Kupang (Antara News) - Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya mengatakan pemerintah dan rakyat di provinsi berbasis kepulauan ini mengharapkan agar jenazah almarhum Aloysius Benedictus Mboi (Gubernur NTT periode 1978-1988) dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Dharmaloka Kupang.

        "Harapan kami bersama rakyat memang demikian (dimakamkan di TMP Dhamarloka Kupang, red), namun kami juga tidak bisa berbuat banyak jika pemerintah pusat memutuskan pemakaman di TMP Kalibata Jakarta," kata Gubernur Lebu Raya kepada wartawan di Kupang, Selasa.

        Dr Aloysius Benedictus Mboi, MPH yang juga suami dari mantan Menteri Kesehatan dr Nafsiah Mboi itu meninggal dunia di Jakarta pada Selasa (23/6) dini hari sekitar pukul 00.30 WIB.

        Almarhum sangat dikenal oleh rakyat NTT lewat program "Operasi Nusa Makmur" dan "Operasi Nusa Hijau" selama menjabat sebagai Gubernur NTT periode dua periode 1978-1988

        "Kami baru saja selesai rapat. Keputusannya adalah mengharapkan agar almarhum dimakamkan di NTT, tetapi juga tidak bisa menolak jika pemerintah pusat dan keluarga almarhum memutuskan untuk memakamkannya di TMP Kalibata Jakarta," ujar Gubernur Lebu Raya.

        Dia mengatakan Pemerintah Provinsi NTT akan terus berkoordinasi dengan keluarga untuk mengetahui rencana pemakaman almarhum.

        Aloysius Benedictus Mboi yang biasa disapa Ben Mboi itu, lahir di Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur pada 22 Mei 1935 ini.

        Almarhum Ben Mboi, menurut catatan medis, mengalami komplikasi penyakit sampai akhirnya meninggal dunia di usianya yang ke-80.

        Suami mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi merintis karirnya di dunia kesehatan sekaligus militer, dan pernah terlibat dalam Operasi Trikora di Irian Barat (Papua).

        Dari pernikahannya dengan dr Nafsiah Mboi, mereka dikaruniai tiga orang anak.

        Dalam Biografinya "Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit dan Pamong Praja" yang diterbitkan pada 2011, almarhum menuturkan bahwa dirinya pernah ditawar menjadi asisten kebidanan, namun ditolaknya.

        Ia memilih untuk mendaftar di Kementerian Kesehatan agar bisa ditempatkan di Flores, untuk mengabdi di tanah kelahirannya untuk membalas jasa rakyat Flores yang memberinya beasiswa selama ini.

        Namun, ada kebijakan baru dari Kementerian Kesehatan bahwa lulusan dokter tahun 1961, wajib mengikuti Program Wajib Militer TNI-AD.

        Saat itu, Menteri Kesehatan dirangkap oleh Direktur Kesehatan AD, Mayjen Prof.Dr.Satrio, sehingga lulusan kedokteran UI, UGM, dan Airlangga serta beberapa universitas lainnya dialihkan untuk mengikuti Program Wajib Militer, bukan menjadi pegawai negeri sipil.

        Pendidikan Perwira Cadangan Kesehatan dipusatkan di Kramat Jati dan Salemba Jakarta untuk Pendidikan Bintara Kesehatan AD.  "Atmosfer dalam pendidikan cukup santai karena tidak ada orang yang percaya akan meletusnya perang, dan bahwa pasti para dokter akan ditempatkan digaris belakang sekiranya perang benar-benar meletus," ujar Ben Mboi dalam memoarnya.

        "Saya terpilih sebagai Ketua Senat Siswa Pacad V. Pengalaman aneh saya sepanjang pendidikan, Komandan sangat takut kepada saya. Kalau saya bertanya, dia sangat gugup," katanya mengenang.

        Pendidikan bagi perwira cadangan dan bintara kesehatan itu bertepatan dengan Deklarasi Tri Komando Rakyat (Trikora) oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.

        Dalam permenunang mereka, jika terjadi perang pun, para dokter pasti ditempatkan di garis belakang, dan tidak mungkin hanya dijadikan sebagai umpan peluru di Irian Barat.

        Pada 15 Januari 1962, Ben Mboi bersama rekan-rekannya dikejutkan dengan berita bahwa di Teluk Etna, Laut Arafuru, MTB AL KRI Macan Tutul ditenggelamkan oleh AL Belanda.

        Ikut gugur Komodor Jos Sudarso, Deputy Operasi Mabes TNI-AL. Maka terjadi kegegeran di Pusdik Kramat Jati. "Wah serius nih!...perang beneran ini...," katanya mengenang.

        Pada Maret 1962, mereka akhirnya dilantik menjadi perwira dengan pangkat Letnan Satu Dokter oleh Wakil KSAD Letjen TNI Gatot Subroto.  
   Lettu dr Ben Mboi dipanggil oleh Aspers Kessad, Letkol dr Soeparto. "Saudara-saudara terpilih untuk menjadi dokter paratropper pertama. Seterusnya saudara-saudara diperintahkan ke Margahayu dan Batujajar untuk menjalani latihan terjun payung".

        Pada rombongan terjun Ben Mboi, turut juga Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad dan juga Panglima Mandala. Kenyataan ini juga membuat Ben Mboi dan kawan-kawannya semakin berani dan bersemangat melanjutkan latihan terjun payung.

        Sebelum terjun dalam operasi Trikora di Irian Barat, Ben Mboi sempat menghadap Kapten Haryono, perwira personalia yang mengurus kepentingan para perwira kesehatan sehari-hari.  "Kapten, saya minta dimilsukkan sebelum terjun di Irian Barat. Saya tidak mau terjun sebagai Wamil, tetapi menjadi militer sukarela (Milsuk) saja," katanya.

        Lalu apa jawaban Kapten Haryono? "Wah, tidak bisa. Untuk menjadi milsuk perlu latihan-latihan lagi. Tidak bisa pindah begitu saja..".    "Dalam hati saya, sudah mau pergi mati masih menghadapi birokrasi berbelit-belit. Kapten ini tidak mengerti semangat yang ada dalam jiwa saya".

        "Saya ragu apakah dia pernah mengalami perjuangan dan perang beneran. Saya tidak mau berdebat lagi. Ketika kemudian hari saya pulang dari Irian Barat, selesai Trikora, saya temukan satu telegram yang dikirim pada November 1962".

        "Telegram itu menjelaskan bahwa saya dimilsukkan dan dapat pangkat Kapten. Terus terang, pada sata pendaftaran Pacad, sebenarnya saya berstatus pegawai negeri golongan F-II dengan ikatan dinas lima tahun," ujarnya.

        Dalam kasus ini, Ben Mboi melihat ada prajurit memang tidak berjuang, tetapi ada juga pejuang yang bukan prajurit.

        Ia kemudian menggabungkan diri dengan pasukannya di Cijantung, menyiapkan perbekalan farmasi dan kedokteran untuk operasi Trikora di Irian Barat.  Setelah semua persiapan selesai, Ben Mboi kemudian melapor kepada komandannya Kapten Inf Benny Moerdani.

        Dari titik ini, baru Ben Mboi menyadari bahwa tugas utama seorang dokter, perwira kesehatan dalam perang gerilya adalah "to boost to morale of the troop" ketimbang melakukan tugas-tugas teknis medis.  "Artinya, lebih meningkatkan keberanian berperang daripada melakukan pekerjaan dokter di medan perang itu sendiri," katanya.

        Mereka kemudian mendapat breafing singkat dari komandan operasi Kapten Benny Moerdani di Cijatung. "Operasi ini Operasi Naga namanya. Kita akan diterjunkan di Irian Barat bagian selatan. Persisnya dimana, nanti akan dijelaskan," demikian breafing singkat yang disampaikan Benny Moerdani yang sempat direkam Ben Mboi.

        Sastrawan NTT Gerson Poyk dalam novelnya "Nostalgia Flobamora" mengaku mengenal betul sepak terjang Ben Mboi sejak masih kecil sampai akhirnya menjadi Gubernur NTT pada periode 1978-1988. "Nama Ben Mboi sudah tidak asing bagi saya, karena sejak SD, saya sudah berulang-ulang kali mendengar namanya, mulai dari perbincangan orang dewasa atau juga oleh penjelasan guru di depan kelas," ujarnya.

        Saat itu Ben Mboi merupakan satu-satunya dokter Angkatan Darat sekaligus pejuang (combatant) dan penerjun payung (airborne) yang diterjunkan dalam operasi Naga untuk pembebasan Irian Barat yang dipimpin Mayjen Soeharto.

        Ketika menjabat sebagai Gubernur NTT pada 1978, Ben Mboi masih berusia 43 tahun, namun ia telah meretas banyak pengalaman, seperti menjadi Gubernur termuda di Indonesia hingga menerima penhargaan Ramon Magsaysay di Manila bersama isterinya.

        Selain itu, tokoh perwira ini dalam kesannya sangat menghormati Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Achmad Yani dan begitu mengagumi sosok seorang kopral yang dijulukinya "the unknown forgetten corporal".

        Dalam pandangannya, Ben Mboi menilai pemerintah belum mengutamakan pembangunan bangsa (nation building) dalam membangun dan menjaga keutuhan wilayah.

        Pemerintah selama ini cenderung hanya mengembangkan "state building" atau pembangunan bangsa sebatas teritorial atau wilayah.

        Situasi di Papua yang tidak pernah berhenti bergejolak merupakan cermin kegagalan pemerintah dalam membangun nation building.

        Di masa kepemimpinannya menjadi Gubernur NTT, telah tergurat program-program pembangunan yang sukses dimasanya yaitu Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Operasi Nusa hijau (ONH) serta penguatan ekonomi kerakyatan melalui KUD.

        Gaya menulisnya pun seperti bertutur sehingga enak dibaca. Kadang penuh ironi, kadang kocak bahkan kocak yang ironi seperti dalam memoarnya tersebut.

        Memoar yang ditinggalkan almarhum merupakan sebuah kumpulan ilmu yang patut dibaca oleh siapa pun, terutama kalangan pamongpraja dalam mengola tata pemerintahan.

Pewarta : Oleh Bernadus Tokan
Editor :
Copyright © ANTARA 2024