Dalam catatan sejarah Kesultanan Buton, Sultan Himayatuddin, tidak sekedar menduduki tahta kesultanan, melainkan juga tokoh sentral dari pejuangan rakyat Buton menentang penjajahan Belanda.

Jauh sebelum menduduki tahta Sultan, Himayatuddin sudah menghabiskan waktunya bergerilya menentang dan melawan kekuasaan pemerintah Belanda di Buton.

Kegigihan menentang kolonialisme penjajahan Belanda dan kepiawaian mengendalikan pemerintahan Kesultanan Buton, mengantarkan dirinya menduduki tahta Kesultanan Buton dua kali, yakni periode tahun 1752-1755 (Sultan ke-20) dan periode tahun 1760-1763 (Sultan ke-23).

Kebenciannya terhadap kaum penjajah, mengobarkan semangat perlawanan hingga harus keluar masuk kawasan hutan.

Dari dalam kawasan hutan, ia mengatur strategi perang melawan pendudukkan pemerintah Belanda di Buton.

Kiprahnya mengusir kaum penjajah di tanah Buton dan mengendalikan strategis perlawanan dari dalam kawasan hutan itu, membuat pihak Kesultanan Buton memberinya gelar `Oputa Yi Koo`.

Dalam bahasa masyarakat setempat, `Oputa` artinya penguasa kita dan `Yi Koo` artinya di dalam kawasan hutan.

"Dari berbagai naskah sejarah dan cerita masyarakat Buton, Sultan Himayatudin tidak pernah berkompromi apalagi mengalah sama kompeni penjajah Belanda," kata kata salah seorang tokoh masyarakat Buton, La Ode Darusalam (53) di Kendari pekan lalu.

Bahkan, ujar dia, dalam catatan sejarah Buton, putra dan putri Sultan Himayatudin sempat ditawan pemerintah VOC karena sikapnya menentang penjanjah Belanda yang tak mengenal kata kompromi.

Namun, sebegitu besar pengombanan dan semangat patriotisme yang diberikan Sultan dalam menentang dan melawan penjanjahan, sampai saat ini belum mendapat pengkuan dari negara sebagai Pahlawan Nasional.

Padahal masyarakat Buton melalui Pemerintah Kota Baubau telah berulang kali mengusulkan nama Sultan Himayatuddin kepada Pemerintah Pusat untuk diberi gelar Pahlawan Nasional.

"Masyarakat Buton mengusulkan Sultan Himayatudin untuk menjadi Pahlawan Nasional karena ingin agar semangat dan jiwa patriotisme dari Sultan tersebut, bisa menginspirasi semangat generasi muda bangsa dalam berpartisipasi membangun negara masa kini dan ke depan," kata Darusalam



Perlu diteladani



Darusalam yang juga guru sejarah pada salah satu sekolah menengah kejuruan di Kota Kendari itu, menilai jiwa patriotisme Sultan Himayatudin mengusir penjajah dan merelakan putra putrinya ditawan Pemerintah Belanda, merupakan bukti pengorbanan dari seorang Sultan yang luar biasa.

Semangat dan jiwa patriotisme Sultan yang lebih memilih mengorbankan putra putrinya daripada membiarkan bangsa penjajah menindas masyarakat pribumi, perlu diteladani oleh anak-anak bangsa saat ini.

Oleh sebab itu, sangatlah penting bila Pemerintah Pusat memberikan penghargaan terhadap Sultan dengan menetapkan namanya sebagai pahlawan nasional.

"Saya berkeyakinan, bila nama Sultan Himayatuddin ditetapkan sebagai pahlawan nasional, tidak hanya akan menjadi kebanggaan masyarakat Buton melainkan juga akan menjadi motivator bagi anak-anak bangsa, terutama generasi muda Buton untuk lebih mengorbankan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa atau nasional," katanya.

Menurut dia, masyarakat Buton mengusulkan nama Sultan Himayatudin kepada Pemerintah Pusat agar diberikan gelar Pahlawan Nasional, sejak tahun tahun 2010, di era pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Diharapkan ujarnya, Pemerintah Pusat sekarang ini sudah bisa mengabulkan usulan masyarakkat Buton untuk menetapkan Himayatudin sebagai Pahlawan Nasional.

Pandangan serupa juga disampaikan tokoh masyarakat Buton lainnya, MZ Amirul Tamim (62).

Menurut Amirul yang juga anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Sultra itu, masyarakat Buton mengejar gelar Pahlawan Nasional untuk Sultan Himayatuddin itu, karena dalam catatan sejarah Buton, Himayatudin pernah menggerakkan massa 5.000 orang untuk menentang pendudukan pemerintah VOC di Buton.

"Mengumpulkan massa sebanyak itu pada masanya tentu bukanlah hal mudah, melainkan perlu pengorbanan terutama pengorbanan tenaga, waktu dan pikiran," kata Amirul.

Karena memang, di era tersebut massa yang dikumpul bukan hanya masyarakat dalam wilayah Kesultanan Buton sendiri tetapi juga datang dari tetangga-tentangga kesultanan Buton seperti Muna, Konawe dan Mekongga.

Menurut Amirul, masyarakat Buton mengusulkan Sultan Himayatudin untuk menjadi Pahlawan Nasional semata-mata karena ingin agar sifat kejuangan dan semangat gerilya yang dipertontonkan Himayatudin bisa menjadi inspirasi generasi muda bangsa dalam berpartipasi membangun bangsa pada masa kini dan ke depan.

"Itu yang diharapkan dari pengusulan Sultan Himayatudin untuk menjadi Pahlawan Nasional. Masyarakat Buton ingin agar nilai-nilai heroisme perjuangan Sultan dapat diadopsi masyarakat bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekaan," katanya.



Sangat layak



Pakar Sejarah dari Universitas Indonesia (UI), Prof DR Anhar Gonggong pada kesempatan Siminar di Baubau beberapa waktu lalu, menilai Sultan Buton ke-20 dan ke-23, Sultan Himayatuddin, sangat layak dan pantas menjadi Pahlawan Nasional.

Berdasarkan fakta-fakta sejarah kata dia, menyebutkan bahwa semasa menjabat Sultan Buton, Himayatuddin sangat gigih melawan kompeni penjajah Belanda di wilayah Kesultanan Buton.

"Membaca berbagai tulisan sejarah tentang Sultan Himayatudin, yang bersangkutan sangat layak dan pantas menjadi Pahlawan Nasional," kata Guru Besar Sejarah UI itu.

Sikap tegasnya menentang penjajah Belanda yang tidak pernah surut dan tanpa cacat patut dijadikan teladan bagi generasi muda bangsa dalam berpartisipasi membangun bangsa.

Menurut Anhar, sikap Sultan Himayatudin membiarkan putri dan putrinya ditawan penjajah Belanda hanya karena tidak ingin tunduk kepada pemerintah penjajah, merupakan sikap pemimpin sejati yang patut diteladani.

Karena memang, pemimpin sejati adalah pemimpin yang rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan masyarakat banyak.

"Sekarang ini, sifat-sifat kepemimpinan seperti Sultan Himayatudin atau Bung Karno dan Bung Hatta yang rela mengorbankan hidupnya untuk orang banyak, sudah menjadi barang langka di negeri ini," katanya.

Oleh karena itu, mengangkat tokoh daerah untuk menjadi Pahlawan Nasional tidak sekedar menonjolkan figur yang bersangkutan akan tetapi lebih membangkitkan peran kejuangannya sang tokoh dalam memperjuangkan kemerdekaan RI di tingkat lokal.

Membangkitkan semangat kejuangan untuk diadopsi dan diaplikasikan dalam kepemimpinan nasional masa kini dan ke depan itulah yang mendasari pengangkatan tokoh-tokoh lokal menjadi Pahlawan Nasional.

"Ketika seorang tokoh nasional maupun lokal ditetapkan sebagai pahlawan nasional, maka seluruh sikap kemimpinan dan jiwa patriotisme dari tokoh bersangkutan harus dapat dijadikan rujukan dalam memimpin bang sangsa, minimal di daerah di mana tokoh lahir dan berkiprah," kata Anhar.

* Penulis adalah Wartawan LKBN ANTARA Biro Sulawesi Tenggara.

Pewarta : Agus*
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024