilet, pelayanan prima pada penumpang dan lain-lain. Wakatobi yang paling memenuhi syarat dari ratusan bandara sekelas di Indonesia.

Apa kiat utamanya?

     Menurut saya kiatnya adalah peduli. Banyak mendengarkan dengan menggunakan mata dan telinga. Itu yang dilakukan Pak Sarmin, Kepala Bandara Matahora dan seluruh jajarannya. Saya dan Pak Sarmin selalu intens berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik. Sebagai contoh anggaran 'cleaning service' tidak tersedia dengan maksimal, maka saya anggarkan melalui APBD Wakatobi 2015. Demikian juga pertamanan dan pembenahan halaman terminal penumpang. Hampir setiap minggu kami berdiskusi mengenai pelayanan prima di bandara itu. Bagi saya wibawa Wakatobi akan turun di mata turis nasional dan internasional  jika pelayanan di bandara kurang maksimal. Dengan keadaan itu maka hampir sekali seminggu saya datang ke bandara menemui kepala bandara untuk memastikan bahwa pelayanan prima berjalan dengan baik. Yah, jadi kiatnya adalah kerjasama secara sinergis dengan semua pihak dan peduli dengan prinsip banyak mendengarkan dengan menggunakan mata dan telinga.***

Pewarta : Agus
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024