Jakarta (Antara News) - Bila ada survei yang mengukur jam kerja penyelenggara negara selama setahun terakhir ini, bisa jadi Presiden Joko Widodo berada pada peringkat atas.

        Presiden Jokowi yang mengedepankan jargon "Ayo Kerja" sebagaimana tertuang dalam pidato pelantikan pada 20 Oktober 2014 pada sidang paripurna MPR, merupakan salah satu contoh penyelenggara negara yang sangat giat bekerja, tak terbatasi oleh jam kerja pada umumnya. Tiada hari tanpa kerja, bahkan tak jarang dari pagi hingga pagi lagi.

        "Mari bergerak bersama untuk bekerja, bekerja, dan bekerja," kata pria kelahiran Surakarta 21 Juni 1961 ini pada sidang paripurna MPR yang dipimpin Ketua MPR Zulkifli Hasan di Jakarta setahun lalu.

        Seruan itu mencerminkan bahwa orang nomor 1 di Republik ini pun menyatukan hati dan kata untuk bekerja bersama, bahu membahu dan bergotong-royong bersama seluruh rakyat dari seluruh kalangan untuk membangun Indonesia yang lebih bermartabat.

       Suami dari Ibu Negara Hj Iriana dan ayah tiga orang anak, Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep, itu, menegaskan kerja besar ini tidak bisa dia lakukan sendiri bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla atau jajaran pemerintahan tetapi juga harus membangun kekuatan bersama dan bergotong-royong dalam meningkatkan kesejahteraan sosial.

          Kerja keras merupakan fokus utama pemerintahan Jokowi, alumnus Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun 1985 itu, dan mantan Wali Kota Surakarta 2005-2012 serta Gubernur DKI Jakarta 2012-2014 itu.

          Dengan kerja kerja, dia ingin memenuhi "Nawacita" atau sembilan agenda prioritas yang di dalamnya terkandung agenda Trisakti dari Presiden RI ke-1 Soekarno.

          Sembilan agenda prioritas pemerintahan Jokowi adalah, pertama, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Upaya tersebut diwujudkan dengan menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, melindungi hak dan keselamatan warga negara di luar negeri, mewujudkan kedaulataan maritim, serta membangun Polri yang profesional.

          Kedua, membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, serta membuka partisipasi publik dalam jalannya pemerintahan.

          Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dan pemerataan pembangunan antarwilayah terutama desa, kawasan timur dan perbatasan.

          Keempat, melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

          Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program wajib belajar gratis 12 tahun, layanan kesehatan masyarakat, serta reformasi agraria, pembangunan rumah susun bersubsidi dan jaminan sosial.

          Keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional dengan membangun sekurang-kurangnya jalan baru 2.000 kilometer, 10 pelabuhan baru, 10 bandara baru, 10 kawasan industri baru, serta 5.000 pasar tradisional baru.

          Ketujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik, yakni dengan membangun kedaulatan pangan, energi dan keuangan serta mendirikan bank petani/nelayan.

          Kedelapan, melakukan revolusi karakter bangsa dengan membangun pendidikan kewarganegaraan, mengevaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional, jaminan hidup memadai bagi guru, memperbesar akses warga miskin mendapatkan pendidikan tinggi, memprioritaskan pembiayaan penelitian yang menunjang iptek.

          Kesembilan, memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia dengan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang dialog antarwarga, restorasi sosial untuk mengembalikan ruh kerukunan antarwarga, membangun kembali gotong royong sebagai modal sosial, mengembangkan insentif khusus untuk memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan lokal serta meningkatakan proses pertukaran budaya untuk membangun kemajemukan sebagai kekuatan budaya.

                                                                           Tantangan dan ujian
     Selain telah membentuk pemerintahannya yang dikenal dengan "Kabinet Kerja", Jokowi memperlihatkan kepada rakyatnya bahwa dia merupakan pemimpin yang tidak hanya berdiam diri atau berpangku tangan, menerima laporan dari para pembantu dan jajarannya.

          "Saya cek lapangan juga, laporan juga, perkembangan setiap hari, setiap minggu, setiap bulan juga," kata Jokowi pada acara buka puasa bersama 400 anak yatim se-Jabodetabek di Istana Negara, 18 Juni lalu, mengomentari laporan kinerja tiap menterinya.

          Tantangan dan ujian yang dihadapi Presiden Jokowi dalam memimpin pemerintahan dan negara ini pun sangat besar, mulai dari masalah kebakaran hutan dan lahan, bencana alam dan musibah berbagai moda transportasi, kerusuhan sosial, hingga penegakan hukum dan dinamika politik.

          Jokowi amat menyadari bahwa Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, adalah negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia.

          Dalam hal berdemokrasi, Indonesia telah menjadi salah satu contoh gemilang di dunia. Dibandingkan dengan tahun 2013, indeks demokrasi kita naik dari 63,72 menjadi 73,04 pada tahun 2015. Kita juga memiliki pemilih muda yang kritis, dan bersemangat mengawal jalannya demokrasi dan pemerintahan.

          Selain itu, saat ini Indonesia juga mempunyai jumlah kelas menengah yang signifikan dan akan terus bertambah seiring dengan bonus demografi yang sedang dan akan kita nikmati. Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia juga mengalami lonjakan Produk Domestik Bruto, dari sekitar R1p000 triliun, menjadi sekitar Rp10 ribu triliun dan menjadi kekuatan ke-16 ekonomi dunia. Kini Indonesia duduk sejajar dengan negara-negara maju di Forum G-20.

          "Semua itu menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar, kita harus percaya diri, harus optimistis, bahwa kita dapat mengatasi segala persoalan yang menghadang di hadapan kita," kata Jokowi pada pidato kenegaraan 14 Agustus 2015 menyambut 70 Tahun RI dalam sidang bersama DPD RI dan DPR RI.

          Jokowi juga menyampaikan berbagai tantangan dan ujian yang dihadapi bangsa ini.

          Selama ini,masyarakat terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama, padahal kalau dicermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, sekali lagi, menipisnya nilai kesantunan dan tatakrama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa.

          Menipisnya budaya saling menghargai, mengeringnya kultur tenggang rasa, baik di masyarakat maupun institusi resmi seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik, menyebabkan bangsa ini terjebak pada lingkaran ego masing-masing. Hal ini tentu saja menghambat program aksi pembangunan, budaya kerja, semangat gotong royong, dan tumbuhnya karakter bangsa.

          Lebih-lebih, saat ini ada kecenderungan semua orang merasa bebas, sebebas-bebasnya, dalam berperilaku dan menyuarakan kepentingan.

          Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif.

          Masyarakat mudah terjebak pada histeria publik dalam merespon suatu persoalan, khususnya menyangkut isu-isu yang berdimensi sensasional. Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimisme, dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

          Jokowi mengakui sekarang ini siklus perekonomian global maupun nasional kurang menggembirakan. Goncangan ekonomi seperti itu bukanlah yang pertama kali kita rasakan. Kita telah mengalami berulang kali. Kita optimistis dapat melaluinya dengan selamat.

          Selain itu, banyak masalah mendasar yang menuntut penyelesaian. Di bidang pangan, kita belum mencapai kedaulatan pangan, rentan gagal panen, dan mudah diterpa ketidakstabilan harga pangan. Di bidang infrastruktur, moda transportasi massal di tiap wilayah masih sangat kurang dan belum terintegrasi dengan baik.

         Di bidang maritim, illegal fishing, pencurian ikan dan penjarahan sumber daya laut menyebabkan kerugian negara sangat besar. Sedangkan untuk energi, kita masih menghadapi masalah ketersediaan tenaga listrik untuk menopang kehidupan warga dan pembangunan ekonomi. Ditambah lagi, produksi BBM masih defisit sekitar 600 ribu barel per hari.

         Sementara itu, di bidang kesehatan, gizi buruk dan angka kematian ibu yang relatif tinggi masih menjadi masalah utama. Di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah baru mencapai sekitar 8 tahun dari 12 tahun wajib belajar.

         Selain itu, kita juga belum mentas dari kemiskinan dan kesenjangan sosial, baik antarkelompok masyarakat maupun antarwilayah. Gini ratio tahun ini masih di atas 0,4. Yang memperihatinkan fenomena kekerasan terhadap anak diduga juga meningkat.

         "Oleh sebab itu, untuk mengatasi seluruh persoalan bangsa dewasa ini, kita harus tetap utuh, bekerja bahu membahu, tidak boleh terpecah belah oleh pertentangan politik dan kepentingan jangka pendek. Sehingga kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan dapat terwujud," kata Jokowi.

         Konsolidasi demokrasi telah diraih. Kini saatnya, demi menjaga kepentingan nasional, melakukan transformasi fundamental perekonomian nasional. Paradigma pembangunan yang bersifat konsumtif harus diubah menjadi produktif.

         Pembangunan harus dimulai dari pinggiran, dari daerah dan desa-desa, dengan meningkatkan produktivitas sumber daya manusia, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan digerakkan oleh sikap mental kreatif, inovatif, dan gigih. Dengan cara itu juga, kita akan manfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

        Tanpa keberanian melakukan lompatan tersebut, rakyat Indonesia tidak akan pernah bisa meletakkan fondasi pembangunan nasional yang kokoh, mandiri secara ekonomi, dan menegakkan kepentingan nasional.

        Pemerintah menyadari kebijakan pengalihan subsidi BBM untuk sementara waktu mengurangi kenyamanan hidup. Namun untuk jangka panjang, kebijakan yang saat ini dirasa pahit, pada saatnya akan berbuah manis.

        Banyak infrastruktur dan fasilitas publik yang dapat dibangun pemerintah untuk dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. Banyak program bantuan sosial untuk kelompok masyarakat miskin yang dapat diberikan pemerintah untuk membantu mereka keluar dari belenggu kemiskinan.

        Banyak program perlindungan sosial yang dapat dijalankan secara berkelanjutan untuk seluruh masyarakat dan pekerja. Juga banyak usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang bisa digerakkan. Semua itu bisa rakyat lakukan dengan pengalihan subsidi BBM dan subsidi-subsidi lainnya yang saat ini tidak tepat sasaran.

        Bagi masyarakat yang kurang beruntung, yang rentan terhadap perubahan, pemerintah membagikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Asistensi Sosial untuk Penyandang Disabilitas Berat. Pemerintah juga akan terus mendukung efektivitas dan keberlanjutan program Sistem Jaminan Sosial Nasional, baik Jaminan Kesehatan Nasional maupun Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

        "Untuk hidup sejahtera perlu kerja keras, butuh pengorbanan. Ayo kerja untuk bangsa! Ayo kerja untuk negara! Ayo kerja untuk rakyat!" kata Jokowi menyerukan.

        Setahun berlalu, masih tersisa empat tahun dalam periode pertama pemerintahannya untuk 2014-2019.

Pewarta : Oleh Budi Setiawanto
Editor : Laode Masrafi
Copyright © ANTARA 2024